Kita semua pasti pernah berandai-andai soal hidup. Kehidupan yang saat ini kita jalani terkadang tak cukup menarik hingga kita membayangkan skenario hidup lain.Â
Mulai dari membayangkan skenario menjadi anak konglomerat, menjadi ilmuwan hebat, bahkan mungkin kita berandai-andai bagaimana kehidupan kita akan berjalan apabila kita menjadi pasukan pembasmi titan bersama dengan Erren, Levi, dan Erwin dalam anime "Attack on Titan".
Namun pernahkah Anda membayangkan bagaimana jadinya apabila Anda hidup di masa lampau? Pernahkah Anda membayangkan bagaimana kehidupan akan berjalan tanpa handphone, televisi, internet, dan listrik?
Angan-angan itu tentu lebih menarik lagi, apabila kita asosiasikan dengan suatu zaman yang bisa dibilang cukup makmur di bawah naungan kerajaan besar.Â
Wah, bagaimana ya rasanya hidup sebagai rakyat dari kerajaan besar nan makmur tapi tidak tersentuh listrik, internet, maupun gadget? Kali ini, kita akan flashback ke kehidupan di bawah naungan Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Sempat berjaya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dibantu dengan Mahapatih Gadjah Mada.
Kerajaan ini berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara, bahkan hingga Tumasik dan Brunei. Hal ini tentu membuat kehidupan pada masa Majapahit amat menarik untuk diulik.
Jadi, akan seperti apakah hari-hari yang kita jalani apabila kita hidup sebagai rakyat biasa di bawah naungan Kerajaan Majapahit? Berikut ini beberapa catatan mengenai kehidupan masyarakat Majapahit yang bisa membantu kita untuk berandai-andai:
1. Rumah tanpa bangku maupun tempat tidur
Berdasarkan catatan perjalanan Ma Huan dalam Ying Ya Sheng Lan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudera), masyarakat Majapahit tidak memiliki bangku maupun tempat tidur di rumahnya.
Rumah-rumah penduduk dialasi jerami dan dilengkapi dengan ruang penyimpanan untuk menyimpan barang-barang mereka. Biasanya, si pemilik rumah akan duduk dan berkumpul di atas tempat penyimpanan mereka.
Untuk urusan dekorasi rumah, arkeolog Supratikno Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir menyebutkan bahwa masyarakat Majapahit menggunakan patung tokoh perempuan yang terbuat dari tanah liat sebagai hiasan rumah mereka. Hiasan ini juga menjadi simbol status sosial.
Bicara soal status sosial, tak beda jauh dengan zaman sekarang. Pada zaman Majapahit, rumah-rumah pejabat bisa dibilang berbeda jauh dengan rumah-rumah rakyat biasa.Â
Dilansir dari Historia.id, pejabat-pejabat kerajaan memiliki hak-hak istimewa terkait dengan hunian. Hal ini berdasarkan Prasasti Gandakuti (1042 M) yang menyebutkan bahwa pejabat boleh memiliki pavilion dengan warna-warna tertentu atau dipan berukir yang diletakkan di dalam bale.Â
Selain itu, rumah para pejabat diperbolehkan memiliki waruga atau serambi yang ditinggikan di tengah dan di bagian belakang serta memiliki tiang hingga 8 buah. Sangat kontras ya apabila dibandingkan dengan rumah-rumah rakyat biasa!
2. Mengunyah pinang setiap hari
Masih dalam Ying Ya Sheng Lan, Ma Huan menceritakan kebiasaan mengunyah pinang yang dilakukan oleh rakyat Majapahit tiap harinya. Baik pria maupun wanita akan mencampurkan pinang, daun sirih, dan jeruk nipis kemudian mengunyah campuran ini.Â
Setiap tamu yang datang ke rumah mereka tak akan dijamu dengan teh atau segelas air. Namun mereka akan mendapat suguhan campuran pinang dan sirih ini.
Apabila mereka hendak makan, mereka akan berkumur dan membersihkan mulut dari sisa-sisa campuran ini. Selanjutnya, mereka akan menyantap nasi yang disajikan dengan saus atau mentega. Lalu, mereka akan makan langsung dari tangannya dengan formasi duduk melingkar bersama semua anggota keluarganya.
Jadi, bisa bayangkan, apabila kita hidup di masa ini, tentu saja kita akan mengunyah campuran pinang, sirih, dan jeruk nipis setiap hari!
3. Upacara kematian yang beragam sesuai keinginan orang yang meninggal
Kita sering mendengar mengenai Ngaben, Rambu Solo', dan berbagai upacara kematian lainnya. Saat ini, upacara kematian diselenggarakan menurut kepercayaan maupun tradisi masing-masing.Â
Hal ini berbeda jauh dengan upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Majapahit. Mereka akan menyelenggarakan upacara kematian menurut keinginan si mendiang.
Mereka yang anggota keluarganya sedang sekarat, akan bertanya apakah setelah kematiannya mereka ingin dimakan anjing, dimakan api, atau dibuang ke laut. Keluarga yang ditinggalkan akan menggelar upacara sesuai dengan keinginan si mendiang dalam perintah sekarat yang ditinggalkannya.
Jika mereka ingin dimakan anjing, maka keluarga akan membawa jenazahnya di tanah tempat banyak anjing berkeliaran. Apabila anjing-anjing tersebut melahap habis jenazah, maka akan dianggap sebagai pertanda baik.Â
Namun jika anjing-anjing tersebut tidak memakan seluruhnya, keluarganya akan menangis dan bersedih, lantas memunguti sisa-sisa bagian tubuh dan tulang-tulangnya untuk dibuang di laut.
Bagi mereka yang memilih untuk dibuang ke laut, tentu saja anggota keluarga akan melarung (melabuhkan) jenazahnya di laut. Demikian pula bagi mereka yang ingin dibakar, keluarga akan mengadakan upacara pembakaran mayatnya hingga menjadi abu. Unik, bukan?
4. Banyak permasalahan yang diselesaikan dengan kekerasan
Nasihat "Selesaikan masalah dengan otak, bukan dengan otot" nampaknya belum berlaku di masa ini. Ma Huan menceritakan bagaimana masyarakat Majapahit sangat menghargai kepala mereka.Â
Jika seseorang menyentuh kepala mereka tanpa izin, urusannya bisa panjang. Tak hanya bertengkar, mereka bisa saja terlibat dalam perkelahian gara-gara sentuh menyentuh kepala ini.
Selain itu, dalam sengketa dagang atau salah paham ketika mabuk pun bakal menimbulkan masalah besar. Pihak yang saling bersengketa tak segan-segan mengeluarkan senjatanya dan mulai saling menyerang hingga menusuk satu sama lain.
Kebiasaan ini didukung oleh gaya pakaian mereka. Kaum lelaki Majapahit selalu membawa pu-lak (keris) yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Mulai dari anak-anak, hingga para tetua adat, semuanya membawa senjata kemanapun mereka pergi. Seram!
Nah itu tadi beberapa gambaran kehidupan rakyat biasa di Majapahit. Ma Huan, penerjemah yang mendampingi perjalanan Laksamana Cheng Ho cukup lengkap menuliskan gambaran kehidupan di Majapahit sekitar tahun 1440 M.Â
Dalam catatannya, Ma Huan bahkan memberikan banyak deskripsi tentang penduduk dan semua kebiasaannya. Ma Huan menyebutkan bahwa penduduk pribumi terlihat kotor, tidak pernah menyisir rambut, berjalan bertelanjang kaki, dan sangat percaya pada ajaran setan (mistis).
Ma Huan menilai, makanan rakyat biasa di Majapahit kala itu sangat kotor, sebab mereka memakan serangga dan ulat yang dibakar sebentar di atas api.Â
Belum lagi urusan kebersihan rumah, Ma Huan mengeluhkan bahwa rakyat Majapahit memelihara anjing dan makan serta tidur besama anjingnya tanpa rasa risih sedikitpun.
Terlepas dari penilaian dan unsur subjektivitas Ma Huan dalam catatannya ini, Ying Ya Sheng Lan menjadi salah satu sumber rujukan untuk mengetahui kehidupan sosial masyarakat di Jawa Timur dan Majapahit pada masa lampau.Â
Sekalipun mengandung unsur subjektivitas, namun catatan ini berhasil menunjukkan beberapa nilai-nilai budaya asli Indonesia, seperti kebersamaan dan gotong royong, kebiasaan melakukan upacara-upacara adat, dan kepercayaan terhadap hal-hal mistis.
Nah bagaimana? Tertarik untuk mencoba hidup di masa Majapahit?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H