Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelaku Hoaks adalah Kreator Konten yang Tersakiti?

18 Juni 2020   19:25 Diperbarui: 18 Juni 2020   19:36 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sumber pexels

Ramainya pemberitaan Bintang Emon atas tuduhan memakai narkoba di media sosial membuat masyarakat berkomentar dan membela si stand-up comedian itu. Apalagi isu tersebut muncul setelah Bintang menanggapi kasus yang menimpa Novel Baswedan.

Saya tidak tahu apakah itu ulah "buzzer" atau memang ada "dalang" di balik mencuatnya isu tersebut. Tetapi yang saya herankan, kenapa ya ada orang rela serta niat membuat sesuatu (dalam kasus ini foto editan si Bintang Emon) yang jelas-jelas itu gak benar lho.

Ketika melihat isu ini, saya itu jadi resah dan mengingat kembali hoaks-hoaks yang pernah saya baca di grup keluarga terutama pada Pemilu Presiden 2019. Aduh, jadi geleng-geleng dan pusing tujuh keliling saat itu.

Saat corona merebak pandemi ini saja, para pelaku hoaks ini (atau mereka sadar gak ya?) sangat rajin-rajin memproduksi "konten" entah itu tulisan, video ataupun gambar. Bahkan saya merasa salut ketika mereka sebegitu niatnya meluangkan waktu mereka untuk memproduksi suatu hal yang "bohong".

Contohnya, ada pesan berantai dari salah satu kerabat saya di Whatsapp tentang "Corona kalah dengan Garam Dapur". Pada awal tulisan, kata atau kalimat yang ditulis adalah, "Ini bukan HOAKs".

Wah, saya langsung berkesimpulan bahwa orang-orang awam yang belum bisa membedakan hoaks atau tidak, akan bereaksi seperti ini saat melihat pesan tersebut

"Sepertinya ini berita valid!" Atau "Terimakasih infonya sangat bermanfaat."

Dan lain sebagainya, tentunya saya akan tersenyum getir itu ketika melihat orang bereaksi seperti itu di dunia "nyata". Benar saja, ternyata saya menghadapi orang-orang seperti itu beberapa bulan yang lalu.

Mereka berbicara dengan percaya diri, jika corona bisa hilang dengan menuangkan minyak kayu putih pada tisu, dan nantinya tisu tersebut digunakan sebagai masker lalu aroma dari minyak kayu putih tersebut dihirup melalui hidung secara dalam-dalam.

Saya pun jadi "flashback" dan mengingat lagi, jika penjelasan tersebut sepertinya hampir sama dengan pesan berantai yang pernah saya lihat dari salah satu kerabat saya. Karena pesan tersebut terlanjur saya hapus, saya iseng-iseng mengecek di website turnbackhoax.id. Akan saya tampilkan foto pesan tersebut

sumber dari turnbackhoax.id
sumber dari turnbackhoax.id

Saat percakapan itu, saya menanggapi penjelasan tersebut dengan satir atau sarkas

"Oh bisa ya pakai minyak kayu putih? Nggak pakai minyak tawon sekalian?"

"Nggak, mosok minyak tawon dek, minyak kayu putih!" jawabnya

"Temen saya dulu sempet mual, muntah-muntah. Malah minum minyak tawon lho beneran" ucap saya

Memang saya pernah melihat teman saya meneguk minyak tawon meski hanya sedikit, katanya untuk menghilangkan dahak dan mualnya setelah muntah. Sekalian, saya menggunakan pengalaman itu untuk menjawab pernyataannya beliau-beliau. Tetapi mereka tertawa dan bilang itu tidak mungkin.

Karena mereka termasuk "orangtua", saya pun menjawab dalam hati saja. Kalau penjelasan minyak kayu putih untuk mengatasi virus corona itu juga tidak mungkin. Andai saya bilang secara verbal saat itu, bagaimana ya reaksi mereka? Marah-marah atau tersinggung?

Atau bahkan mereka sudah tersinggung ketika saya bilang "nggak pakai minyak tawon sekalian"? Entahlah saya juga pusing kalau ternyata orang-orang terdekat saya kena pengaruh hoaks. Bersikeras juga dengan pendapat itu.

Berita atau pesan tersebut juga padahal belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Tetapi mereka sudah menggap hal itu "benar dan final". Sangat berbahaya pengaruh berita atau pesan hoaks pada masyarakat.

Apalagi masyarakat kita itu masih ada yang mudah tersinggung. Takut melihat perbedaan pendapat yang sangat bertolak belakang dengan apa yang sudah dipercayai. Malah saat mengungkapan pendapat yang berbeda itu kepada mereka, mereka langsung bilang

"Kurang ajar, ancen sok pinter. Gak gelem dikandani!"

Kurang ajar, sok pintar, keras kepala. Intinya ketika ada perbedaan pendapat yang ada itu membuat mereka tersinggung. Terutama bagi orangtua, anak-anak muda yang sangat blak-blakan mengungkapkan pendapat dengan argumen yang kuat kepada mereka, sudah terkesan menggurui.

Kembali lagi ke persoalan pelaku hoaks, saya yakin mereka menggunakan waktu luang mereka yang "sangat berharga" itu untuk membuat konten-konten yang "gak jelas" ini. Dalam hal ini kabar bohong atau "hoaks".

Jika melihat contoh kasus "Corona kalah dengan Garam Dapur", bisa saja orang yang menulis ini hanya berbagi pengalaman yang dialami lalu menuliskannya dengan panjang  lebar dan di share ke grup Whatsapp.

Tapi kenapa ada kalimat "Ini bukan HOAKS"? mungkin penulis pesan tersebut, ingin membuat orang-orang percaya ketika membaca informasi yang sudah ia tulis. Menarik perhatian pembaca dengan kata tersebut membuat perasaan penulis merasa aman dan nyaman.

Karena mendapat sebuah kepercayaan dari orang lain adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Ketika manusia sudah mendapatkan kepercayaan, maka salah satu pondasi dasar manusia dalam menjalin suatu hubungan dengan orang lain berhasil tercapai. Terlepas itu dalam lingkup sosial maupun virtual.

Meski tidak bisa dibenarkan penyampaian informasi seperti itu. Mereka mungkin saja hanya ingin menjalin interaksi dengan berbagi cerita. Pesan hoaks tersebut bisa menjadi awal perbincangan dan percakapan di media sosial, agar orang-orang bisa saling menanggapi. Kebutuhan akan perhatian? Mungkin juga.

Pelaku hoaks ini bisa saja tidak sadar bahwa mereka menyebarkan hoaks. Mereka mungkin hanya mengarang narasi ataupun berbagi pengalaman atas apa yang dialami. Seperti misalnya hoaks PKI, China dan lain sebagainya yang "terlihat" seperti menyerang pemerintah.

Mungkin memang benar ada orang-orang yang merasa tersakiti dan terkena dampaknya. Bisa saja mereka berada dalam titik puncak kemarahan sehingga mereka meluapkan itu dengan membuat sesuatu, sembari memperlihatkan kemampuannya.

Imajinasi mereka bermain, dan menggunakan apa saja untuk membuat konten. Entah harus berdasarkan "cocoklogi berita", pengalaman subjektif, prasangka buruk terhadap situasi dan kondisi yang ramai di khalayak publik, hal-hal yang belum tentu benar yang berujung pada fitnah, dan lain-lain.

Jujur saja, saya bisa bilang kalau para pelaku hoaks ini itu kreatif lho. Pemikirannya imajinatif. Mereka menghabiskan waktu luang yang "sangat berharga" itu untuk menunjukkan kemampuannya. Seperti edit video dari pendapat seorang tokoh publik, lalu backsound-nya dibuat menegangkan (Jujur pernah liat gak? Padahal pas ditonton biasa aja, hihi).

Bakat menulis terpendam yang muncul akibat keresahan yang dirasakan. Tulisannya itu bahkan bisa mempengaruhi orang yang membacanya lho.  Orang yang membaca tulisannya tiba takjub, emosi mereka dipermainkan. Marah dan sedih menjadi satu, mendapatkan kesenangan ketika melihat tips-tips terutama yang berhubungan dengan kesehatan. Luar biasa deh.

Layaknya penulis cerpen, novel dan pengarang puisi ataupun Youtuber ketika melihat para pelaku hoaks ini,  mereka punya dasar kemampuan yang baik lho untuk menjadi kreator konten. Menurutku sih.

Apa mungkin sebenarnya mereka itu kreator konten yang tersakiti ya?

Para pelaku hoaks ini merasa dunia itu tidak adil. Tidak ada yang menganggap atau memperhatikan kemampuannya. Makanya mereka mungkin ingin mendapatkan pengakuan diluar sana dengan membuat konten-konten hoaks. Dan menunjukkannya pada dunia (drama banget ya). Tapi itu bisa saja terjadi.

Pelaku hoaks ini adalah orang kreatif. Saya pernah menuliskan di artikel yang berjudul "Imajinatif Belum Tentu Kreatif!", bahwa orang kreatif adalah orang yang berhasil membuat sesuatu dari apa yang ia imajinasikan. Konten dari pelaku hoaks ini bisa saja disebut sebagai "penyimpangan kreatifitas" (istilah bikin-bikin ini, haha).

Mereka adalah orang kreatif yang "merasa" tidak mempunyai wadah. Tempat mereka untuk menuangkan kemampuan dan memperlihatkan karyanya. Mungkin saja mereka belum sadar bahwa banyak "wadah" seperti komunitas,  kursus, dan tempat belajar lainnya.

Mengasah kemampuan mereka dengan baik dan benar, belajar untuk mendapatkan pengetahuan baru untuk meningkatkan kapabilitasnya dalam membuat suatu konten yang bisa diterima masyarakat secara positif tentunya. Itu kan lebih baik bukan, daripada bikin berita hoaks?

Atau bisa saja mereka itu sebenarnya memang mempunyai kemampuan dan sudah ahli, tetapi tidak mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kapabilitasnya?

Jika melihat isu "buzzer" ini yang katanya sih dibayar "oknum-oknum " tertentu bahkan untuk membuat hoaks. Mereka rasa, menurunkan kualitas konten untuk mendapatkan bayaran yang lumayan itu mungkin jauh lebih baik.

Iya, jauh lebih baik daripada buang-buang waktu untuk belajar dan menghasilkan sesuatu yang berkualitas tapi tidak mendapatkan "reward yang sepadan". Melihat hal ini saya ingin mempertanyakan lagi, apakah pelaku hoaks itu kreator konten yang tersakiti?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun