Masyarakat kritis akan menilai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampaknya pada berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, ketika ada kebijakan kenaikan harga bahan bakar, masyarakat tidak hanya bereaksi emosional tetapi juga menganalisis alasan di balik kebijakan tersebut, menilai efeknya pada ekonomi, dan menyuarakan kritik atau saran yang konstruktif melalui diskusi publik atau petisi.
3. Penggunaan Produk KonsumsiÂ
Dalam memilih produk, masyarakat yang kritis akan memperhatikan aspek seperti kualitas, dampak lingkungan, dan etika produksi. Sebagai contoh, sebelum membeli produk, mereka akan memeriksa apakah produk tersebut ramah lingkungan atau diproduksi secara adil, dan tidak hanya berfokus pada harga atau popularitas produk.
4. Mengambil Keputusan PolitikÂ
Saat pemilu, masyarakat yang kritis tidak memilih kandidat hanya berdasarkan popularitas atau janji-janji kampanye yang bombastis. Mereka akan mempelajari rekam jejak kandidat, mengevaluasi program kerja, dan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Hal ini mendorong mereka untuk memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan sekadar sentimen emosional.
5. Menyikapi Isu LingkunganÂ
Dalam menghadapi masalah lingkungan, seperti polusi atau penggundulan hutan, masyarakat yang kritis akan meneliti lebih lanjut penyebab masalah tersebut. Mereka mungkin akan bergabung dalam komunitas yang peduli lingkungan, menuntut tanggung jawab dari pihak-pihak yang merusak alam, serta menerapkan gaya hidup ramah lingkungan seperti mengurangi penggunaan plastik.
Dengan menerapkan sikap kritis, masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi penerima pasif informasi atau kebijakan, tetapi juga partisipan aktif yang mampu menilai, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan yang lebih bijak dalam kehidupan sehari-hari.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H