Kita sering mendengar mengenai Ngaben, Rambu Solo', dan berbagai upacara kematian lainnya. Saat ini, upacara kematian diselenggarakan menurut kepercayaan maupun tradisi masing-masing.Â
Hal ini berbeda jauh dengan upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Majapahit. Mereka akan menyelenggarakan upacara kematian menurut keinginan si mendiang.
Mereka yang anggota keluarganya sedang sekarat, akan bertanya apakah setelah kematiannya mereka ingin dimakan anjing, dimakan api, atau dibuang ke laut. Keluarga yang ditinggalkan akan menggelar upacara sesuai dengan keinginan si mendiang dalam perintah sekarat yang ditinggalkannya.
Jika mereka ingin dimakan anjing, maka keluarga akan membawa jenazahnya di tanah tempat banyak anjing berkeliaran. Apabila anjing-anjing tersebut melahap habis jenazah, maka akan dianggap sebagai pertanda baik.Â
Namun jika anjing-anjing tersebut tidak memakan seluruhnya, keluarganya akan menangis dan bersedih, lantas memunguti sisa-sisa bagian tubuh dan tulang-tulangnya untuk dibuang di laut.
Bagi mereka yang memilih untuk dibuang ke laut, tentu saja anggota keluarga akan melarung (melabuhkan) jenazahnya di laut. Demikian pula bagi mereka yang ingin dibakar, keluarga akan mengadakan upacara pembakaran mayatnya hingga menjadi abu. Unik, bukan?
4. Banyak permasalahan yang diselesaikan dengan kekerasan
Nasihat "Selesaikan masalah dengan otak, bukan dengan otot" nampaknya belum berlaku di masa ini. Ma Huan menceritakan bagaimana masyarakat Majapahit sangat menghargai kepala mereka.Â
Jika seseorang menyentuh kepala mereka tanpa izin, urusannya bisa panjang. Tak hanya bertengkar, mereka bisa saja terlibat dalam perkelahian gara-gara sentuh menyentuh kepala ini.
Selain itu, dalam sengketa dagang atau salah paham ketika mabuk pun bakal menimbulkan masalah besar. Pihak yang saling bersengketa tak segan-segan mengeluarkan senjatanya dan mulai saling menyerang hingga menusuk satu sama lain.
Kebiasaan ini didukung oleh gaya pakaian mereka. Kaum lelaki Majapahit selalu membawa pu-lak (keris) yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Mulai dari anak-anak, hingga para tetua adat, semuanya membawa senjata kemanapun mereka pergi. Seram!