Dengan langkah cepat, Laras menyeberangi jalan menuju rumah Riana. Dia perlu mendengarnya langsung. Saat masuk, Riana menyambutnya dengan mata sembab dan wajah kusut. Tampak jelas rasa bersalahnya, tak berani menatap mata Laras.
"Kenapa kamu lakukan ini?!" Laras langsung meninggikan suaranya, tak sanggup menahan emosi. "Kamu sahabatku! Bagaimana bisa mengkhianatiku seperti ini?"
Air mata Riana jatuh tak terbendung. "Aku... aku tidak bermaksud... aku minta maaf...," lirihnya tersendat.
"Maaf? Maaf saja tidak cukup!" Laras mencengkeram lengan Riana dengan keras. "Kamu telah menghancurkan semuanya, Ri! Persahabatan kita, hidupku!"
Riana tersungkur, sesak di dadanya kian menghimpit. "Aku tahu... aku salah..." tangisnya pecah tak tertahankan.
"Harusnya kamu memikirkan konsekuensinya!" Suara Laras bergetar hebat. "Bukan malah egois mengikuti perasaanmu!"
"Aku... aku khilaf..." Riana berbisik nyaris tak terdengar.
"Lalu bagaimana dengan Bima? Dia juga suamiku! Sahabatmu!" Laras tak percaya ini semua terjadi.
Riana tak membalas. Bibirnya hanya bergetar dalam hening yang menyesakkan.
"Jawab aku, Riana!" Laras menarik paksa sahabatnya agar berdiri, "Bagaimana bisanya kamu tega menyakiti orang-orang yang mencintaimu?"
"Aku mencintainya, Laras! Aku mencintai Bima!" Air mata membasahi wajah Riana saat teriakannya melesat.