Mohon tunggu...
Ardiansyah Taher
Ardiansyah Taher Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sociolinguist

Music, Sports, Languages

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Baduy, “Journey to the Center of the Earth”

24 Maret 2016   22:19 Diperbarui: 21 Maret 2018   02:00 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Akar (Dokumentasi pribadi)

Di sudut rumah-rumah panggung yang disiapkan untuk menampung orang-orang yang tiba di Baduy Luar, terlihat anak-anak serta orang dewasa mandi di sungai saat senja tiba. Suara gemercik air serta celotehan anak-anak menyegarkan diri di kegelapan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sabun, pasta gigi, dan shampoo juga pantang digunakan untuk membersihkan diri bagi masyarakat Baduy, begitu pula pengunjung.

Kehidupan Suku Baduy memang masih sederhana, bahkan terkesan ketinggalan zaman di tengah melesatnya teknologi sekarang ini. Jangankan ada radio atau televisi, listrik pun sama sekali tidak ada di sini. Api dan air pun menjadi hal yang paling utama di sini. Mereka masih menggunakan penerangan dengan membakar batok kelapa saat gelap datang, begitu pula dengan bagaimana mereka memasak makanan.

Jalan yang terjal dan berbatu menuju Baduy (Dokumentasi pribadi)
Jalan yang terjal dan berbatu menuju Baduy (Dokumentasi pribadi)
Kami pun dipersilakan masuk ke dalam rumah panggung yang akan menjadi tempat kami beristirahat. Satu rumah khas warga Baduy cukup luas untuk menampung 20 orang sekaligus. Dua rumah sudah disiapkan mereka untuk memisahkan peserta pria dan wanita.

Mereka segera membantu kami memasak persediaan makanan yang dibawa. Mereka menanak nasi dan memasak ikan sarden yang menjadi menu makan malam kami, ditemani teh hangat buatan asli warga Baduy yang sungguh nikmat rasanya. Beberapa orang dari kami yang bisa berbahasa Sunda juga mencoba sedikit berbincang-bincang dengan penghuninya untuk menghangatkan suasana.

Malam semakin larut, kami beristirahat ditemani sinar bulan yang terang dan udara dingin yang cukup membuat tubuh gemetar. Tertidur pulas hingga gelap berganti terang. Tanpa kasur, bantal, dan guling, serta selimut.

Di pagi hari setelah sarapan, kami berkumpul di depan rumah panggung untuk berbincang-bincang dengan kepala desa. Pertanyaan demi pertanyaan disampaikan dan dijawab dengan gamblang dan ramah oleh sang Kepala Desa dengan bahasa Sunda Wiwitan yang diterjemahkan langsung oleh bapak pemandu di sampingnya.

Suku Baduy punya tradisi dan aturan sendiri. Kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah, soal pernikahan, hingga pemakaman. Mereka pun tidak ragu untuk datang ke Jakarta jika diundang, berjalan kaki tanpa alas siap ditempuh tanpa alasan.

Inilah yang masih dipertahankan masyarakat Baduy hingga saat ini. Pakaian khasnya, cara hidupnya, memiliki karakter dan identitas serta menjaga utuh warisan para leluhurnya. 

Mereka memang tertutup dari kehidupan di dunia luar dan modernisasi, namun sangat terbuka untuk orang luar suku yang ingin tahu lebih banyak tentang budaya di sini. Sebuah kekayaan budaya Indonesia yang harus tetap dijaga kearifannya.

Di titik ini perjalanan menuju Baduy dimulai (Dokumentasi pribadi)
Di titik ini perjalanan menuju Baduy dimulai (Dokumentasi pribadi)
Baduy, izinkan kami kembali suatu hari nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun