Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelaku Hoaks adalah Kreator Konten yang Tersakiti?

18 Juni 2020   19:25 Diperbarui: 18 Juni 2020   19:36 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sumber pexels

Kembali lagi ke persoalan pelaku hoaks, saya yakin mereka menggunakan waktu luang mereka yang "sangat berharga" itu untuk membuat konten-konten yang "gak jelas" ini. Dalam hal ini kabar bohong atau "hoaks".

Jika melihat contoh kasus "Corona kalah dengan Garam Dapur", bisa saja orang yang menulis ini hanya berbagi pengalaman yang dialami lalu menuliskannya dengan panjang  lebar dan di share ke grup Whatsapp.

Tapi kenapa ada kalimat "Ini bukan HOAKS"? mungkin penulis pesan tersebut, ingin membuat orang-orang percaya ketika membaca informasi yang sudah ia tulis. Menarik perhatian pembaca dengan kata tersebut membuat perasaan penulis merasa aman dan nyaman.

Karena mendapat sebuah kepercayaan dari orang lain adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Ketika manusia sudah mendapatkan kepercayaan, maka salah satu pondasi dasar manusia dalam menjalin suatu hubungan dengan orang lain berhasil tercapai. Terlepas itu dalam lingkup sosial maupun virtual.

Meski tidak bisa dibenarkan penyampaian informasi seperti itu. Mereka mungkin saja hanya ingin menjalin interaksi dengan berbagi cerita. Pesan hoaks tersebut bisa menjadi awal perbincangan dan percakapan di media sosial, agar orang-orang bisa saling menanggapi. Kebutuhan akan perhatian? Mungkin juga.

Pelaku hoaks ini bisa saja tidak sadar bahwa mereka menyebarkan hoaks. Mereka mungkin hanya mengarang narasi ataupun berbagi pengalaman atas apa yang dialami. Seperti misalnya hoaks PKI, China dan lain sebagainya yang "terlihat" seperti menyerang pemerintah.

Mungkin memang benar ada orang-orang yang merasa tersakiti dan terkena dampaknya. Bisa saja mereka berada dalam titik puncak kemarahan sehingga mereka meluapkan itu dengan membuat sesuatu, sembari memperlihatkan kemampuannya.

Imajinasi mereka bermain, dan menggunakan apa saja untuk membuat konten. Entah harus berdasarkan "cocoklogi berita", pengalaman subjektif, prasangka buruk terhadap situasi dan kondisi yang ramai di khalayak publik, hal-hal yang belum tentu benar yang berujung pada fitnah, dan lain-lain.

Jujur saja, saya bisa bilang kalau para pelaku hoaks ini itu kreatif lho. Pemikirannya imajinatif. Mereka menghabiskan waktu luang yang "sangat berharga" itu untuk menunjukkan kemampuannya. Seperti edit video dari pendapat seorang tokoh publik, lalu backsound-nya dibuat menegangkan (Jujur pernah liat gak? Padahal pas ditonton biasa aja, hihi).

Bakat menulis terpendam yang muncul akibat keresahan yang dirasakan. Tulisannya itu bahkan bisa mempengaruhi orang yang membacanya lho.  Orang yang membaca tulisannya tiba takjub, emosi mereka dipermainkan. Marah dan sedih menjadi satu, mendapatkan kesenangan ketika melihat tips-tips terutama yang berhubungan dengan kesehatan. Luar biasa deh.

Layaknya penulis cerpen, novel dan pengarang puisi ataupun Youtuber ketika melihat para pelaku hoaks ini,  mereka punya dasar kemampuan yang baik lho untuk menjadi kreator konten. Menurutku sih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun