Mohon tunggu...
Ardha NurMustofa
Ardha NurMustofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang suka berdiskusi, berkontribusi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilmu Negara

3 Juli 2022   11:06 Diperbarui: 3 Juli 2022   11:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hans Kelsen adalah seorang ahli hukum yang sangat terkenal.pada tahun 1934, teoritisi hukum Amerika Rescoe Pound menulis bahwa Kelsen adalah ahli hukum terkenal yang tidak diragukan lagi pada masa itu. Tidak diragukannya Kelsendalam yurisprudensi, oleh kerena Salah satu karya Hans Kelsen yang berpengaruh saat ini yang berjudulPure Theory of Law atau ajaran murni tentang hukum, yang diklasifikasikan menjadi dua edisi sesuai dengan masa pembuatannya,Pure Theory of Law edisi I yang dikenal dalam literasi berbahasa Inggrisberjudul Introduction to The Problems of Legal Theory dibuat pada tahun 1934, kemudianPure Theory of Law edisi II dibuat pada tahun 1967,2dikedua literasi tersebut intinya Kelsen berpandangan bahwa hukum harus dipandang seobjektif mungkin, sehingga hukum terhindar dari pengaruh-pengaruh subjektivitas manusia yang acap kali menyesatkanilmu pengetahuan hukum dimasa lalu. 

Para ahli hukum terlibat dalam bidang psikologi, sosiologi, etika, maupun teologi yang bagi Kelsen hal demikian merupakan sesuatu yang fatalistik dan tidak mesti.

Pure Theory of Law sesungguhnya ingin meningkatkan reputasi ilmiahnya dengan cara menggunakan metodologi spesifik, maka ilmu hukum harus murni dari berbagai ideologi, sebab Pure Theory of Lawmenggolongkan dirinya sebagai teori hukum murni karena teori tersebut mengarahkan kognisi hukum pada hukum itu sendiri, dan karena teori tersebutmenghilangkan semua yang tidak menjadi objek kognisi, yang sebenarnya ditetapkan sebagai hukum tersebut.

Dalam konstruksi ajaran kemurnian hukum ini, Kelsenberusaha menghindarkan objek kognisi hukum dari berbagai elemen asing non-hukum, misalnya moral dan keadilan, dengan berbagai bentuk sendiriran atasnya. Bagi Kelsen Keadilan merupakanelemen asing yangberbeda dari kognisi hukum, sehingga hukum harus dipisahkan darinya, sebab Kelsen berpandangan bahwa ilmu hukum memiliki logika tersendiri. 

Hukum yang dimaksud Kelsen adalah hukum positif yang memiliki ciri spesifik tersendiri.Kelsen menganggap hukum sebagai kategori moral yang serupa dengan keadilan.Namun Kelsen menolak jika hukum dianggap sebagai bagian dari keadilan, misalnya menempatkan hukum sebagai cabang keadilan, sehingga hukum harus dirumuskan sesuai dengan keadilan. 

Kelsen melanjutkan dengan menjelaskan esensi keadilan yang bersumber dari psikologis manusia keadilan merupakan kerinduan manusia akan kebahagian, yang tidak bisa ditemukan sebagaiseorang individu dan mencarinya dalam masyarakat. Dalam masyarakat itulah terdapat kebahagian terbesar untuk semua individu, dengan menggunakan norma hukum umum maka kebahagiaan akan ditemukan, kebahagian bukanlah untuk sebagian individu pribadi yang bersifat subjektif semata.

Keadilan merupakan ide yang jauh dari pengalaman manusia seperti halnya dengan ide Platonik bahkan hukum kategoris transendental Immanuel Kant yang dinilainya kosong, keadilan merupakan kata yang sifatnya irasional dan tidak mungkin direduksi ke dalam skema logika.

Hans Kelsen sebagai tokoh yang mempertegas positivisme hukum memiliki tiga gagasan dasar yang sudah menjadi pengetahuan umum bagi khasanah positivisme hukum yaitu tentang teori hukum murni, tentang norma dasar dan tentang hirarki norma.

  • Ajaran hukum murni (pure theory of law)

Secara ringkas, dapat dikemukakan bahwa Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya non hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis, politis, dan sebagainya.Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum.Bagi Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang idealrasional. 

Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara. Berdasarkan penjelasan ini kita dapat melihat bahwa Kelsen menginginkan hukum adalah ilmu yang mandiri yang tidak dipengaruhi ilmu lain, bahkan secara ekstrim ia menolak keadilan menjadi penimbangan dalam hukum. Kelsen hanya menghendaki tercapainya kepastian hukum.[1]

Karena itu, teori hukum murni ini hanya menelaah hukum secara “apa adanya" (das Sein), dan tidak masuk ke lingkup “apa yang seharusnya" (das Sollen), sehingga karenanya teori hukum murni ini tergolong juga ke dalam ajaran “positivisme hukum.”

  • Ajaran tentang Grundnorm (norma dasar) 

Bertolak dari pemikiran yang hanya mengakui undang-undang sebagai hukum, maka Kelsen mengajarkan adanya grundnorm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum, dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm yang ada pada tata hukum A, tidak mesti sama dengan grundnorm pada tata hukum B (mungkin boleh juga sama tergantung muatan materi hukumnya). 

Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. Kelsen menciptakan norma dasar dalam hukum dengan memakai logika kausalitas atau hubungan sebab akibat, ia menginginkan adanya norma yang menjadi dasar dalam menciptakan norma-norma yang lain. 

Masih menjadi misteri maksud sebenamya grundnorm menurut Kelsen mengingat pemikirannya berada diantara filsafat transendentalisme Kant yang sarat akan proseduralisme dengan filsafat skeptisme radikal Hume yang sarat akan skeptis terhadap segala sesuatu.

  • Ajaran tentang Stefanbautheory (hirarkis norma) 

Peraturan hukum keseluruhanya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida dan semakin kebawah semakin ragam dan menycbar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin kebawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang dapat dilakukan. 

Dalam bentuk piramida Kalsen menjelaskan urutan norma abstrak sampai kepada yang konkret. Paling atas adalah grundnorm (norma fundamental negara) dibawahnya adalah secondary norm expresing primary norm (aturan dasar negara) mungkin maksudnya adalah norma yang kemungkinan menjadi tindakan, kemudian secondary norm expresing primary norm (undang-undang formal) urutan ini sudah memasuki konkretisasi norma, dan yang paling bawah adalah partyculary primary norm (peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom) urutan terakhir ini adalah norma-norma konkret dari norma dasar.

Pengaruh Terhadap Sistem Hukum Indonesia 

  • Menguatnya Peraturan Perundang-Undangan

Satjipto Rahardjo, penggagas hukum progresif di Indonesia dalam buku Sosiologi Hukumnya menjelaskan bagaimana kerja positivisme hukum. la mengemukakan bahwa hukum yang semula muncul dari hubungan antarmanusia secara serta-merta yang disebut juga hukum kebiasaan. berubah menjadi kaidah-kaidah yang dirumuskan secara publik dan positif. 

Proses seleksilah yang mempertegas kaidah-kaidah apa saja yang bisa dirumuskan secara positif yang kemudian menjadi hukum dan hukum tersebut kemudian menjadi sah dan berlaku. 

Pembuatan undang-undang (legislation) menjadi sumber mutlak bagi keabsahan hukum hanya melalui proses itulah ditentukan mana hukum yang sah berlaku. 

Dalam tata hukum Hindia Belanda (lndonesia sekarang) peminggiran kaidah hukum kebiasaan yang serta merta itu, terbaca misalnya pada pasal 15 “Algeme bepalingen van wetgeving voor lndonesie" (Peraturan Umum mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia) yang mengatakan “adat kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang mengatakan itu.[1]

Dalam penggunaan metode normatif maka hubungan antara orang yang melakukan pengkajian dan objek kajiannya adalah erat sekali atau hampir tidak ada jarak.Hukum sudah melekat belaka dengan diri pengkajinya. Bagi pengkaji lidakada sikap atau pilihan lain kecuali mematuhi hukum terscbut. Memang ia dapat melakukan kritik terhadap hukum yang berlaku dan menunjukkan kesalahan-kesalahan disitu, tetapi sikap dasarnya adalah tetap menerima, menjalankan dan memihak kepada hukum tersebut, sebagaimana dilukiskan berikut ini :

  1. Menerima hukum positif sebagai sesuatu yang harus dijalankan.
  2.  Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan (problem solving device).
  3. Berpartisipasi sebagai pihak sehingga mengambil sikap memihak kepada hukum positif.
  4.  Bersikap menilai dan menghakimi yang ditunjukan kepada masyarakat, berdasarkan hukum positif.

Seperti inilah proses perkembangan hukum positif dan hubungan antara pembuat hukum dengan hukumnya yang sangat “over rasional" menurut S.Rahardjo, sehingga hukum hanya menjadi hukum tanpa menghendaki menjadi aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat. 

Positivisme hukum sudah seperti wabah penyakit influensa yang dengan sangat cepat menyerang sebagian besar negara-negara dibelahan bumi Eropa dan Asia. Sistem kerja penyebarannya berbagai bentuk entah itu melalui kolonialisasi ataupun melalui cara lain seperti yang kerap dilakukan oleh negara-negara penganutnya seperti Romawi, Prancis, dan Belanda. 

Di Indonesia, praktik kolonialisasi Belanda berperan besar dalam legalisasi (melalui UU/hukum tertulis) terhadap sistem hukum Indonesia. Negara Belanda yang beratusan tahun menjajah bangsa Indonesia adalah menjadi momentum tepat untuk mempraktekan sistem hukum yang dianut untuk mempermudah mengontrol sekaligus memuluskan pencapaian kepentingan di Indonesia.Sebenarnya, penerapan hukum Belanda di Indonesia bukan mewajibkan itu sebagai hukum bangsa Indonesia kelak, tetapi sepertinya fakta dunia hukum di Indonesia tetap menginginkan demikian maka terjadilah seperti sekarang ini.

Positivisme hukum Kelsen kerap menjadi model penerapan sistem hukum.Hal ini terlihat jelas dalam sistem hirarki perundang-undangan negara Indonesia yang menganut stufenbautheory Kelsen yang merupakan penganut posinvisme hukum.

Terkait hal ini dapat dicermati dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, yang memuat ketentuan hirarki peraturan perundang-undangan tertulis. Di dalam menerapkan stufenbautheory tersebut terdapat tiga asas panting dalam sistem perundang-undangan yaitu: pertama, lex superiori derogat Iegi inferiori yaitu asas perundang-undangan yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. 

Contohnya, suatu peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan apabila terjadi pertentangan maka undang-undang yang dipakai sehingga peraturan daerah tidak memiliki Iegitimasi yuridis lagi.Contoh lainnya, apabila terjadi suatu peristiwa hukum yang oleh undang-undang dinyatakan suatu pelanggaran tetapi oleh UUD 1945 dinyatakan bukan suatu pelanggaran maka yang dipakai adalah ketentuan UUD 1945.Asas ini sebenarnya bertujuan tercapainya harmonisasi peraturan perundang-undangan.Kedua, Iex posteriori derogat Iegi priori yaitu asas perundang-undangan yang menyatakan peraturan pcrundang-undangan yang baru mengesampingkan yang lama. 

Contohnya, jika seorang anggota partai politik mengalami permasalahan dengan partainya maka harus diselesaikan menurut UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bukan menurut UU Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur hal serupa. Jadi.asas ini berlaku bagi suatu pelanggaran aturan yang aturannya memiliki kedudukan sederajat atau bersifat horisontal. Hal ini berguna agar tidak terjadinya dualisme hukum terhadap suatu penyelesaian persoalan hukum.

Ketiga lex speciale dorogat legi generale yaitu asas perundang-undangan yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang khusus mengesampingkan yang umum. Contohnya secara umum UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota pemimpin diselenggarakan melalui mekanisme pemilihan umum secara demokratis. 

Akan tetapi, terdapat pengecualian atau pengkhususan terhadap pemilihan gubernur suatu wilayah misalkan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memihh gubernur tidak secara pemilihan umum yang demokratis sebagaimana di wilayah lain di Indonesia sesuai ketentuan UU Pemerintahan Daerah. 

Walaupun positivisme hanya menghendaki adanya kepastian hukum dengan menolak keadilan, seperti yang dikatakan Kelsen bahwa keadilan bukan merupakan wilayah hukum melainkan wilayah ideologi. Keadilan menurut Kelsen yang mengutip Plato adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan. karena keadilan adalah kebahagiaan.

Pemikiran tentang keadilan yang adalah kebahagiaan inilah yang mungkin membuat Kalsen menolak keadilan sebagai tujuan hukum. Karena keadilan yang sifatnya relatif, maka hukum harus mempunyai kepastian agar tidak terjadi kekacauan seperti mengambil kebebasan orang lain sehingga  kalau melanggar hukum harus dihukum tanpa melihat atau sebab melanggar hukum.

  • Menguatnya Penafsiran Tekstual Hukum

Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum dan ilmu hukum.Penafsiran hukum adalah metode untuk memahami makna yang terkandung dan teks-teks hukum untuk dipakai untuk menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.[2]

Dengan demikian, dalam pengertian penafsiran hukum di sini dimaknai tidak hanya demi penemuan hukum oleh hakim dalam pengadilan melainkan juga pelaksanaan suatu ketentuan hukum oleh para pejabat publik, katakanlah eksekutif dan legislatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun