Apa mungkin sebenarnya mereka itu kreator konten yang tersakiti ya?
Para pelaku hoaks ini merasa dunia itu tidak adil. Tidak ada yang menganggap atau memperhatikan kemampuannya. Makanya mereka mungkin ingin mendapatkan pengakuan diluar sana dengan membuat konten-konten hoaks. Dan menunjukkannya pada dunia (drama banget ya). Tapi itu bisa saja terjadi.
Pelaku hoaks ini adalah orang kreatif. Saya pernah menuliskan di artikel yang berjudul "Imajinatif Belum Tentu Kreatif!", bahwa orang kreatif adalah orang yang berhasil membuat sesuatu dari apa yang ia imajinasikan. Konten dari pelaku hoaks ini bisa saja disebut sebagai "penyimpangan kreatifitas" (istilah bikin-bikin ini, haha).
Mereka adalah orang kreatif yang "merasa" tidak mempunyai wadah. Tempat mereka untuk menuangkan kemampuan dan memperlihatkan karyanya. Mungkin saja mereka belum sadar bahwa banyak "wadah" seperti komunitas, Â kursus, dan tempat belajar lainnya.
Mengasah kemampuan mereka dengan baik dan benar, belajar untuk mendapatkan pengetahuan baru untuk meningkatkan kapabilitasnya dalam membuat suatu konten yang bisa diterima masyarakat secara positif tentunya. Itu kan lebih baik bukan, daripada bikin berita hoaks?
Atau bisa saja mereka itu sebenarnya memang mempunyai kemampuan dan sudah ahli, tetapi tidak mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kapabilitasnya?
Jika melihat isu "buzzer" ini yang katanya sih dibayar "oknum-oknum " tertentu bahkan untuk membuat hoaks. Mereka rasa, menurunkan kualitas konten untuk mendapatkan bayaran yang lumayan itu mungkin jauh lebih baik.
Iya, jauh lebih baik daripada buang-buang waktu untuk belajar dan menghasilkan sesuatu yang berkualitas tapi tidak mendapatkan "reward yang sepadan". Melihat hal ini saya ingin mempertanyakan lagi, apakah pelaku hoaks itu kreator konten yang tersakiti? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H