Ini merupakan perjalanan pertama kami menuju Baduy Luar. Kami datang dari berbagai kota di Indonesia dengan satu tujuan, tanpa pernah saling mengenal sebelumnya. Kami pun berjumpa lewat sebuah tur bertajuk “Open Trip Baduy” dari sebuah komunitas pemuda di media sosial. Berbeda dengan kegiatan mendaki gunung, perjalanan ini kami sebut “Journey to the Center of the Earth”.
Perjalanan menuju Baduy Luar diawali dengan menempuh jalur darat selama kurang lebih 4 jam dari titik kumpul di Kebon Jahe, Serang, menuju daerah Ciboleger. Dengan menggunakan sebuah truk pasir di tengah teriknya matahari dan panasnya udara di Kota Serang, para peserta open trip tetap semangat menuju Baduy yang merupakan pengalaman pertama bagi kami semua.
Menurut sang pemandu jalan, 6 jam harus ditempuh menuju Baduy Luar. Bagaimana dengan Baduy Dalam? Untuk menuju ke sana membutuhkan 2 kali lipat tracking menuju Baduy Luar.
Tak terbayangkan jika harus berjalan kaki setengah hari ke sana. Sang pemandu menambahkan, ada tanggal-tanggal tertentu jika kita ingin mengunjungi Baduy Dalam, karena peraturan adatnya yang lebih strict daripada Baduy Luar. Warga Baduy Luar dengan senang hati menerima kunjungan orang luar suku yang ingin mengetahui suasana kehidupan Suku Baduy.
Dengan membawa perlengkapan serta persediaan makanan dan minuman saat perjalanan, ada beberapa hal yang dilarang dilakukan: membuang sampah sembarangan dan merusak tumbuhan di sekitar.
Menyingkirkan dahan yang terjatuh saja sebaiknya jangan dilakukan karena bisa jadi itu petunjuk jalan bagi mereka yang tersesat. Ada juga hal yang tidak boleh dilakukan ketika tiba di Baduy Luar, di antaranya adalah mengambil gambar/memotret, menyalakan senter, serta gawai.
Mereka akan murka jika tersorot sinar senter. Boleh saja menyalakan gawai, namun patut diingat di sana sama sekali tidak ada listrik dan jaringan, jangan harap kita bisa nyaman di depan gawai dengan sinyal serta daya baterai yang penuh bertenaga.
Di sudut rumah-rumah panggung yang disiapkan untuk menampung orang-orang yang tiba di Baduy Luar, terlihat anak-anak serta orang dewasa mandi di sungai saat senja tiba. Suara gemercik air serta celotehan anak-anak menyegarkan diri di kegelapan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sabun, pasta gigi, dan shampoo juga pantang digunakan untuk membersihkan diri bagi masyarakat Baduy, begitu pula pengunjung.
Kehidupan Suku Baduy memang masih sederhana, bahkan terkesan ketinggalan zaman di tengah melesatnya teknologi sekarang ini. Jangankan ada radio atau televisi, listrik pun sama sekali tidak ada di sini. Api dan air pun menjadi hal yang paling utama di sini. Mereka masih menggunakan penerangan dengan membakar batok kelapa saat gelap datang, begitu pula dengan bagaimana mereka memasak makanan.
Mereka segera membantu kami memasak persediaan makanan yang dibawa. Mereka menanak nasi dan memasak ikan sarden yang menjadi menu makan malam kami, ditemani teh hangat buatan asli warga Baduy yang sungguh nikmat rasanya. Beberapa orang dari kami yang bisa berbahasa Sunda juga mencoba sedikit berbincang-bincang dengan penghuninya untuk menghangatkan suasana.
Malam semakin larut, kami beristirahat ditemani sinar bulan yang terang dan udara dingin yang cukup membuat tubuh gemetar. Tertidur pulas hingga gelap berganti terang. Tanpa kasur, bantal, dan guling, serta selimut.
Di pagi hari setelah sarapan, kami berkumpul di depan rumah panggung untuk berbincang-bincang dengan kepala desa. Pertanyaan demi pertanyaan disampaikan dan dijawab dengan gamblang dan ramah oleh sang Kepala Desa dengan bahasa Sunda Wiwitan yang diterjemahkan langsung oleh bapak pemandu di sampingnya.
Suku Baduy punya tradisi dan aturan sendiri. Kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah, soal pernikahan, hingga pemakaman. Mereka pun tidak ragu untuk datang ke Jakarta jika diundang, berjalan kaki tanpa alas siap ditempuh tanpa alasan.
Inilah yang masih dipertahankan masyarakat Baduy hingga saat ini. Pakaian khasnya, cara hidupnya, memiliki karakter dan identitas serta menjaga utuh warisan para leluhurnya.
Mereka memang tertutup dari kehidupan di dunia luar dan modernisasi, namun sangat terbuka untuk orang luar suku yang ingin tahu lebih banyak tentang budaya di sini. Sebuah kekayaan budaya Indonesia yang harus tetap dijaga kearifannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H