Mohon tunggu...
ARASKA ARASKATA ARASKA BANJAR
ARASKA ARASKATA ARASKA BANJAR Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

A.Rahman Al Hakim, nama pena ARAska ARASKata ARASKA Banjar. Profesi Jurnalis di Kalsel, Pelaku seni, Aktivis Lingkungan dan Aktivis Seni Budaya Sosial Pendidikan, serta menjadi Terapis di Lanting Banjar Terapi. Domisili di Banjarmasin, Kalsel. Facebook araska araskata. Email araska.banjar@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Pantun Tari Tradisi Banjar

1 Desember 2024   20:36 Diperbarui: 1 Desember 2024   21:20 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka, tidak berlebihan kiranya jika R.O. Winstedt berkata, "Orang asing yang belum mengenal pantun boleh dikatakan orang itu belum mengenal rohani dan jalan pikiran orang Melayu yang sejati.

V.I. Braginsky mengisyaratkan, bahwa sangat mungkin pantun merupakan bentuk puisi tertua di tanah Melayu. Di berbagai daerah di Nusantara, bentuk pantun dengan nama yang lain, dikenal juga masyarakat. Di masyarakat Sunda, dikenal sisindiran, Jawa sebagai wangsalan atau parikan, di Madura disebut paparegan, dan entah nama apa lagi yang muncul di daerah-daerah lainnya. Di samping itu, untuk membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah lain, dilekatkan pula nama daerahnya.

Pantun sesungguhnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perpuisian Nusantara, bahkan diyakini sebagai puisi asli Nusantara.

Boleh jadi karena pantun sudah dianggap milik masyarakat dan menjadi bagian dari kehidupan mereka, tidak sedikit orang yang seenaknya saja membuat pantun, tanpa mengerti aturannya. Sekadar contoh, perhatikan teks berikut:

Buah salak, buah kedongdong

Jangan marah dong

Teks di atas kerap dianggap sebagai pantun. Itulah salah satu contoh kesalahkaprahan masyarakat dalam memperlakukan pantun. Kesalahan itu terjadi karena: (1) tidak ada sampiran, dan (2) berjumlah dua larik. Pantun mensyaratkan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b. Jadi, pantun terdiri dari empat larik, dengan dua larik pertama berupa sampiran atau pembayang dan dua larik berikutnya berupa isi.

Mencermati berbagai tulisan atau penelitian mengenai pantun, kesamaan pandangan yang berkaitan dengan konvensi pantun, meskipun dengan rumusan yang berbeda-beda, menyangkut beberapa hal berikut: (1) terdiri dari empat larik; (2) dua larik pertama merupakan sampiran atau pembayang, dua larik berikutnya merupakan isi; (3) rima akhir atau persajakannya a-b-a-b, yaitu rima akhir pada larik pertama sebunyi dengan rima akhir pada larik ketiga, hal yang sama terjadi pada larik kedua dan keempat; (4) jumlah kata setiap larik antara lima sampai delapan atau sembilan kata; (5) berdasarkan isinya, pantun dikelompokkan ke dalam beberapa tema.

Masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mmempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b.

"Pantun adalah bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun," kata Maman S.Mahayana.

(by ARAska Banjar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun