Terlepas dari Tara Basro terkait postingan Instagramnya yang mengkampanyekan self love dan menerima diri sendiri. Saya merasa sejak dari dulu permasalahan terkait body shaming ini agak membingungkan.
Kenapa? Karena isu ini sebenarnya yang di-highlight adalah pelaku yang "mungkin" saja hanya basa-basi ataupun mengatakan sebuah fakta (asumsi saja) terhadap bentuk fisik atau tubuh si korban. Dan lagi-lagi dalam sebuah kasus, pelaku selalu terlihat blak-blakan, tidak menjaga perasaan orang lain dan lain sebagainya.
Padahal bisa saja, mereka (si pelaku) memiliki cara interaksi yang berbeda dan tidak memiliki niat untuk menyudutkan ataupun menyakiti hati si korban. Boleh saja kan, saya mempunyai pendapat berbeda terkait isu body shaming ini. Berikut saya ingin coba menjelaskan mengapa saya memiliki pendapat yang berbeda.
Semua Perilaku Agresi Berawal dari Niat
Ketika perilaku body shaming kita masukkan dalam kategori perundungan (bullying) ataupun dalam kategori agresi verbal, maka kita juga harus mempertimbangkan latar belakang dari tindakan tersebut.
Apa saja yang membuat seseorang melakukan hal tersebut dan apa tujuannya. Apakah dia memang bertujuan untuk menyakiti Si Subjek? Atau memang itu sudah menjadi kebiasaan dia berinteraksi sehari-hari dalam bersosialisasi.
Elizabeth Dorrance Hall, menulis artikel tentang "Communicative Aggresion". Di situ ia menjelaskan bahwa individu yang mempunyai jenis perilaku agresi ini mempunyai niatan dan tujuan untuk menyakiti citra diri dari orang lain.
Apalagi para psikolog sosial mendefinisikan perilaku agresi sebagai perilaku yang dilandaskan oleh niatan untuk menyakiti orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku agresi itu akan sangat tergantung dari persepsi serta tujuan dan niat dari seorang individu.
Artinya mungkin saja perilaku body shaming itu memang harus mengandung unsur niat dari individu tersebut untuk menyakiti.
Selain itu permasalahan body shaming yang berkaitan dengan interaksi ini mungkin memang masuk pada ranah psiko-sosial dan budaya. Komunikasi dan interaksi masyarakat sehari-hari sebagian orang di Indonesia yang terbiasa menggunakan hal terdekat di sekitar sebagai bahan bercandaan, itu terlihat sudah wajar dan seringkali terjadi lho di lingkungan kita.
Apalagi jika melihat acara komedi, sering sekali mereka memakai guyonan fisik kan? Dan ironinya kita tertawa terbahak-bahak menontonnya. Lalu orang-orang yang menggunakan bentuk fisik orang sebagai bahan candaan lingkungan kita, bisa saja mereka hanya spontan dan itu menjadi kebiasaan dalam cara berinteraksi mereka. Meski saya pun tahu, itu belum sepenuhnya baik.
Body Shaming Terjadi Salah Satunya karena Korban Jenuh dan Sakit Hati
Orang tampan dan cantik, tubuh tinggi dan menarik yang sering ditampilkan melalui media, ternyata memberikan dampak negatif. Salah satunya masyarakat akhirnya mempunyai "standar" body image yang sumbernya berasal dari persona media. "Standar" tersebut malah mereka gunakan sebagai bahan body shaming di sosial media secara tidak sadar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!