Berbagai proses yang dilakukan dengan menggunakan pihak lain itu adalah, pertama. Judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi). Judicial review batasan umur yang ada dalam UU. No. 7 Tahun 2017 Tahun 2017, persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil presiden, Pasal 169 huruf q tentang batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Dengan mengacu pasal dan huruf di atas, pastisnya Gibran tidak memenuhi syarat sebab usia dirinya masih di bawah 40 tahun. Kendala ini merupakan jalan tertutup. Untuk membuka maka PSI, Partai Garuda, dan seorang mahasiswa di Solo, Almas Tsaqibbirru Re A, mengajukan judicial review ke MK.
Dalam berita yang beredar, Almas mengatakan dirinya berharap (pilpres) jadi lebih dinamis bervariatif. Tidak hanya di tahun 2024 tapi juga tahun-tahun berikutnya, lebih banyak lagi pilihan, lebih banyak lagi anak muda yang berpotensi lebih.
Kedua, terkabul di MK. Batasan umur yang menjadi kendala Gibran dijadikan bahan untuk judicial riview oleh PSI, Partai Garuda, dan Almas, pun disidangkan oleh para hakim di MK. Dan keputusannya, permohonan gugatan yang diajukan oleh PSI ditolak sedang dari pihak Almas malah dikabulkan. Bagi PSI dan Partai Garuda bisa jadi tidak masalah  permohonan yang ditolak sebab keinginannya terpenuhi dari hasil gugatan Almas.
Dari sinilah selanjutnya Gibran bisa memenuhi syarat menjadi cawapres meski umurnya masih di bawah 40 tahun sebab menurut MK, dirinya mempunyai pengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Rintangan paling berat dari undang-undang ini akhirnya bisa dilalui.
Ketiga, diusung Partai Golkar menjadi cawapres. Gibran sebelum diajukan oleh Golkar merupakan politisi PDIP. Disebut dirinya menjadi rebutan antara Golkar dan PDIP namun sepertinya Partai Gerindra yang lebih ngotot untuk menjadikan Gibran sebagai cawapres. Sebagai partai besar dan lokomotif Koalisi Indonesia Maju (KIM), tentu Gerindra tidak mungkin mencalonkan Gibran sebagai cawapres sebab hal demikian tidak adil dan merata dalam bargaining position di tubuh koalisi. Agar munculnya dirasa dari dalam koalisi, maka dicari jalan lain dengan melalui Golkar. Lewat Golkar-lah, Gibran akhirnya bisa berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sebenarnya sungguh aneh ketika Golkar mau-maunya mengusung Gibran menjadi cawapres sebab jauh-jauh hari sebenarnya partai berlambang pohon beringin itu mempunyai calon cawapres sendiri yakni Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Entah karena partai kuning itu tangannya mau di-silih buat nabok, ya sudah jadilah Gibran.
Tak hanya Golkar yang menghantar, PAN yang sebelumnya ngotot agar Menteri BUMN Erick Thohir menjadi cawapres, akhirnya juga dengan mudah serta riang gembira ikut merestui Gibran jadi cawaprs dari KIM.
Dari paparan di atas, masyarakat awam pasti mengira bukan keinginan Gibran untuk menjadi cawapres. Menjadi cawapres dikira karena dukungan dari masyarakat lewat proses-proses di atas. Jadi kalau ada apa-apa, merekalah yang disalahkan, entah sekarang atau nanti.
Terhadap berbagai proses di atas, Presiden Joko Widodo yang juga merupakan ayah Gibran, dengan mengutip dari berbagai media yang beredar, mengatakan, "Mengenai putusan MK silakan ditanya ke Mahkamah Konstitusi, jangan saya yang berkomentar". Jawaban saat ditanya soal dukungan kepada Gibran menjadi cawapres, "tanyakan pada partai politik atau gabungan partai politik, itu ranahnya parpol".
Terkait anaknya menjadi cawapres, Joko Widodo menuturkan, "Ya orangtua tuh tugasnya mendoakan dan merestui, keputusannya semuanya di dia (Gibran). Keputusan sepenuhnya pada anak, karena sudah dewasa. Jangan terlalu mencampuri keputusan yang sudah diputuskan anak-anak kita", ungkapnya seperti yang termuat di berbagai media yang beredar.