Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

"Nabok Nyilih Tangan"

31 Oktober 2023   07:25 Diperbarui: 31 Oktober 2023   08:48 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak peribahasa Jawa yang saat ini masih sering digunakan untuk menyindir, menggambarkan, atau memperhalus, suatu kejadian di masyarakat. Di antara peribahasa itu adalah ungkapan nabok nyilih tangan.

Dalam berbagai literatur, secara harfiah nabok nyilih tangan adalah memukul dengan meminjam atau menggunakan tangan orang lain.

Makna luas dari peribahasa itu merupakan tindakan atau aktivitas di mana untuk mencapai tujuan yang diinginkan, seseorang menggunakan orang atau pihak lain untuk mencapai kepentingannya.

Dengan demikian, orang yang mempunyai kepentingan seolah-olah tidak terlibat atau terlihat kepentingannya namun akhirnya ia bisa mendapatkan apa yang dimaui.

Jadi orang yang berkepentingan bersembunyi di balik punggung orang atau pihak lain sehingga kalau ada sesuatu yang salah, ia tidak mau atau tidak bisa disalahkan. Dari sinilah ungkapan ini lebih banyak dikonotasikan pada perilaku yang negatif.

Dalam dunia politik, tindakan nabok nyilih tangan sering digunakan. Satu pihak  menyuruh, mendorong; seseorang, partai politik, atau institusi, untuk melakukan suatu ucapan dan tindakan guna kepentingannya tersampaikan.

Pihak yang mendorong, nabok nyilih tangan, sebenarnya tahu bahwa apa yang dilakukan salah atau mempunyai resiko melanggar aturan sehingga dia menggunakan tangan orang lain untuk nabok, misalnya dulu ada beberapa partai politik yang mendorong adanya pemilu ditunda.

Ada pula pihak yang ingin adanya jabatan presiden tiga periode. Dari sini maka orang akan menyalahkan partai politik yang mengutarakan masalah itu, sedang pelaku nabok nyilih tangan bebas dari masalah.

Pun kalau kita amati, proses pencawapresan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka tidak terlepas dari urusan nabok nyilih tangan. Ada beberapa proses untuk menuju menjadi pendamping capres Prabowo Subianto. Proses ini dilakukan sebab banyak hambatan atau aturan yang membatasi dirinya sehingga perlu upaya untuk membuka pintu-pintu yang tertutup.

Tentu Gibran tidak melakukan sendiri untuk membuka jalan. Sangat vulgar dan ambisius bila itu dilakukan sendiri. Bila melakukan sendiri tentu perlu energi besar untuk mencapai keinginannya. Untuk itu perlu ada pihak lain yang memuluskan jalan menuju ke pencawapresan.

Berbagai proses yang dilakukan dengan menggunakan pihak lain itu adalah, pertama. Judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi). Judicial review batasan umur yang ada dalam UU. No. 7 Tahun 2017 Tahun 2017, persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil presiden, Pasal 169 huruf q tentang batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Dengan mengacu pasal dan huruf di atas, pastisnya Gibran tidak memenuhi syarat sebab usia dirinya masih di bawah 40 tahun. Kendala ini merupakan jalan tertutup. Untuk membuka maka PSI, Partai Garuda, dan seorang mahasiswa di Solo, Almas Tsaqibbirru Re A, mengajukan judicial review ke MK.

Dalam berita yang beredar, Almas mengatakan dirinya berharap (pilpres) jadi lebih dinamis bervariatif. Tidak hanya di tahun 2024 tapi juga tahun-tahun berikutnya, lebih banyak lagi pilihan, lebih banyak lagi anak muda yang berpotensi lebih.

Kedua, terkabul di MK. Batasan umur yang menjadi kendala Gibran dijadikan bahan untuk judicial riview oleh PSI, Partai Garuda, dan Almas, pun disidangkan oleh para hakim di MK. Dan keputusannya, permohonan gugatan yang diajukan oleh PSI ditolak sedang dari pihak Almas malah dikabulkan. Bagi PSI dan Partai Garuda bisa jadi tidak masalah  permohonan yang ditolak sebab keinginannya terpenuhi dari hasil gugatan Almas.

Dari sinilah selanjutnya Gibran bisa memenuhi syarat menjadi cawapres meski umurnya masih di bawah 40 tahun sebab menurut MK, dirinya mempunyai pengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Rintangan paling berat dari undang-undang ini akhirnya bisa dilalui.

Ketiga, diusung Partai Golkar menjadi cawapres. Gibran sebelum diajukan oleh Golkar merupakan politisi PDIP. Disebut dirinya menjadi rebutan antara Golkar dan PDIP namun sepertinya Partai Gerindra yang lebih ngotot untuk menjadikan Gibran sebagai cawapres. Sebagai partai besar dan lokomotif Koalisi Indonesia Maju (KIM), tentu Gerindra tidak mungkin mencalonkan Gibran sebagai cawapres sebab hal demikian tidak adil dan merata dalam bargaining position di tubuh koalisi. Agar munculnya dirasa dari dalam koalisi, maka dicari jalan lain dengan melalui Golkar. Lewat Golkar-lah, Gibran akhirnya bisa berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Sebenarnya sungguh aneh ketika Golkar mau-maunya mengusung Gibran menjadi cawapres sebab jauh-jauh hari sebenarnya partai berlambang pohon beringin itu mempunyai calon cawapres sendiri yakni Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Entah karena partai kuning itu tangannya mau di-silih buat nabok, ya sudah jadilah Gibran.

Tak hanya Golkar yang menghantar, PAN yang sebelumnya ngotot agar Menteri BUMN Erick Thohir menjadi cawapres, akhirnya juga dengan mudah serta riang gembira ikut merestui Gibran jadi cawaprs dari KIM.

Dari paparan di atas, masyarakat awam pasti mengira bukan keinginan Gibran untuk menjadi cawapres. Menjadi cawapres dikira karena dukungan dari masyarakat lewat proses-proses di atas. Jadi kalau ada apa-apa, merekalah yang disalahkan, entah sekarang atau nanti.

Terhadap berbagai proses di atas, Presiden Joko Widodo yang juga merupakan ayah Gibran, dengan mengutip dari berbagai media yang beredar, mengatakan, "Mengenai putusan MK silakan ditanya ke Mahkamah Konstitusi, jangan saya yang berkomentar". Jawaban saat ditanya soal dukungan kepada Gibran menjadi cawapres, "tanyakan pada partai politik atau gabungan partai politik, itu ranahnya parpol".

Terkait anaknya menjadi cawapres, Joko Widodo menuturkan, "Ya orangtua tuh tugasnya mendoakan dan merestui, keputusannya semuanya di dia (Gibran). Keputusan sepenuhnya pada anak, karena sudah dewasa. Jangan terlalu mencampuri keputusan yang sudah diputuskan anak-anak kita", ungkapnya seperti yang termuat di berbagai media yang beredar.

Dari ungkapan di atas, merestui, berarti ada dukungan pada anaknya namun kalau soal mampu atau tidaknya, pantas atau tidaknya, menjadi cawapres; MK, partai politik, dan Almas yang akan menanggung beban bila di kemudian hari ada masalah sebab lewat tangan-tangan mereka jalan pencawapresan Gibran menjadi terbuka.

Di sini Joko Widodo hendak menegaskan bahwa masalah itu lepas dari kepentingan dirinya, namun MK dan partai politik-lah yang membuat jalan menjadi terbuka lebar untuk Gibran nyawapres.

Ungkapan demikian juga menyatakan bahwa dirinya tidak mau cawe-cawe atau ikut campur masalah pilpres padahal mantan Walikota Solo itu disebut kerap cawe-cawe dalam masalah pilpres.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun