Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Jawa di Kuching Sarawak, Malaysia

6 Januari 2017   11:07 Diperbarui: 6 Januari 2017   11:29 2515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gapura di Pintu Masuk Lorong 2 Sungai Tengah

Saat di Kuching, Sarawak, Malaysia, saya melihat di sebuah brosur wisata ada sebuah kampung yang bernama Boyan/Surabaya (1860). Kampung itu berada di seberang Water Front. Untuk menuju ke sana harus naik sampan dengan tarif 1 RM (Ringgit Malaysia). Penasaran untuk melihat jejak-jejak orang Jawa di Kuching, saya mengunjungi tempat itu.

Setelah turun dari sampan dan membayar upah, langsung bergegas menuju kampung yang persis di seberang Sungai Sarawak itu. Ketika berada di kawasan itu, memang nuansa Jawa terlihat. Di beberapa lorong menyebut nama Lorong Gersikan. Gersik merupakan sebuah nama kabupaten di Jawa Timur. Di kota itu dulu terkenal sebagai tempat penyebaran agama Islam lewat Syeh Maulana Malik Ibrahim.

Saya mencoba menyusuri lorong-lorong yang ada namun belum ada jejak yang pasti apakah tempat itu dulu memang Kampung Jawa atau pernah ditempat orang Jawa kemudian dalam perjalanan waktu berganti dihuni oleh orang-orang Melayu.

Di tengah kegalauan mencari jejak yang pasti dan di tengah teriknya panas matahari yang memancar, saya menuju ke pujasera yang berada di tepi sungai. Pujasera saat itu sepi, ada seorang laki-laki dan dua anaknya. Duduk tak jauh darinya dengan tujuan untuk bertanya tentang Kampung Boyan/Surabaya. Melihat pria dengan dua anak itu muncul keheranan sebab di hadapannya ada sebungkus rokok produk Indonesia. Menduga bahwa pria itu adalah orang Indonesia. Dugaan benar, ternyata ia adalah orang Pontianak, Kalimantan Barat.

Gamelan Sebagai Bukti Kampung ini Kampung Jawa
Gamelan Sebagai Bukti Kampung ini Kampung Jawa
Setelah berkenalan, ia mengaku pekerja Indonesia yang biasa mendesain atau membangun rumah. Ia bekerja sendiri tak terikat oleh agent. Saya menceritakan bahwa ingin mengunjungi Kampung Surabaya. Kampung yang tak jauh dari Kampung Boyan bila naik kendaraan bermotor. Mendengar hal yang demikian, pria yang sudah lama di Kuching itu dengan semangat menjelaskan bahwa bisa jadi kampung-kampung itu dulu dihuni oleh orang Jawa namun sekarang sepertinya tempat itu sudah tidak lagi di tempati oleh orang-orang Jawa. Ia menyebut Kampung Surabaya menjadi kawasan elit. Memang dibenarkan kalau di Kampung Surabaya ada nama-nama lorong yang diambil dari nama Wali Songo, seperti Lorong Sunan Drajad.

Kalau mau mengunjungi Kampung Jawa menurutnya harus pergi ke Matang, sebuah kawasan yang berada di pinggir Kota Kuching. Di sana menurutnya masih ada orang berbahasa Jawa. Untuk menunjukan bukti bahwa Kampung Surabaya hanya tinggal nama, saya diajak menuju ke tempat itu. Benar rupanya apa yang dikatakan, kampung itu bukan lagi sebagaimana kampung yang kita pahami, sebagai tempat pemukiman penduduk yang padat apalagi dihuni oleh orang Jawa. Tempat itu sudah menjadi kawasan elit masyarakat Melayu Sarawak. Berada di kawasan pemerinatahan negeri itu.

Lorong 2 Menuju Kampung Jawa
Lorong 2 Menuju Kampung Jawa
Pria yang dipanggil Ian itu akhirnya mengantar ke Terminal Kuching di mana di tempat itu ada angkutan yang menuju Matang. Di tempat itu beberapa angkutan yang di badannya tertulis jurusan Matang dan sekitarnya tengah mangkal, satu-satu angkutan antri untuk giliran trayek. Salah satu angkutan sudah terisi beberapa penumpang dan saya salah satu di antaranya. Sebelumnya mengatakan kepada sopir ingin ke Lorong Jawa. Sopir sepertinya sudah paham tempat itu meski dia menjelaskan Lorong Jawa ada di Lorong 2 dan Lorong 4.

Setelah penuh, angkutan itu bergerak meninggalkan terminal. Angkutan di Kuching memang punya trayek namun mereka mau mengantar penumpang hingga depan tempat tujuan. Termasuk saya diturunkan persis di depan Lorong 4.

Tiba di lorong itu, saya melihat sebuah masjid, Masjid Baitul Rahim. Waktu itu saatnya sholat dhuhur. Bergegas ke sana untuk menunaikan sholat berjamaah. Rupanya sholat jamaah yang diikuti puluhan jamaah itu sudah usai sehingga saya sholat sendiri. Ketika sholat usai, para jamaah pun juga usai berdoa bersama. Di saat itu saya bertanya kepada seorang jamaah tentang orang-orang Jawa. Pria gendut di mana saya bertanya padanya menunjuk pria yang tadi menjadi imam sebagai orang Jawa.

Segera saya mendekati itu, mempekernalkan diri dan mengutarakan keinginan untuk mengetahui tentang orang-orang Jawa di Matang. Ia bersama dengan jamaah lainnya mengajak duduk di kursi plastik berwarna hijau muda.

Masjid di Kampung Jawa
Masjid di Kampung Jawa
Dirinya membenarkan bahwa ia orang keturunan Jawa. Pria itu menceritakan bahwa ayahnya dulu adalah pekerja perkebunan karet milik orang Inggris. Orang-orang Jawa bekerja di Sarawak bisa jadi sejak tahun 1800-an. Sebagai pekerja perkebunan karet, orang Inggris itu memberi kesempatan selama tiga tahun dan memberi kesempatan bila kontrak ingin diperpanjang. Orang Jawa yang terus memperpanjang kontraknya itu lama kelamaan memilih menetap di sana, nikah, dan beranak pinak serta menjadi warga negara Malaysia.

Karena yang memperpanjang kontrak tidak satu orang, puluhan bahkan ratusan, maka dari sinilah muncul komunitas Jawa di Sarawak.  Kolong 2 dan Kolong 4, Sungai Tengah, adalah salah satu di antara beberapa  Kampung Jawa yang ada di Kuching. Kawasan ini berada di kaki Pegunungan Serapi.

Generasi pertama orang Jawa, yang bekerja di perkebunan karet milik orang Inggris, masih menularkan semua tradisi, bahasa, dan budaya Jawa kepada generasi kedua. Pria yang saya temui itu merupakan generasi kedua orang Jawa. Ia lahir di Sarawak, Malaysia. Pria yang mempunyai 3 anak itu, sekarang menjadi sesepuh di kampung itu. Ia menjadi imam di masjid kampung.

Lorong 4 yang Juga Bagian dari Kampung Jawa
Lorong 4 yang Juga Bagian dari Kampung Jawa
Saat bercakap-cakap dengannya, bahasa jawanya masih sangat fasih. Disebut di kampung itu ada banyak orang Jawa. Dirinya pernah pergi ke Solo, Jawa Tengah, untuk membeli gamelan. Ketika saya berkunjung ke rumahnya, terlihat ada foto saat berada di Candi Prambanan dan ada foto saat berpakaian gaya khas Jogja.

Meski dirinya mengaku orang Jawa namun karena budaya di kampung itu sudah bercampur baur dengan budaya yang lain sehingga ia tidak memaksa anak-anaknya untuk berbudaya Jawa. Disebut pertunjukan wayang atau gamelan terakhir di kampung itu pada tahun 1990-an.

Memudarnya budaya Jawa di sana bisa jadi selain karena seperti yang dikatakan tadi, karena bercampurnya dengan berbagai budaya, juga karena tidak adanya pembinaan secara khusus. Hal demikianlah yang seharusnya menjadi pikiran bersama bagi orang-orang Jawa yang peduli akan budayanya.

Ketika saya mengunjungi kampung itu memang nuansanya sudah tidak bertradisi Jawa, yang biasa berciri rumah joglo dan beratap genting. Namun saya menemukan bukti bahwa di kampung itu benar-benar Kampung Jawa ketika melihat di jalan masuk Lorong 2, ada semacam gapura, di mana di bawah gapura itu rupa seperangkat gamelan yang lengkap, ada bonang, gong, gambang, dan gendang. Rupa gamelan itu terbuat dari semen juga menuliskan sebuah kata Gamelan.

Dengan bukti rupa gamelan di jalan masuk Lorong 2 menyakinkan bahwa kampung itu benar-benar Kampung Jawa. Bila sudah demikian maka harus perlu dipikirkan bagi orang yang peduli budaya Jawa agar bagaimana tradisi leluhur perlu dilestarikan. Menjaga budaya agar bisa mengembangkan tali persaudaraan, silaturahmi, sesama orang Jawa, di mana pun berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun