Sementara Bunda Teresa, tidak bosan-bosannya mengajak teman-teman waria yang lain untuk bergabung di ponpesnya. Tidak sedikit yang menolak dengan alasan mereka masih kotor. Mereka sadar, pekerjaan malam yang selama ini mereka geluti bukanlah pekerjaan yang halal.
Di dalam ponpes itu juga mereka belajar sekaligus bekerja. Salon Bunda Teresa menambah penghasilan mereka yang menjadi karyawannya.
***
Aku tengah berada disamping Ustad Anshori terlibat dalam obrolan. Kami berjalan menuju surau.
"Tapi, Ustad, bukankah ini yang namanya mengubah ciptaan Allah?" tanyaku kembali. Namun beliau tetap tersenyum.
"Dada mereka sampai disuntik agar terlihat seperti wanita. Di salon, mereka melayani pendatang dengan penampilan yang seksi bahkan seorang wanitapun kalah seksi jika dibandingkan" Â
Ustad Anshori masih tetap tersenyum. Hingga kami tiba di sebuah surau dan shalat berjamaah. Selepas itu ia menjawab pertanyaanku.
 "Dhika, antum masih perlu banyak belajar dengan membaca situasi dan kondisi. Seandainya tidak ada yang menggagas ponpes itu, bukankah mereka malah jadi parah? Jadi apa mereka? Dengan adanya ponpes ini, kita bisa menyadarkan. Omongan kita didengarkan, karena memang itu pada tempatnya.Â
Kalau mereka sedang cari tamu malam-malam di jalanan, terus kita dakwahi, apa mungkin mereka mau mendengarkan? Bahkan mungkin kita akan dicaci maki atau dilawan dengan fisik.Â
Nabi juga berdakwah tidak instan. Memerlukan proses yang sangat panjang. Bertahun-tahun. Beliau bukannya disambut malah disambit. Tapi dengan keikhlasan dan kesabaran yang beliau miliki, lambat laun dakwahnya menuai kemenangan" terang Ustad Anshori tenang.
Beliau menambahkan, bahkan dulu ketika pertama kali dia diminta  mengisi pengajian, semua waria masih pakai mukena. Lama kelamaan, isi pengajian yang terus mengarah kepada kesadaran diri, dengan sendirinya satu per satu dari merekapun mulai berubah dan ingin kembali ke kondisi aslinya. Oleh sebab itu sebagian dari mereka mulai ada yang memakai kopiah dan sarung.