Mohon tunggu...
Ardha NurMustofa
Ardha NurMustofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang suka berdiskusi, berkontribusi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilmu Negara

3 Juli 2022   11:06 Diperbarui: 3 Juli 2022   11:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti inilah proses perkembangan hukum positif dan hubungan antara pembuat hukum dengan hukumnya yang sangat “over rasional" menurut S.Rahardjo, sehingga hukum hanya menjadi hukum tanpa menghendaki menjadi aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat. 

Positivisme hukum sudah seperti wabah penyakit influensa yang dengan sangat cepat menyerang sebagian besar negara-negara dibelahan bumi Eropa dan Asia. Sistem kerja penyebarannya berbagai bentuk entah itu melalui kolonialisasi ataupun melalui cara lain seperti yang kerap dilakukan oleh negara-negara penganutnya seperti Romawi, Prancis, dan Belanda. 

Di Indonesia, praktik kolonialisasi Belanda berperan besar dalam legalisasi (melalui UU/hukum tertulis) terhadap sistem hukum Indonesia. Negara Belanda yang beratusan tahun menjajah bangsa Indonesia adalah menjadi momentum tepat untuk mempraktekan sistem hukum yang dianut untuk mempermudah mengontrol sekaligus memuluskan pencapaian kepentingan di Indonesia.Sebenarnya, penerapan hukum Belanda di Indonesia bukan mewajibkan itu sebagai hukum bangsa Indonesia kelak, tetapi sepertinya fakta dunia hukum di Indonesia tetap menginginkan demikian maka terjadilah seperti sekarang ini.

Positivisme hukum Kelsen kerap menjadi model penerapan sistem hukum.Hal ini terlihat jelas dalam sistem hirarki perundang-undangan negara Indonesia yang menganut stufenbautheory Kelsen yang merupakan penganut posinvisme hukum.

Terkait hal ini dapat dicermati dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, yang memuat ketentuan hirarki peraturan perundang-undangan tertulis. Di dalam menerapkan stufenbautheory tersebut terdapat tiga asas panting dalam sistem perundang-undangan yaitu: pertama, lex superiori derogat Iegi inferiori yaitu asas perundang-undangan yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. 

Contohnya, suatu peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan apabila terjadi pertentangan maka undang-undang yang dipakai sehingga peraturan daerah tidak memiliki Iegitimasi yuridis lagi.Contoh lainnya, apabila terjadi suatu peristiwa hukum yang oleh undang-undang dinyatakan suatu pelanggaran tetapi oleh UUD 1945 dinyatakan bukan suatu pelanggaran maka yang dipakai adalah ketentuan UUD 1945.Asas ini sebenarnya bertujuan tercapainya harmonisasi peraturan perundang-undangan.Kedua, Iex posteriori derogat Iegi priori yaitu asas perundang-undangan yang menyatakan peraturan pcrundang-undangan yang baru mengesampingkan yang lama. 

Contohnya, jika seorang anggota partai politik mengalami permasalahan dengan partainya maka harus diselesaikan menurut UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bukan menurut UU Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur hal serupa. Jadi.asas ini berlaku bagi suatu pelanggaran aturan yang aturannya memiliki kedudukan sederajat atau bersifat horisontal. Hal ini berguna agar tidak terjadinya dualisme hukum terhadap suatu penyelesaian persoalan hukum.

Ketiga lex speciale dorogat legi generale yaitu asas perundang-undangan yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang khusus mengesampingkan yang umum. Contohnya secara umum UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota pemimpin diselenggarakan melalui mekanisme pemilihan umum secara demokratis. 

Akan tetapi, terdapat pengecualian atau pengkhususan terhadap pemilihan gubernur suatu wilayah misalkan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memihh gubernur tidak secara pemilihan umum yang demokratis sebagaimana di wilayah lain di Indonesia sesuai ketentuan UU Pemerintahan Daerah. 

Walaupun positivisme hanya menghendaki adanya kepastian hukum dengan menolak keadilan, seperti yang dikatakan Kelsen bahwa keadilan bukan merupakan wilayah hukum melainkan wilayah ideologi. Keadilan menurut Kelsen yang mengutip Plato adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan. karena keadilan adalah kebahagiaan.

Pemikiran tentang keadilan yang adalah kebahagiaan inilah yang mungkin membuat Kalsen menolak keadilan sebagai tujuan hukum. Karena keadilan yang sifatnya relatif, maka hukum harus mempunyai kepastian agar tidak terjadi kekacauan seperti mengambil kebebasan orang lain sehingga  kalau melanggar hukum harus dihukum tanpa melihat atau sebab melanggar hukum.

  • Menguatnya Penafsiran Tekstual Hukum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun