kesehatan. Salah satu contoh nyata sekarang ini yang menggabungkan perawatan kesehatan dan teknologi baru dinamakan "kesehatan digital." Kesehatan digital adalah bidang pengetahuan dan praktik yang berhubungan dengan penggunaan dan pengembangan teknologi digital untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Kesehatan digital dapat digunakan untuk memberdayakan pasien dengan membuat keputusan yang lebih tepat tentang kesehatan mereka.Kecerdasan buatan yang digunakan dalam dunia kesehatan merupakan inovasi teknologi yang membentuk sistem kesehatan sekarang. Kecerdasan buatan sudah dapat melakukan kegiatan yang bahkan manusia tidak dapat melakukannya. Kecerdasan buatan dapat membantu menangani pekerjaan yang membosankan, seperti mengetik dan membuat catatan elektronik. Bahkan, kecerdasan mengungguli manusia dalam pekerjaan membaca gambar radiologi dalam beberapa aspek utama.
Dalam beberapa dekade, perkembangan teknologi telah merambah berbagai bidang. Arus perkembangan teknologi yang begitu cepat sudah tidak bisa diragukan lagi. Salah satu bidang yang terpengaruh perkembangan teknologi adalah bidangKecerdasan buatan medis bahkan semakin dapat melakukan tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh tenaga medis professional terbaik di dunia. Kecerdasan sudah dapat menganalisis gejala dan tanda-tanda vital pasien. Algoritma kecerdasan buatan kemudian membandingkan informasi yang didapat dengan Riwayat pasien dan keluarga mereka serta jutaan pasien serupa lainnya. Dengan cara ini, kecerdasan buatan dapat menemukan penyebab penyakit lebih cepat dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Namun, perlu kita perhatikan kembali bahwa perkembangan teknologi berbasis kecerdasan buatan dalam dunia kesehatan ini tetap memiliki risiko. Menurut laporan dari WHO pada tahun 2019, terdapat lebih dari 1.000 kasus kebocoran data kesehatan yang dilaporkan, yang memengaruhi lebih dari 15 juta orang. Selain itu, kebocoran sebanyak 279 juta data peserta BPJS Kesehatan berhasil di retas terjadi pada tahun 2021. Dalam hal ini, kasus ini terkait dengan hak-hak individu.Hak-hak individu dalam konteks kesehatan adalah hak mereka yang memiliki kontrol penuh dan dapat memutuskan bagaimana data-data kesehatan tersebut digunakan. Akan tetapi, masih banyak individu tidak memiliki kontrol penuh dan tahu bagaimana penggunaan data tersebut. Selain itu, terdapat masalah bias algoritmik yang dapat memperburuk ketidaksetaraan dalam pelayanan kesehatan. Bias algoritmik tersebut dapat menurunkan kualitas keputusan sehingga dapat berefek negatif bagi pasien.
Tanggung jawab etis dari penggunaan kesehatan digital dan kecerdasan buatan terhadap pasien juga dipertanyakan. Masih banyak perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kesalahan pengambilan keputusan yang dibuat kecerdasan buatan. Namun, ada tiga pihak utama yang bertanggung jawab, yaitu pengembang perangkat lunak maupun kecerdasan buatan, penyedia layanan kesehatan, dan pengguna akhir di mana tenaga medis dan kesehatan yang menggunakan layananan kesehatan digital serta kecerdasan buatan. Selain itu, ada potensi ketidaksetaraan akses yang meningkat jika layanan berbasis kesehatan digital dan kecerdasan buatan tidak dapat diakses oleh semua masyarakat.
Artikel ini akan membahas prinsip-prinsip etika yang relevan dalam penerapan kesehatan digital dan kecerdasan buatan, serta tantangan dan solusi untuk memastikan agar teknologi ini dapat memberikan manfaat secara maksimal tanpa mengorbankan aspek etis yang dapat merugikan banyak orang.
Permasalahan Etika dalam Kesehatan Digital dan Kecerdasan BuatanÂ
1. Privasi dan Perlindungan DataÂ
Kesehatan digital dan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang besar untuk transformasi sistem kesehatan, tetapi juga membawa sejumlah tantangan etika yang kompleks. Salah satu tantangannya terkait dengan masalah privasi dan perlindungan data. Penggunaan kecerdasan buatan membutuhkan data dalam jumlah besar untuk menganalisis pola, mengembangkan prediksi, dan memberikan rekomendasi medis. Data tersebut penting untuk diagnosis dan teknologi penentuan keputusan.Namun, ini menimbulkan ancaman terhadap privasi individu karena data pasien yang digunakan seringkali bersifat sangat sensitif. Kebocoran data, akses tidak sah, atau penyalahgunaan data dapat menurunkan hingga merusak kepercayaan pasien. Selain itu, regulasi seperti GDPR ,yang merupakan regulasi Uni Eropa untuk mengatur dan melindungi data pribadi, dan aturan perlindungan data lokal sering kali tidak mencakup dinamika kompleks dari penggunaan data oleh kecerdasan buatan. Oleh karena itu, diperlukan adanya regulasi yang lebih komprehensif untuk mencegah kebocoran data.
2. Bias dan KetidakadilanÂ
Kecerdasan buatan sering kali mencerminkan bias yang ada dalam algoritmanya. Bias tersebut dapat memperburuk ketidakadilan dalam layanan kesehatan. Mengatasi bias algoritmik memungkinkan untuk membuat output pelayanan kesehatan yang berkualitas. Bias tersebut dapat terjadi ketika data yang digunakan untuk melatih algoritma mungkin tidak mewakili semua kelompok populasi secara adil.Â
Sebagai contoh, kecerdasan buatan yang dilatih menggunakan data dari negara maju mungkin kurang akurat saat diterapkan di negara berkembang. Tentu data-data yang diolah oleh kecerdasan di negara seperti Amerika Serikat tidak akan sama dengan data algoritma yang ada di negara berkembang, seperti Indonesia. Bias tersebut dapat menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok rentan, seperti perempuan, minoritas etnis tertentu, atau pasien dengan kondisi kesehatan tertentu.
3. Akuntabilitas dan Tanggung JawabÂ
Salah satu permasalahan paling kompleks dalam penerapan kecerdasan buatan dalam dunia kesehatan adalah menentukan pihak yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan, seperti diagnosis yang salah atau kegagalan sistem. Dalam penggunaan sistem kecerdasan buatan, tanggung jawab sering kali terpecah antara pengembang perangkat lunak, penyedia layanan kesehatan, dan pengguna akhir. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang mendefinisikan tanggung jawab setiap pihak dengan jelas, termasuk situasi di mana teknologi kecerdasan buatan menggantikan keputusan manusia.
 4. Transparansi dan KepercayaanÂ
Sistem kecerdasan buatan dianggap sebagai black box, di mana proses pengambilan keputusannya sulit dipahami, bahkan oleh pengembangnya sendiri. Kekurangan pemahaman dan transparansi dapat menurunkan kepercayaan pasien dan tenaga medis terhadap hasil atau rekomendasi yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan. Hal tersebut dapat memperbesar potensi penolakan pasien untuk mengikuti rekomendasi kecerdasan buatan karena kurangnya kejelasan tentang bagiamana keputusan tersebut diambil oleh kecerdasan buatan.Â
Prinsip-Prinsip Etika dalam Kesehatan Digital dan Kecerdasan Buatan
Etika dalam kesehatan digital dan kecerdasan buatan dapat memastikan penggunaan teknologi yang aman, adil, dan efektif dalam menghargai privasi pasien. Perkembangan teknologi dalam kesehatan digital dan kecerdasan buatan harus disertai pertimbangan etik yang kuat dan pelibatan semua pihak meliputi tenaga medis, tenaga kesehatan profesional, ahli kecerdasan buatan, pasien, dan ahli etik. Hal tersebut sangat diperlukan untuk memantau implementasinya. Prinsip-prinsip etika berikut harus diterapkan untuk memandu pengembangan dan penerapan kecerdasan buatan yang etis dalam kesehatan digital.Â
1. Beneficence
Benefience berarti menekankan tindakan seseorang yang menguntungkan orang lain dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Prinsip ini menekankan pada tujuan kecerdasan buatan untuk memberikan manfaat yang maksimal, seperti meningkatkan akurasi diagnosis, mempercepat pengobatan, dan mengurangi beban kerja tenaga medis.
 2. Non-Maleficence
Non-maleficence berarti prinsip yang mewajibkan seseorang untuk menghindari tindakan yang berpotensi merugikan orang lain. Prinsip ini mencegah kerugian fisik maupun psikologis yang mungkin muncul akibat penerapan teknologi kecerdasan buatan pada dunia kesehatan. Sebagai contoh, pengambilan keputusan yang salah oleh kecerdasan buatan dapat menyebabkan kesalahan pengobatan. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip ini diperlukan tindakan untuk meminimalisasi kesalahan keputusan yang dibuat kecerdasan buatan oleh para tenaga medis dan tenaga kesehatan. Sebagai contoh, kecerdasan buatan yang digunakan untuk mendeteksi penyakit langka harus diuji secara menyeluruh untuk memastikan tidak ada kesalahan yang merugikan pasien.Â
 3. Autonomi
Prinsip autonomi adalah prinsip etik yang menjunjung dan menghormati hak pasien untuk membuat keputusan sendiri berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang diyakininya. Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam keputusan medis mereka.Â
4. KeadilanÂ
Prinsip keadilan dibutuhkan dan direfleksikan dalam praktik professional ketika tenaga kesehatan atau tenaga medis bekerja sesuai hukum, standar praktik, dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan yang optimal. Kecerdasan buatan harus dirancang dan diimplementasikan secara menyeluruh untuk menghindari ketimpangan layanan kesehatan yang diberikan. Teknologi kecerdasan buatan juga harus dipastikan dapat diakses di individu dengan kemampuan ekonomi rendah dan daerah terpencil.Â
Rekomendasi untuk Penerapan Kesehatan Digital dan Kecerdasan Buatan yang Etis
1. Kolaborasi Antardisiplin IlmuÂ
Kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan dibutuhkan untuk penerapan kecerdasan buatan yang etis. Kolaborasi  tersebut harus melibatkan ahli teknologi, tenaga kesehatan, pasien, dan pakar etika untuk memastikan pendekatan holistik dalam pengembangan kecerdasan buatan.Â
2. Pengembangan Regulasi yang Komprehensif
Pengembangan regulasi yang menyeluruh dan mengatur tentang etika kesehatan digital dan kecerdasan buatan. Hal tersebut dibutuhkan untuk melindungi data, mengelola bias, dan menjaga mekanisme pertanggung jawaban yang jelas.
3. Pemantauan dan Evaluasi Berkelanjutan atas Sistem Kecerdasan BuatanÂ
Kecerdasan buatan harus dipantai, diuji, dan diperbarui secara berkala untuk mencegah dari masalah baru, seperti kebocoran data dan bias algoritmik.Â
4. Edukasi bagi Tenaga Medis dan Masyarakat Tentang Potensi dan Batasan Kecerdasan BuatanÂ
Tenaga medis dan pengguna teknologi kesehatan digital harus diberikan pelatihan tentang potensi dan keterbatasan kecerdasan buatan agar dapat digunakan secara bertanggung jawab. Pelatihan yang diberikan bisa mencakup workshop tentang interpretasi hasil dari alat kecerdasan buatan di Rumah Sakit.Â
KesimpulanÂ
Permasalahan etika dalam kesehatan digital dan kecerdasan buatan (AI) mencakup isu-isu kritis, seperti privasi, perlindungan data, bias, ketidakadilan, akuntabilitas, dan transparansi data. Teknologi ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, tetapi tetantangan-tantangan tersebut dapat mengancam etik kesehatan pasien, tanggung jawab etis, dan efektifitas sistem kesehatan secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan prinsip-prinsip etika yang kuat dalam pengembangan dan penerapan kecerdasan buatan. Hal tersebut dilakukan agar teknologi ini dapat digunakan secara aman.
Untuk memastikan implementasi kecerdasan buatan yang etis dalam kesehatan digital, diperlukan kolaborasi antardisiplin antara ahli teknologi, tenaga kesehatan atau tenaga medis, dan pakar etika guna menciptakan regulasi yang komprehensif. Selain itu, pemantauan berkelanjutan terhadap algoritma kecerdasan buatan serta edukasi bagi tenaga medis tentang potensi dan batasan teknologi ini sangat penting. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengorbankan privasi atau keadilan bagi pasien.
Referensi:
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of Biomedical Ethics (8th ed.). Oxford University Press.
Inglada Galiana, L., Corral Gudino, L., & Miramontes Gonzlez, P. (2024). tica e inteligencia artificial. Elsevier BV. https://doi.org/10.1016/j.rce.2024.01.007
Oliva, A., Grassi, S., Vetrugno, G., Rossi, R., Della Morte, G., Pinchi, V., & Caputo, M. (2022). Management of Medico-Legal Risks in Digital Health Era: A Scoping Review. Frontiers Media SA. https://doi.org/10.3389/fmed.2021.821756
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2019) Kode Etik Kesehatan Masyarakat. Available at: http://www.kemkes.go.id (diakses pada 11 Desember 2024)
Penulis : Muhammad Ardan, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H