Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sesat Pikir yang Membuat Banyak Orang Enggan untuk Menulis

26 Agustus 2020   14:01 Diperbarui: 29 Agustus 2020   02:58 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah berada dalam titik ini. "Menulis harus melihat SPOK dan runtut, kalau tidak, pembaca nggak akan paham." Pikiran ini membuat saya tidak menyukai kegiatan yang berkaitan dengan tulisan ketika SMP. Karena terlalu banyak aturan.

Menurut saya menulis itu tidak perlu aturan. Karena saya ingin menulis apa yang sedang saya pikirkan dan rasakan terutama pengalaman yang berkesan. Formulasi kata dan hal yang berkaitan dengan itu adalah urusan belakangan

Apalagi kata siapa kegiatan menulis itu harus ditujukan kepada orang yang akan membaca tulisan kita?

Saya pernah membaca tentang salah satu metode penulisan yang sering dibicarakan oleh ilmuwan psikologi, yakni expressive writing. Dimana orang disuruh untuk menulis "apapun" yang muncul dipikirannya dan perasaannya tanpa harus bergantung pada aturan-aturan umum penulisan.

Meskipun gaya penulisannya kacau? Itu tidak apa-apa. Expressive writing lebih berfokus pada perasaan dan pikiran individu.

Jadi setiap apa yang terlintas dipikiran atau perasaan langsung dituliskan selama waktu kurang lebih 30 menit dan menghiraukan kaidah umum penulisan, mengalir saja. Banyak orang merasa lega dan lebih bahagia ketika menggunakan metode ini dalam menulis.

Selain itu saya juga membaca beberapa buku dari filsuf yang bernama Friedrich Nietzsche dan saya benar-benar tidak paham, banyak hal yang tidak saya pahami. Tulisannya seperti melantur kemana-mana, tapi entah kenapa imajinasi saya diajak bermain dengan tulisan-tulisannya.

Terutama saya menyukai ketika mencoba memahami atau menginterpretasi, apa sih yang ingin si Nietzsche sampaikan dalam buku-bukunya (apa yang ada dipikiran dan perasaan beliau), kenapa ia menanyakan persoalan dan menjawabnya sendiri, dan itu  ternyata menyenangkan.

Lalu saya sadar betul  bahwa beliau bisa saja menulis untuk dirinya sendiri, setelah membaca kembali halaman awal dalam bukunya "Mengapa Aku Begitu Pandai" (Why I am So Clever)

"... maka aku kisahkan hidupku pada diriku sendiri."

Hal tersebut membuat saya menyadari bahwa "menulis" bukan untuk karya besar saja seperti novel dan puisi, atau artikel. berita dan semacamnya. Bukan tentang keteraturan. Menulis itu perkara apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Menulis itu tentang apa saja yang kita resahkan dalam hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun