Saat di Kuching, Sarawak, Malaysia, saya melihat di sebuah brosur wisata ada sebuah kampung yang bernama Boyan/Surabaya (1860). Kampung itu berada di seberang Water Front. Untuk menuju ke sana harus naik sampan dengan tarif 1 RM (Ringgit Malaysia). Penasaran untuk melihat jejak-jejak orang Jawa di Kuching, saya mengunjungi tempat itu.
Setelah turun dari sampan dan membayar upah, langsung bergegas menuju kampung yang persis di seberang Sungai Sarawak itu. Ketika berada di kawasan itu, memang nuansa Jawa terlihat. Di beberapa lorong menyebut nama Lorong Gersikan. Gersik merupakan sebuah nama kabupaten di Jawa Timur. Di kota itu dulu terkenal sebagai tempat penyebaran agama Islam lewat Syeh Maulana Malik Ibrahim.
Saya mencoba menyusuri lorong-lorong yang ada namun belum ada jejak yang pasti apakah tempat itu dulu memang Kampung Jawa atau pernah ditempat orang Jawa kemudian dalam perjalanan waktu berganti dihuni oleh orang-orang Melayu.
Di tengah kegalauan mencari jejak yang pasti dan di tengah teriknya panas matahari yang memancar, saya menuju ke pujasera yang berada di tepi sungai. Pujasera saat itu sepi, ada seorang laki-laki dan dua anaknya. Duduk tak jauh darinya dengan tujuan untuk bertanya tentang Kampung Boyan/Surabaya. Melihat pria dengan dua anak itu muncul keheranan sebab di hadapannya ada sebungkus rokok produk Indonesia. Menduga bahwa pria itu adalah orang Indonesia. Dugaan benar, ternyata ia adalah orang Pontianak, Kalimantan Barat.
Kalau mau mengunjungi Kampung Jawa menurutnya harus pergi ke Matang, sebuah kawasan yang berada di pinggir Kota Kuching. Di sana menurutnya masih ada orang berbahasa Jawa. Untuk menunjukan bukti bahwa Kampung Surabaya hanya tinggal nama, saya diajak menuju ke tempat itu. Benar rupanya apa yang dikatakan, kampung itu bukan lagi sebagaimana kampung yang kita pahami, sebagai tempat pemukiman penduduk yang padat apalagi dihuni oleh orang Jawa. Tempat itu sudah menjadi kawasan elit masyarakat Melayu Sarawak. Berada di kawasan pemerinatahan negeri itu.
Setelah penuh, angkutan itu bergerak meninggalkan terminal. Angkutan di Kuching memang punya trayek namun mereka mau mengantar penumpang hingga depan tempat tujuan. Termasuk saya diturunkan persis di depan Lorong 4.
Tiba di lorong itu, saya melihat sebuah masjid, Masjid Baitul Rahim. Waktu itu saatnya sholat dhuhur. Bergegas ke sana untuk menunaikan sholat berjamaah. Rupanya sholat jamaah yang diikuti puluhan jamaah itu sudah usai sehingga saya sholat sendiri. Ketika sholat usai, para jamaah pun juga usai berdoa bersama. Di saat itu saya bertanya kepada seorang jamaah tentang orang-orang Jawa. Pria gendut di mana saya bertanya padanya menunjuk pria yang tadi menjadi imam sebagai orang Jawa.
Segera saya mendekati itu, mempekernalkan diri dan mengutarakan keinginan untuk mengetahui tentang orang-orang Jawa di Matang. Ia bersama dengan jamaah lainnya mengajak duduk di kursi plastik berwarna hijau muda.
Karena yang memperpanjang kontrak tidak satu orang, puluhan bahkan ratusan, maka dari sinilah muncul komunitas Jawa di Sarawak.  Kolong 2 dan Kolong 4, Sungai Tengah, adalah salah satu di antara beberapa  Kampung Jawa yang ada di Kuching. Kawasan ini berada di kaki Pegunungan Serapi.
Generasi pertama orang Jawa, yang bekerja di perkebunan karet milik orang Inggris, masih menularkan semua tradisi, bahasa, dan budaya Jawa kepada generasi kedua. Pria yang saya temui itu merupakan generasi kedua orang Jawa. Ia lahir di Sarawak, Malaysia. Pria yang mempunyai 3 anak itu, sekarang menjadi sesepuh di kampung itu. Ia menjadi imam di masjid kampung.
Meski dirinya mengaku orang Jawa namun karena budaya di kampung itu sudah bercampur baur dengan budaya yang lain sehingga ia tidak memaksa anak-anaknya untuk berbudaya Jawa. Disebut pertunjukan wayang atau gamelan terakhir di kampung itu pada tahun 1990-an.
Memudarnya budaya Jawa di sana bisa jadi selain karena seperti yang dikatakan tadi, karena bercampurnya dengan berbagai budaya, juga karena tidak adanya pembinaan secara khusus. Hal demikianlah yang seharusnya menjadi pikiran bersama bagi orang-orang Jawa yang peduli akan budayanya.
Ketika saya mengunjungi kampung itu memang nuansanya sudah tidak bertradisi Jawa, yang biasa berciri rumah joglo dan beratap genting. Namun saya menemukan bukti bahwa di kampung itu benar-benar Kampung Jawa ketika melihat di jalan masuk Lorong 2, ada semacam gapura, di mana di bawah gapura itu rupa seperangkat gamelan yang lengkap, ada bonang, gong, gambang, dan gendang. Rupa gamelan itu terbuat dari semen juga menuliskan sebuah kata Gamelan.
Dengan bukti rupa gamelan di jalan masuk Lorong 2 menyakinkan bahwa kampung itu benar-benar Kampung Jawa. Bila sudah demikian maka harus perlu dipikirkan bagi orang yang peduli budaya Jawa agar bagaimana tradisi leluhur perlu dilestarikan. Menjaga budaya agar bisa mengembangkan tali persaudaraan, silaturahmi, sesama orang Jawa, di mana pun berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H