Hal ini makin mengkhawatirkan karena jika biasanya orang-orang menyampaikan pendapat provokatif dengan menggunakan akun samaran, berlindung di balik anonimitas, maka kali ini orang-orang semacam itu tidak lagi takut menutupi jati dirinya.
Akun-akun yang terlihat jelas menertawakan tragedi tersebut lewat pilhan react di Facebook hampir pasti sebagian besar adalah profil asli, dengan foto dan data diri nyata, bukan profil tuyul-tuyul anonim.
Mengapa ini bisa terjadi? Perlu tinjauan ilmiah untuk merunut korelasi dan menarik konklusi.Â
Namun bisa jadi ini karena ada yang keliru dalam cara pandang sebagian masyarakat terhadap pluralitas dan tampaknya ini bukan lagi masalah baru, malah cenderung makin kompleks, ditambah jumlah mereka yang banyak dan pembenaran yang didapat dari tokoh-tokoh berpengaruh yang punya pandangan serupa. Hal ini pada akhirnya menjadikan tindakan itu menjadi wajar dan pantas.
Tapi ini hanya salah satu kemungkinan yang perlu ditelisik lebih lanjut.
Pada akhirnya, apakah tulisan ini hanya bentuk kekhawatiran lebay yang keliru dan sekadar cocokologi fenomena yang dipaksakan? Mungkin saja ya.
Namun mungkin juga, apa yang sedang terjadi dan dikhawatirkan dalam isi tulisan ini adalah awal (atau lanjutan?) dari runtuhnya nilai-nilai universal, terutama empati antar sesama umat manusia, akibat pandangan sempit dan sentimen perbedaan yang makin kuat, yang sebenarnya masih menampilkan pucuk mini dari gunung es raksasa yang tersembunyi di bawah sana.
Tentunya, saya lebih suka dan berharap pada kemungkinan pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H