Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Kita Sudah Cukup Kritis Hari Ini?

19 September 2024   16:01 Diperbarui: 20 September 2024   09:59 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Berpikir Kritis | Image by Freepik

Fenomena masyarakat kritis semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin mudah. Masyarakat tidak lagi hanya menjadi penerima informasi pasif, tetapi juga aktif dalam menilai, mempertanyakan, dan mengkritisi berbagai isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terjadi di sekitar mereka. 

Di era digital ini, platform media sosial dan ruang publik virtual memberikan kesempatan luas bagi setiap individu untuk menyuarakan pendapat dan mengadakan diskusi terbuka. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan hak dan peran mereka dalam mendorong transparansi, keadilan, serta akuntabilitas dari pihak-pihak yang berwenang. 

Namun, peningkatan partisipasi kritis ini juga dihadapkan pada tantangan berupa penyebaran misinformasi, hoaks, dan polarisasi pendapat, yang dapat mempengaruhi kualitas diskursus publik.

Daya kritis, menurut Lipman (1991), adalah kemampuan seseorang untuk berpikir secara mendalam, sistematis, dan reflektif dalam menganalisis masalah atau informasi yang diterima. Hal ini mencakup kemampuan untuk mempertanyakan asumsi, mengidentifikasi bukti yang relevan, serta menyusun argumen yang logis dan terukur. 

Sementara itu, menurut Brookfield (1987), daya kritis melibatkan kesadaran seseorang akan konteks di mana pengetahuan dihasilkan dan digunakan, serta kemampuan untuk menguji validitas klaim atau pernyataan yang diterima secara luas. 

Paul dan Elder (2006) juga menegaskan bahwa daya kritis adalah kemampuan berpikir yang digunakan untuk mengevaluasi, menilai, dan memperbaiki cara berpikir, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih akurat dan objektif.

Secara umum, kesimpulan dari berbagai pandangan ahli mengenai daya kritis adalah bahwa kemampuan ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan yang bijaksana. 

Daya kritis memungkinkan seseorang untuk tidak hanya menerima informasi secara mentah, tetapi juga melakukan penilaian yang komprehensif dan bertanggung jawab dalam memahami suatu persoalan atau isu.

Lalu pertanyaannya, sudah sejauh manakah kita sebagai masyarakat Indonesia kritis hari ini? Pertanyaan ini relevan di tengah meningkatnya akses informasi yang luas melalui media digital. 

Di satu sisi, banyak masyarakat yang mulai mempertanyakan kebijakan publik, menuntut transparansi, dan mengkritisi isu-isu sosial seperti ketidakadilan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Gerakan-gerakan sosial, diskusi publik, dan petisi online menjadi bukti nyata bahwa daya kritis masyarakat semakin tumbuh. 

Namun, di sisi lain, kita juga masih menghadapi tantangan besar, seperti penyebaran hoaks, disinformasi, dan polarisasi yang kerap memicu ketegangan dan konflik. 

Meskipun demikian, masyarakat Indonesia terus menunjukkan perkembangan dalam kemampuan berpikir kritis, meski dengan ruang untuk perbaikan, terutama dalam membedakan informasi valid dari informasi menyesatkan dan dalam memperdalam analisis atas isu-isu yang dihadapi.

Kritis yang seperti apakah yang dimaksud?

Kritis yang dimaksud dalam konteks ini adalah kemampuan untuk berpikir secara mendalam, analitis, dan evaluatif terhadap informasi, kebijakan, atau situasi yang dihadapi. 

Kritis tidak hanya berarti mempertanyakan atau menentang, tetapi juga melibatkan proses penyaringan informasi, mengevaluasi bukti, serta memahami sudut pandang yang berbeda sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan. 

Dalam hal ini, masyarakat yang kritis mampu menganalisis situasi secara objektif, mempertanyakan asumsi yang ada, dan mencari solusi berdasarkan logika, data, serta pertimbangan etis yang matang. Sikap kritis juga mendorong seseorang untuk tidak mudah terpengaruh oleh misinformasi atau opini yang tidak didasarkan pada fakta. 

Penerapan sikap kritis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia bisa dilakukan dalam berbagai konteks. Berikut beberapa contoh konkret:

1. Memilih Informasi dari Media Sosial 

Di era digital, banyak berita atau informasi tersebar di media sosial. Masyarakat yang kritis akan mengecek sumber informasi, memeriksa kebenaran berita, dan tidak langsung menyebarkan berita tanpa memastikan validitasnya. Misalnya, ketika mendapatkan berita tentang isu politik, mereka akan membandingkan informasi dari beberapa sumber terpercaya sebelum membuat kesimpulan.

2. Kritis Terhadap Kebijakan Pemerintah 

Masyarakat kritis akan menilai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampaknya pada berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, ketika ada kebijakan kenaikan harga bahan bakar, masyarakat tidak hanya bereaksi emosional tetapi juga menganalisis alasan di balik kebijakan tersebut, menilai efeknya pada ekonomi, dan menyuarakan kritik atau saran yang konstruktif melalui diskusi publik atau petisi.

3. Penggunaan Produk Konsumsi 

Dalam memilih produk, masyarakat yang kritis akan memperhatikan aspek seperti kualitas, dampak lingkungan, dan etika produksi. Sebagai contoh, sebelum membeli produk, mereka akan memeriksa apakah produk tersebut ramah lingkungan atau diproduksi secara adil, dan tidak hanya berfokus pada harga atau popularitas produk.

4. Mengambil Keputusan Politik 

Saat pemilu, masyarakat yang kritis tidak memilih kandidat hanya berdasarkan popularitas atau janji-janji kampanye yang bombastis. Mereka akan mempelajari rekam jejak kandidat, mengevaluasi program kerja, dan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Hal ini mendorong mereka untuk memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan sekadar sentimen emosional.

5. Menyikapi Isu Lingkungan 

Dalam menghadapi masalah lingkungan, seperti polusi atau penggundulan hutan, masyarakat yang kritis akan meneliti lebih lanjut penyebab masalah tersebut. Mereka mungkin akan bergabung dalam komunitas yang peduli lingkungan, menuntut tanggung jawab dari pihak-pihak yang merusak alam, serta menerapkan gaya hidup ramah lingkungan seperti mengurangi penggunaan plastik.

Dengan menerapkan sikap kritis, masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi penerima pasif informasi atau kebijakan, tetapi juga partisipan aktif yang mampu menilai, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan yang lebih bijak dalam kehidupan sehari-hari.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun