Mohon tunggu...
Timmy Ardian Roring
Timmy Ardian Roring Mohon Tunggu... Pustakawan - Pegawai Swasta

Seorang pekerja swasta yang mengaktualisasi diri dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Di Garda Terdepan Memperjuangkan Kehormatan Bahasa Persatuan

24 Oktober 2023   15:00 Diperbarui: 26 Oktober 2023   01:01 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Neni sedang mengajar di kelas Bahasa Indonesia bertepatan dengan hari Pahlawan (sumber: dokumen pribadi penulis)

“Coba tebak ya jenis majas apa ini!” pinta sang guru. “Kemarin, tanganku serasa mau patah setelah menyelesaikan tugas menulis cerpen Bahasa Indonesia dari Miss Neni.” 

Sontak, sembari tertawa kecil, murid-murid kelas 7B di sebuah sekolah swasta yang terletak di kawasan timur Surabaya itu berlomba-lomba mengangkat tangan mereka untuk memberikan jawaban. Sang guru-pun menunjuk seorang siswi bernama Violet, yang kemudian dengan percaya diri menjawab, “Hiperbola, Miss.” Sang guru lalu kembali melontarkan pertanyaan kepada kelas itu, “Sudah betul belum jawaban Violet?” Secara serempak, siswa-siswi 7B lain berkata, “Betul, Miss!”  

Begitulah sedikit gambaran dari keseruan kelas Bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Paneni Lia Sepanri Simanullang. Miss Neni, begitu ia biasa dipanggil oleh para muridnya, selalu mampu menumbuhkan antusiasme dalam diri peserta didik yang diajarnya, sehingga mereka dapat bersemangat dalam menyerap ilmu, menyelesaikan tugas, dan mengasah kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia.

Kecakapan Neni ini tentunya adalah hasil proses panjang yang telah dijalaninya sebagai seorang guru. Sudah lebih dari 12 tahun beliau mengabdikan dirinya sebagai guru Bahasa Indonesia. Penguasaan materi, teknik mengajar, dan kemampuan manajemen kelas yang dimilikinya tentunya tidak perlu diragukan lagi.

Namun yang banyak orang tidak ketahui adalah perjalanan dan perjuangan inspiratif Neni, yang merupakan seorang perantau di Surabaya, dimulai jauh sebelum ia pertama kali memutuskan untuk berkarir sebagai seorang guru.

Kesederhanaan yang Membahagiakan di Matiti

Neni lahir di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatra Utara. Ia merupakan bungsu dari 8 bersaudara, anak dari pasangan Bantu (Almarhum) dan Menteria Simanullang. Meskipun tinggal di desa dan dibesarkan dalam keluarga petani sederhana, Neni bisa dibilang cukup beruntung. 

Desa Matiti memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Daerah ini dianugerahi tanah yang subur dan merupakan penghasil kopi serta kemenyan bahan baku dupa. Dua komoditas ini bahkan menjadi produk ekspor andalan Kabupaten Humbang Hasundutan.

Karena kemurahan hati alam inilah, kedua orangtua Neni mampu mencukupi kebutuhan keluarga dengan bertani kopi di kebun mereka. Keluarga Neni juga menanam jeruk, pisang, dan lombok untuk keperluan makan sehari-hari. Neni sendiri ketika masih berstatus sebagai seorang pelajar kerap membantu kedua orangtuanya di kebun kopi atau di lahan belakang rumahnya sepulang sekolah.

Secara geografis, Desa Matiti berada di wilayah perbukitan. Udara disana sejuk cenderung dingin. Keadaan di sekelilingnya yang masih dipenuhi oleh pepohonan hijau sangatlah memanjakan mata. B

elum lagi lokasinya yang hanya 45 menit perjalanan menggunakan motor dari Danau Toba. Neni mengakui bahwa ketika kecil, dirinya kerap berenang dan menyelam di danau itu. Masih segar juga di ingatannya tentang betapa seringnya dulu ia menyantap olahan ikan hasil tangkapan dari danau terbesar di Asia Tenggara itu.

Dari sisi sosio-kultural, masyarakat Matiti begitu toleran dan menjaga persatuan di tengah adanya perbedaan keyakinan. Dalam kesederhanaan, penduduk asli Matiti hidup penuh rasa syukur. “Kami itu sering mengadakan acara syukuran, dan kami senang sekali bernyanyi,” kenang Neni.

Segala kenikmatan dan kenyamanan ini tentunya membuat Neni begitu betah tinggal di tanah kelahirannya itu. Namun tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan Neni, yang dari kecil menempuh pendidikan di sekolah negeri, berhasil menyelesaikan masa belajarnya di bangku SMA. Tibalah sebuah dilema yang mengharuskannya memilih satu di antara dua pilihan.

Keputusan Besar dan Jalan Terjal di Awal 

Kedua orangtua Neni memiliki sebuah cita-cita yang mulia. Mereka ingin semua anaknya menjadi sarjana dan sukses di kota meskipun mereka hanya berasal dari keluarga petani sederhana. Neni-pun harus memilih antara merantau dan mencoba meraih gelar S1, sama seperti kakak-kakaknya yang lain demi memenuhi mimpi kedua orangtuanya, atau tetap berada di ‘zona nyaman’-nya dengan tetap tinggal di Matiti.

Setelah merenungkannya secara mendalam, Neni membulatkan tekad dan memutuskan untuk memenuhi mimpi kedua orangtuanya, meski itu artinya ia harus meninggalkan segala kenikmatan yang ia rasakan di kampung halamannya. Keberaniannya itu juga dikompori oleh sebuah keinginan kuat yang bersemayam dalam dirinya untuk meraih kesuksesan di kota besar.

Keputusan Neni ini membawanya menuju Riau. Sayangnya, di perantauannya yang pertama ini, ia harus menghadapi jalan yang berliku dan berbatu. Saat berkuliah di Pekanbaru, ia mengakui bahwa dirinya tidak percaya diri dalam bersosialisasi. Jam kuliah malam yang baru tuntas pukul 22.00 juga berdampak negatif terhadap kesehatan Neni. Ia berulang kali jatuh sakit. Merasa gagal dalam beradaptasi dan terus dihantui rasa rendah diri, ia-pun sempat menyerah dan meninggalkan kuliahnya.

Mimpi yang Belum Mati

Namun asa kembali terajut kala Neni menginjakkan kaki di Surabaya. Awalnya, kunjungan Neni ini hanya untuk jalan-jalan saja atas undangan saudara kandungnya yang telah lebih dulu merantau dan menetap di sana. ‘Healing’ begitu kata muda-mudi sekarang. Tapi kebetulan, saat ia berada di Kota Pahlawan itu, ada penyelenggaraan ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri yang waktu itu masih dikenal dengan istilah SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Kakak Neni lalu memotivasinya untuk ikut SPMB. Neni, yang sempat ragu, akhirnya mengikutinya dan menetapkan Pendidikan Bahasa Indonesia sebagai pilihan pertama jurusan yang diminati.

Ada beberapa alasan yang mendorong Neni mantap untuk memilih jurusan ini. Pertama, Neni merasa bahwa pilihan karir sebagai seorang guru Bahasa Indonesia seringkali dipandang sebelah mata, dan karena itulah, ia merasa terpanggil untuk membuktikan bahwa pekerjaan ini sejatinya adalah pekerjaan yang luhur. Ia-pun bertekad menjadi sosok guru yang inspiratif sehingga banyak orang akan terdorong untuk mengambil pilihan karir yang sama.  

Selain itu, Neni juga punya “misi pribadi” untuk menguasai Bahasa Indonesia sepenuhnya karena saat di Matiti, sehari-hari ia lebih banyak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah.

Singkat cerita, Neni dinyatakan lulus SPMB dan diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Surabaya yang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikannya cukup tersohor dan memiliki reputasi gemilang. Neni, yang sama sekali tidak menduga hasil itu, memantapkan hati dan merasa bahwa inilah takdirnya. Dengan demikian, perantauan kedua Neni resmi dimulai, dan kali ini, perjuangannya membuahkan hasil. “Saya banyak belajar dari pengalaman merantau di Riau. Saya juga sudah lebih percaya diri dan karena itu, di Surabaya saya lebih bisa beradaptasi,” tuturnya.

Selama menempuh perkuliahan, Neni merasakan betapa rekan-rekan seperjuangannya menghargai dirinya meski ia berasal dari luar pulau. Apresiasi dari sahabat-sahabatnya itu begitu membekas di hatinya hingga sekarang. Berbagai kenangan indah-pun tercipta bersama mereka.

Di antara semua mata kuliah yang diambilnya, ‘Drama’ adalah yang paling tidak bisa ia lupakan. Ia masih ingat betul akan perjuangan timnya dalam mempersiapakan naskah drama, berlatih hingga petang, dan tampil memukau di hari pementasan. Selain itu, selama menimba ilmu, ia berhasil mengasah kemampuannya dalam bercerita dan ia sangat percaya diri dengan kecakapannya ini. Untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan, Neni tidak menghadapi kendala yang berarti. “Skripsi saya lancar jaya,” paparnya sembari tersenyum lebar. 

Mengabdi sebagai Pendidik

Sembari menantikan yudisium, berbekal kompetensi dan pengalaman magang yang dimiliki, Neni mencoba melamar pekerjaan dan berhasil diterima bekerja di sebuah sekolah swasta yang terletak di kawasan Surabaya Timur. Ia mantap berkarir di ibukota provinsi Jawa Timur itu dan sekolah ini-pun menjadi tempat kerjanya hingga sekarang. Di awal karirnya mengajar Bahasa Indonesia, ia sempat terkejut karena anak didiknya banyak yang mempertanyakan logatnya yang kental. Tapi ia bisa memakluminya dan justru menggunakan kesempatan itu untuk mengenalkan daerah asalnya dengan penuh kebanggaan.

Dua belas tahun bekerja sebagai guru, Neni, yang merupakan penggemar novel karya Tere Liye ini, telah memiliki pengalaman mengajar di beberapa jenjang, khususnya di tingkat SMP dan SMA. Ia juga pernah mengambil pekerjaan sampingan sebagai guru les anak SD selama 9 tahun. Ini menjadi bukti betapa besar dedikasinya dan kecintaan Neni terhadap jalan karir yang telah dipilihnya.

Ditanya tentang apa rahasia di balik kesuksesannya dalam berkarir sebagai guru Bahasa Indonesia, Neni membagikan beberapa kiat. Pertama, ia berpendapat bahwa guru Bahasa Indonesia haruslah pandai bercerita. “Anak-anak senang mendengarkan cerita, apalagi bila kita mampu bercerita dengan sangat menjiwai dan jago mendramatisir,” terangnya. Kedua, Neni mengingatkan agar guru-guru sesekali menambahkan humor saat menyampaikan materi. Ini sangat krusial untuk membuat murid betah belajar. 

Ketiga, Neni berpesan agar guru-guru mencoba mengintegrasikan karya-karya maupun film-film populer yang sekiranya murid-murid ketahui ke dalam penyampaian materi. Hal ini dimaksudkan agar apa yang diajarkan bisa lebih mudah mereka cerna.  Yang terakhir, wajib hukumnya bagi seorang guru untuk menghafal nama tiap muridnya. Tidak hanya sampai disitu, guru juga harus sesekali menanyakan bagaimana kabar mereka dan menyemangati mereka ketika mereka sedang sedih karena mendapat nilai yang jelek.

Pendekatan yang dilakukan Neni dalam mengajar dan membangun relasi dengan para muridnya ini selalu membuahkan hasil. Ia menjadi sosok guru yang istimewa di mata anak didiknya. Ia-pun kerap mendapat perhatian dari mereka. 

Misalnya saja, Neni, yang waktu tulsian ini dibuat sedang mengandung anak kedua, sering didatangi siswa dan siswinya yang kemudian mengingatkan dirinya untuk menghindari kelelahan berlebihan, selalu menjaga kesehatan, dan rutin periksa ke dokter. Bila ia mengenakan anting atau bros baru, pasti ada saja murid yang menanyakan atau memuji aksesoris tersebut. 

Perhatian akan hal-hal kecil seperti ini justru berarti besar buat Neni. Ini menandakan bahwa anak didiknya tidak cuek pada dirinya dan keberadaannya memiliki arti dalam kehidupan mereka. Bagi Neni, inilah hal yang paling berkesan dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pendidik.

Menjaga Martabat Bahasa Indonesia

Neni paham betul bahwa akibat dari globalisasi dan kemajuan teknologi, anak-anak Indonesia kini sudah semakin terpapar dengan bahasa asing dan bahasa gaul. Ini berlaku untuk anak-anak dari beragam status finansial, tidak hanya bagi mereka yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Fakta ini tentunya membuat martabat Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama bangsa ini rentan tercederai.

Sebagai guru Bahasa Indonesia, Neni bertekad untuk merespon fenomena ini dengan terus memperjuangkan marwah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ia-pun berharap agar saat-saat seperti ini justru menjadi momentum yang mendorong guru Bahasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk bekerja lebih keras lagi dalam memperjuangkan bahasa persatuan bangsa.

Neni memiliki visi agar anak-anak Indonesia tetap cakap dalam menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, baik lisan maupun tertulis. Meningkatkan kosakata Bahasa Indonesia bagi generasi muda-pun menjadi pekerjaan rumah besar bagi guru-guru Bahasa Indonesia agar anak-anak bangsa tidak menghafal lebih banyak kosakata bahasa asing dan bahasa gaul ketimbang kosakata bahasa nasional mereka. “Kadang saya sedih ketika anak-anak memahami sebuah kata dalam Bahasa Inggris, tapi justru mereka tidak mengetahui terjemahan Bahasa Indonesia dari kata itu. Bagaimanapun juga, anak-anak harus tetap mempunyai pengetahuan kosakata Bahasa Indonesia yang luas dan mendalam, tidak terbatas pada kata-kata yang umum saja,” harapnya.

Epilog

Kisah Neni ini merupakan gambaran kecil tentang perjuangan para pendidik bahasa yang menjaga marwah dan kehormatan bahasa persatuan kita, yaitu Bahasa Indonesia. Di bulan Oktober yang diperingati sebagai Bulan Bahasa ini, mari kita mengapresiasi dedikasi guru seperti Neni dan hendaknya kerja-keras para guru ini menginspirasi kita untuk melestarikan Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa yang harus selalu kita banggakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun