Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sesat Pikir yang Membuat Banyak Orang Enggan untuk Menulis

26 Agustus 2020   14:01 Diperbarui: 29 Agustus 2020   02:58 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Semua orang bisa menulis."

Kenapa ya beberapa orang enggan untuk menulis? Mereka (yang belum pernah menulis) tidak mau mencoba kegiatan yang sebenarnya produktif dan bisa menurunkan tingkat stres. Lha iya, mikir atau mencoba nulis saja sudah stres, apalagi kalau sedang nulis.

Menurut beberapa penelitian, menulis itu bisa menurunkan tingkat stres dan kecemasan. Akan tetapi banyak orang lebih senang untuk meredakan kegelisahan mereka dengan kegiatan seperti menonton video Youtube ataupun begadang sambil nonton Drakor (meski masih banyak yang lebih tidak berfaedah lagi, sih).

Saya bukan menyalahkan orang-orang yang punya kebiasaan itu, tapi saya hanya ingin memberitahu kalau ada cara lain untuk bisa meluapkan kegundahan emosi atau rumitnya beban pikiran yang dirasakan, yakni dengan menulis.

"Tapi menulis itu...... susah."

Susah? Sebenarnya apa ya yang membuat banyak orang enggan untuk mencurahkan pikiran dan perasaannya lewat tulisan? Saya sempat merenung, mungkin saja ada sesat-sesat pikir yang menjebak dan membuat mereka sampai pada kesimpulan bahwa menulis itu susah.

Setelah mencoba untuk berdialog dengan diri sendiri (udah kayak filsuf aja, haha), kali ini saya sekedar sharing tentang hasil dialog itu untuk menjawab "Sesat pikir apa saja yang membuat orang enggan untuk menulis?"

Menganggapnya Seperti Tugas Sekolah atau Kuliah

"Tolong tulis cerita tentang pengalaman liburan sekolah kalian ya, terus nanti dikumpulkan ke meja depan."

Siapa yang punya pengalaman kayak gini? Terus ada yang menjawab, "Waduh, aku di rumah terus, emang apa yang ingin aku tulis bu?". Apalagi jika harus dinilai, serasa harus menulis sebaik mungkin, jika tidak mau nilainya jelek.

Kalau sudah menganggap bahwa menulis itu adalah sebuah tugas atau beban. Wajar mereka mengeluh. Belum lagi untuk anak perkuliahan yang tidak suka menulis. Tugas semacam membuat laporan, makalah, dan lain sebagainya sudah dianggap sebagai hal yang berat dong.

"Nulis lagi, nulis lagi. Duh, besok dikumpulin lagi."

Pengalaman-pengalaman subjektif yang tidak mengenakkan dan berkaitan dengan kegiatan menulis ini mungkin bisa menjadi dasar bahwa orang menganggap semua hal yang berkaitan dengan menulis itu adalah tugas. Tugas itu sulit dan banyak orang yang tidak suka mengerjakan tugas.

Hal ini yang membuat orang berpikir menulis itu susah. Padahal kegiatan menulis itu tidak semuanya seperti tugas-tugas bahasa Indonesia ataupun tugas perkuliahan. Sehingga banyak orang tidak mempunyai kebiasaan untuk menulis dan tidak mau menulis.

Sastra kan Harus Keren

"Harus bagus gitu ya kalau menulis, pakai majas gitu, kayak novel-novel. Aku gak bisa nulis kayak gitu."

Pembaca karya-karaya sastra yang tidak pernah mencoba menulis, pasti merasakan ini. Kekaguman ketika membaca suatu karya sastra baik itu puisi, novel, cerpen dan semacamnya membuat imajinasi kita bermain.

Ketika imajinasi bermain dan kita bisa membayangkan kejadian, tempat, waktu, keadaan yang dibuat dalam suatu narasi yang baik, kita kepikiran bahwa karya sebuah karya itu harus keren. Apalagi kalau yang ditulis sesuai dengan pengalaman dialami banyak orang.

Kesesuaian dan keterikatan sebuah tulisan dengan pengalaman pembaca ini, memberi nilai lebih pada suatu karya. Tapi akan bermasalah ketika orang sudah menganggap hal ini (penilaian keren) menjadi penghalangnya untuk mencoba menulis. Padahal menulis sejatinya bukan itu orang lain, tetapi untuk kita sendiri.

Harus sesuai SPOK dan Runtut, Emang Iya?

"Wah gak paham SPOK, tulisanku gak runtut juga kalau dilihat lagi. Sudah pasti aku gak bisa nulis."

Saya pernah berada dalam titik ini. "Menulis harus melihat SPOK dan runtut, kalau tidak, pembaca nggak akan paham." Pikiran ini membuat saya tidak menyukai kegiatan yang berkaitan dengan tulisan ketika SMP. Karena terlalu banyak aturan.

Menurut saya menulis itu tidak perlu aturan. Karena saya ingin menulis apa yang sedang saya pikirkan dan rasakan terutama pengalaman yang berkesan. Formulasi kata dan hal yang berkaitan dengan itu adalah urusan belakangan

Apalagi kata siapa kegiatan menulis itu harus ditujukan kepada orang yang akan membaca tulisan kita?

Saya pernah membaca tentang salah satu metode penulisan yang sering dibicarakan oleh ilmuwan psikologi, yakni expressive writing. Dimana orang disuruh untuk menulis "apapun" yang muncul dipikirannya dan perasaannya tanpa harus bergantung pada aturan-aturan umum penulisan.

Meskipun gaya penulisannya kacau? Itu tidak apa-apa. Expressive writing lebih berfokus pada perasaan dan pikiran individu.

Jadi setiap apa yang terlintas dipikiran atau perasaan langsung dituliskan selama waktu kurang lebih 30 menit dan menghiraukan kaidah umum penulisan, mengalir saja. Banyak orang merasa lega dan lebih bahagia ketika menggunakan metode ini dalam menulis.

Selain itu saya juga membaca beberapa buku dari filsuf yang bernama Friedrich Nietzsche dan saya benar-benar tidak paham, banyak hal yang tidak saya pahami. Tulisannya seperti melantur kemana-mana, tapi entah kenapa imajinasi saya diajak bermain dengan tulisan-tulisannya.

Terutama saya menyukai ketika mencoba memahami atau menginterpretasi, apa sih yang ingin si Nietzsche sampaikan dalam buku-bukunya (apa yang ada dipikiran dan perasaan beliau), kenapa ia menanyakan persoalan dan menjawabnya sendiri, dan itu  ternyata menyenangkan.

Lalu saya sadar betul  bahwa beliau bisa saja menulis untuk dirinya sendiri, setelah membaca kembali halaman awal dalam bukunya "Mengapa Aku Begitu Pandai" (Why I am So Clever)

"... maka aku kisahkan hidupku pada diriku sendiri."

Hal tersebut membuat saya menyadari bahwa "menulis" bukan untuk karya besar saja seperti novel dan puisi, atau artikel. berita dan semacamnya. Bukan tentang keteraturan. Menulis itu perkara apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Menulis itu tentang apa saja yang kita resahkan dalam hidup.

Terlepas mau menyesuaikan dengan kaidah penulisan, kegiatan menulis itu untuk diri kita sendiri, tidak lebih dari itu.

***

Menulis adalah kegiatan yang produktif dan berdampak baik bagi mental kita. namun banyak orang yang masih terjebak dalam mental block tertentu. Terperangkap bahwa menulis itu harus "baik", menulis adalah sebuah beban dan banyak aturannya.

Seharusnya kita harus membuat banyak orang berpikir menulis itu menyenangkan dan mudah. Sehingga ketika banyak orang yang sudah suka menulis, ilmu-ilmu penulisan yang lain pasti juga akan membuatnya tertarik dan akhirnya dipelajari dengan sendirinya.

Padahal jika kita bisa bergumam dalam hati, menurut saya itu bisa menjadi bekal seseorang untuk menulis. Jika manusia bisa curhat dengan orang lain, menuangkan pikiran dan perasaannya dengan berbicara kenapa manusia tidak bisa menuangkan pikiran dan perasaannya melalui tulisan? Sama saja kan?

"Ngomong kan gak ada aturan-aturan kayak menulis, menulis itu butuh usaha."

Bukannya "ngomong" itu juga butuh usaha, sama seperti menulis?

Kritik dan Saran Terbuka untuk Tulisan Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun