Aku merasa bersalah karena menyangka mereka yang tidak-tidak. Aku jadi bersemangat untuk mengisi pengajian besok. Ini merupakan satu tantangan dakwah. Aku harus kuat menghadapi ini, sekuat rakyat Palestina yang mempertahankan negaranya. Aku harus bisa menyadarkan mereka dan mengubah akhlak mereka. Insya Allah.
***
Pagi masih belia. Kulangkahkan kakiku dengan niat ikhlas di jalan-Nya.
"Bismillahi tawakaltu alaLlahi la haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil adzhim"
Aku tiba di Ponpes Mawar. Rapi dan bersih. Banyak taman bunga, khususnya bunga mawar. Seperti nama ponpesnya. Beberapa santri yang lewat, menyapaku dengan senyum yang tak biasa.
Aku menuju ke masjid, mereka menungguku di sana. Jalan itu seperti beranda rumah sakit dimana sebelah kanan dan kiri adalah kamar pasien. Tetiba aku berhenti. Aku mendengar ada suara orang menjerit tepat di sampingku, kamar santri yang sedang kulewati. Pria bertulang lunak keluar dari kamar itu dengan wajah pucat.
"Tolong, Ustad! Di..di..di.. di dalam!" ucapnya tergesa. Mukanya berkeringat. Suaranya lembut tapi berat.
"Iya, di dalam ada apa?" Sigapku. Ia seperti ingin merangkulku. Aku mulai risih. Tapi saat itu, tak terpikir yang macam-macam di kepalaku. Mungkin karena aku terikut panik.
"Di dalam ada ular, Ustad!"  jawabnya sambil menunjuk ke kamar dengan salah satu jari telunjuk secara  lentik.
Aku masuk dan memeriksa. Beberapa lama kucari ular yang dimaksud, namun tak kutemukan. Bukannya suara desis ular yang kudengar, malah suara pintu yang dikunci.
"Kok dikunci pintunya?" tanyaku heran.
"Iya, Ustad. Biar ularnya gak keluar..." jawabnya genit. Matanya kedap-kedip. Ia berganti pakaian, hanya pakai celana boxer dan kaos mini. Aku semakin jijik.