Mohon tunggu...
ARASKA ARASKATA ARASKA BANJAR
ARASKA ARASKATA ARASKA BANJAR Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

A.Rahman Al Hakim, nama pena ARAska ARASKata ARASKA Banjar. Profesi Jurnalis di Kalsel, Pelaku seni, Aktivis Lingkungan dan Aktivis Seni Budaya Sosial Pendidikan, serta menjadi Terapis di Lanting Banjar Terapi. Domisili di Banjarmasin, Kalsel. Facebook araska araskata. Email araska.banjar@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Pantun Tari Tradisi Banjar

1 Desember 2024   20:36 Diperbarui: 1 Desember 2024   21:20 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://web.facebook.com/photo?fbid=1150778969919735&set=a.104456188052426

PANTUN TARI TRADISI BANJAR

Bida makanan banua halat

Wani malincai lamang baayak

Ada tarian upacara adat

Tari Babangsai orang Dayak

Bingka jualan dua hapatan

Surabi balantik lawan umanya

Ada tarian upacara pengobatan

Tari Tandik Bulan namanya

Bingka dimakan lawan lempeng

Surabi kararaban ngitu wadainya

Ada tarian menggunakan topeng

Tari Tantayungan itu namanya

Kada katinggalan paisan sagu

Hari kadap hulu mamakannya

Ada tarian penyambutan tamu

Tari Radap Tahayu namanya

(ARAska Banjar)

#

PENULIS :

Abdurrahman Al-Hakim dengan nama panggilan ARAska Banjar atau Rahman Banjar, lahir  di HSU pada 15 Sya'ban 1397 Hijriyah. Ia pernah menjadi santri di Ponpes Darussalam Martapura. Kini tinggal di Banjarmasin dan berprofesi sebagai Petani dan Jurnalis. Ia bisa dihubungi melalu email rahman.urangbanjar@gmail.com, Facebook araska banjar. ARAska Banjar tinggal Jl.A.Yani Km 3.5, Komp.Arrahim, Gg.Belimbing, No. 125, Rt. 25, Kel.Kebun Bunga, Banjarmasin Timur, Kalsel, Kode Pos 70235.

#

KETERANGAN :

PANTUN TARI TRADISI BANJAR dimuat dalam buku Kumpulan Pantun Tradisi Lokal"MENGGOLEK TUAL SAGU" di halaman 16, cetakan Pertama Tahun 2024, diterbitkan oleh SIP PUBLISHING.

Ada puluhan penulis Pantun Berkait dalam buku ini. Sampiran pantun diperkaya dengan nama-nama, kata atau istilah yang ada di sekitar penulis (bahasa daerah penulis pantun), sedangkan isi tetap menggunakan bahasa Indonesia.

Dikutip dan dilansir dari pemaparan materi dalam suatu Live Zoom Maman S.Mahayana dan makalah yang Ia sampaikan, bahwa sampiran dan isi tidak harus ada kaitan logis. Jika sampiran tak ada kaitannya dengan isi, sebagaimana yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri dan beberapa peneliti lain, maka tiadanya perkaitan itu dalam konteks semantik.

Tetapi, sampiran penting artinya ketika pendengar atau pembaca merasa akrab dengan kata-kata dalam sampiran. Oleh karena itu, fungsi sampiran sebagai lanjaran memasuki isi, bergantung pada pemahaman si pemantun terhadap dunia persekitarannya.

Sehingga dapat disimpulkan, bahwa sampiran dalam pantun bermain dalam konteks lokalitas, sementara isi, bisa menyampaikan pesan yang khas berkaitan dengan kultur tempatan, bisa juga bermakna universal ketika pantun itu menyampaikan problem kemanusiaan.

Pantun merupakan salah satu jenis paling unik dan khas di dunia dan asli berasal dari Melayu. Pantun kemudian menyebar ke Nusantara, lalu muncul dalam berbagai bahasa daerah, hingga kemudian menyebar ke mancanegara.

Keunikannya Pantun bukan hanya terletak pada bentuknya yang mengandungi sampiran dan isi dengan bunyi akhir a-b-a-b, melainkan pemakaiannya yang tidak terikat oleh ruang dan waktu, batas usia, agama, etnik, atau suasana. Pantun bisa muncul begitu saja dalam suasana sakral yang penuh khidmat atau di warung kopi.

Begitulah pantun, Ia bisa menyelusup di antara fatwa-fatwa khotbah Jumat atau sekadar celotehan anak-anak muda yang sedang menggoda anak gadis.Semangatnya sederhana. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Itulah kelebihan pantun.

"Pantun bukan sahaja digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam antara bujang dengan dara, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam menyampaikan tunjuk ajar," kata Tenas Effendy da;am buku Khazanah Pantun Melayu Riau.

Maka, tidak berlebihan kiranya jika R.O. Winstedt berkata, "Orang asing yang belum mengenal pantun boleh dikatakan orang itu belum mengenal rohani dan jalan pikiran orang Melayu yang sejati.

V.I. Braginsky mengisyaratkan, bahwa sangat mungkin pantun merupakan bentuk puisi tertua di tanah Melayu. Di berbagai daerah di Nusantara, bentuk pantun dengan nama yang lain, dikenal juga masyarakat. Di masyarakat Sunda, dikenal sisindiran, Jawa sebagai wangsalan atau parikan, di Madura disebut paparegan, dan entah nama apa lagi yang muncul di daerah-daerah lainnya. Di samping itu, untuk membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah lain, dilekatkan pula nama daerahnya.

Pantun sesungguhnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perpuisian Nusantara, bahkan diyakini sebagai puisi asli Nusantara.

Boleh jadi karena pantun sudah dianggap milik masyarakat dan menjadi bagian dari kehidupan mereka, tidak sedikit orang yang seenaknya saja membuat pantun, tanpa mengerti aturannya. Sekadar contoh, perhatikan teks berikut:

Buah salak, buah kedongdong

Jangan marah dong

Teks di atas kerap dianggap sebagai pantun. Itulah salah satu contoh kesalahkaprahan masyarakat dalam memperlakukan pantun. Kesalahan itu terjadi karena: (1) tidak ada sampiran, dan (2) berjumlah dua larik. Pantun mensyaratkan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b. Jadi, pantun terdiri dari empat larik, dengan dua larik pertama berupa sampiran atau pembayang dan dua larik berikutnya berupa isi.

Mencermati berbagai tulisan atau penelitian mengenai pantun, kesamaan pandangan yang berkaitan dengan konvensi pantun, meskipun dengan rumusan yang berbeda-beda, menyangkut beberapa hal berikut: (1) terdiri dari empat larik; (2) dua larik pertama merupakan sampiran atau pembayang, dua larik berikutnya merupakan isi; (3) rima akhir atau persajakannya a-b-a-b, yaitu rima akhir pada larik pertama sebunyi dengan rima akhir pada larik ketiga, hal yang sama terjadi pada larik kedua dan keempat; (4) jumlah kata setiap larik antara lima sampai delapan atau sembilan kata; (5) berdasarkan isinya, pantun dikelompokkan ke dalam beberapa tema.

Masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mmempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b.

"Pantun adalah bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun," kata Maman S.Mahayana.

(by ARAska Banjar)

#

Sumber :

#SastraLulungkangLantingBanjar

https://web.facebook.com/photo?fbid=1150778969919735&set=a.104456188052426

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun