Laut China Selatan dalang konflik di Asia Tenggara? Akhir-akhir ini dunia dikejutkan dengan konflik geopolitik di wilayah Laut China Selatan (LCS). Konflik ini muncul ditengah isu Israel-Palestina yang juga masih berlangsung. Berdasarkan data yang ada, konflik ini mulai mencuat ketika Kementerian Sumber Daya Alam China mendeklarasikan Peta Standar China yang menunjukkan bahwa hampir seluruh LCS merupakan wilayah teritorial China. Peta itu kemudian dikenal dengan istilah Nine-Dash Line, karena penggunaan sembilan garis putus-putus sebagai pembatas wilayah LCS yang diklaim China. Tentunya klaim ini adalah klaim sepihak oleh China, sehingga Amerika Serikat (AS) memperingatkan China atas tindakannya tersebut. Respon penolakan juga ditunjukkan oleh Filipina, dengan melakukan penyiapan pulau-pulau di sekitar LCS untuk hunian militer. Sebenarnya, sempat ada upaya diplomatis antara kedua belah pihak, namun tampaknya hal tersebut belum membuahkan hasil.
Apabila dilihat lebih jelas, Nine-Dash Line yang diklaim China banyak mencaplok wilayah-wilayah negara lain, terutama negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nation (ASEAN). Di antara negara ASEAN yang terdampak yaitu Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Berbeda dengan negara lain, Indonesia hanya terdampak pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan tidak sampai pada laut teritorialnya. Di samping itu, pada peta tersebut juga terlihat laut negara Taiwan yang ikut diakui secara sepihak. Tentunya, klaim yang tumpang tindih ini langsung mendapat sorotan dunia internasional.
Pasalnya, peta ini bertentangan dengan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 adalah konvensi hukum laut internasional PBB yang menyebutkan bahwa setiap negara dengan garis pantai mempunyai hak untuk mengatur penggunaan laut serta melakukan eksplorasi sumber daya yang ada di dalamnya. Lebih jauh, Pengadilan Mahkamah Arbritase PBB pada tahun 2016 juga telah menolak usulan China atas hak ekonomi di wilayah Nine-Dash Line.
Permasalahan Nine-Dash Line tersebut terus berlanjut hingga Februari. Menurut Teguh Santosa, selaku pengamat hubungan internasional, perebutan wilayah LCS ini sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah lama terjadi antar negara ASEAN itu sendiri. Untungnya, dengan adanya ASEAN, mereka lebih memilih menjaga stabilitas perdamaian di LCS. Celah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh China untuk menguasai LCS. Disini Filipina menjadi pihak yang paling keras menentang keputusan China. Hal ini dapat diketahui dari sering terjadinya singgungan antara penjaga pantai dari kedua belah pihak, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Bersamaan dengan itu, Jepang mulai menunjukkan atensinya terhadap masalah LCS. Jepang terlihat memihak Filipina dengan bersedia menyediakan drone, radar, serta kapal patroli untuk memperkuat pertahanan ASEAN. Aksi Jepang ini tidak terlepas dengan riwayat konflik yang terjadi antara Jepang dan China atas Laut China Timur. AS juga tetap menentang China secara tidak langsung dan berpendapat bahwa semua negara memiliki hak untuk berlayar dan terbang di perairan internasional dan ruang udara atasnya tanpa hambatan tidak sah dari negara-negara lain. Namun tentunya, pernyataan diplomatis yang dilontarkan AS seringkali mendapat protes dan kritik dari China, yang menganggapnya sebagai intervensi urusan dalam negeri dan ancaman terhadap keamanan nasional China.
Setelah itu, Australia dan Taiwan pun turut bergabung dalam pihak yang berseberangan dengan China. Australia memperingatkan ASEAN untuk berhati-hati terhadap ancaman yang timbul di LCS. Tidak hanya itu, Australia pun sampai memberikan ASEAN alokasi dana untuk keamanan maritim. Australia juga bersedia membantu dalam melakukan patroli laut bersama. Di sisi lain, Taiwan yang memang sedang tidak akur dengan China, menyatakan akan berusaha menjaga kedaulatan wilayah laut termasuk pulau-pulau yang diklaim oleh China.
Lantas apa yang menyebabkan Laut China Selatan diperebutkan? Berdasarkan sumber informasi, China mengabarkan bahwasanya telah menemukan sumber minyak di wilayah klaim LCS lebih tepatnya di daerah ladang minyak Nankaiping, Delta Sungai Mutiara berdekatan dengan Provinsi Guangdong, China. Perusahaan minyak dan gas milik negara China yakni National Offshore Oil Corporation (CNOOC) terlibat dalam kegiatan eksplorasi dan pengeboran di perairan yang diperebutkan dan menyatakan CNOOC menemukan cadangan sumber minyak diperkiraan sebesar 102 juta ton minyak. Namun, berdasarkan sumber lainya terdapat asumsi terkait sumber minyak LCS diperkirakan berjumlah 213 Miliar Barel atau setara dengan 80% dari cadangan sumber minyak di Arab Saudi. Oleh karenanya, menurut CEO CNOOC, Zhou Xinhuai, penemuan berkelanjutan yang dilakukan perusahaan di bagian timur LCS akan menjadi pendorong pertumbuhan baru bagi bisnis minyak dan gas di China.
Selain itu, yang menjadikan ASEAN dan negara-negara lain menginginkan LCS adalah karena cadangan gas alamnya. Wilayah ini diperkirakan memiliki cadangan gas alam yang besar, meskipun sebagian besar wilayah ini belum dieksplorasi sepenuhnya. Cadangan tersebut tersebar di berbagai lokasi di sepanjang dasar laut dan di sekitar kepulauan di wilayah tersebut. Sebagian besar potensi gas alam di LCS terletak di perairan dalam. Meskipun mengeksploitasi sumber daya di perairan dalam merupakan tantangan teknis dan finansial, kemajuan dalam teknologi pengeboran lepas pantai telah meningkatkan kemungkinan ekstraksi gas alam dari kedalaman yang lebih optimal.
Selanjutnya, LCS juga memiliki potensi akan energi angin laut. LCS dikenal memiliki angin laut yang kuat dan stabil, terutama di musim angin. Angin-angin ini dapat memberikan sumber daya energi yang berkelanjutan untuk pembangkit listrik tenaga angin laut. Tidak hanya itu, wilayah LCS memiliki kondisi perairan yang cocok untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin laut. Kedalamannya yang cukup besar dan minimnya gangguan dari aktivitas pelayaran membuatnya menjadi tempat yang ideal untuk penempatan turbin angin laut. Oleh karenanya, pemanfaatan energi angin laut di LCS memiliki potensi ekonomi yang signifikan. Pembangunan infrastruktur untuk pembangkit listrik tenaga angin laut dapat menciptakan lapangan kerja lokal dan meningkatkan investasi di wilayah tersebut.
Dari segi perikanan, LCS memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi, termasuk berbagai jenis ikan, moluska, kerang, krustasea, dan organisme laut lainnya. Keanekaragaman ini menciptakan potensi besar untuk penangkapan ikan dan kegiatan perikanan lainnya. Pada wilayah ini diperkirakan memiliki jumlah dan jenis ikan yang melimpah, termasuk ikan tuna, ikan kerapu, ikan teri, dan banyak lagi. Perairan hangat di LCS memungkinkan pertumbuhan ikan yang cepat dan melimpah. Masyarakat lokal dan industri perikanan bergantung pada sumber daya ini untuk penghidupan mereka. Tidak hanya itu, jika melihat dari segi perekonomian, kegiatan perikanan di LCS memiliki dampak langsung pada perekonomian regional. Tangkapan ikan yang melimpah menyediakan lapangan kerja bagi ribuan nelayan dan mendukung industri pengolahan dan pemasaran ikan yang berkembang pesat.
Lebih lanjut, potensi LCS tidak hanya ada pada potensi sumber daya alamnya saja, tetapi LCS juga memiliki potensi strategis lainya. LCS memiliki posisi geografis yang sangat penting karena merupakan salah satu jalur maritim tersibuk di dunia. Hal ini menjadikan kontrol atas LCS memberikan kekuatan geopolitik bagi negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut. Oleh karena wilayah ini juga merupakan jalur penting bagi perdagangan internasional, negara yang dapat mengendalikan dan mengamankan perairan ini akan memiliki pengaruh yang signifikan dalam perdagangan global dan kestabilan ekonomi regional. LCS juga memiliki salah satu terumbu karang terbesar dan terindah di dunia beserta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Dengan begitu, potensi konservasi dan pariwisata di LCS dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ekowisata yang berkelanjutan. Di sisi lain, LCS juga memiliki nilai strategis dalam hal keamanan pertahanan. Wilayah ini merupakan jalur laut yang penting bagi operasi militer dan proyeksi kekuatan suatu negara. Negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas wilayah ini dapat menggunakan basis laut dan pulau buatan mereka untuk memperkuat kehadiran militer mereka di kawasan tersebut, yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi geopolitik mereka dan menyebarkan pengaruh mereka ke berbagai penjuru di kawasan tersebut.
Melihat banyaknya potensi yang masih tersimpan di LCS, maka wajar jika banyak negara yang menjadi memperebutkannya. Mulai dari minyak bumi, gas alam, kekayaan hayati, sampai posisinya yang strategis, mampu membuat negara manapun yang menguasai LCS akan mendapat keuntungan yang berlipat-lipat. Keuntungan ini pun bisa berupa banyak hal, mulai dari keuntungan materiil, keuntungan pengaruh di Asia-Pasifik atau bahkan secara global, maupun keuntungan berupa bertambahnya luas wilayah negara tersebut.
Meskipun isu ketegangan di LCS ini tengah hangat diberitakan oleh media, namun ada beberapa fakta unik yang mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat. Berikut ini adalah beberapa fakta unik yang telah dirangkum mengenai perebutan LCS:
Negara ASEAN Diam-diam Menginginkan LCS
Sebelum aksi klaim China atas LCS, diam-diam negara ASEAN juga sangat menginginkan LCS karena memiliki nilai strategis dan ekonomi yang signifikan. Kekayaan akan sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan hasil laut lainnya, yang ada di wilayah tersebut sangat dibutuhkan oleh negara-negara ASEAN yang mayoritas bergantung pada sektor kelautan.
Selain itu, sebagai negara berkembang, negara-negara ASEAN ini membutuhkan adanya LCS yang merupakan jalur perdagangan utama, untuk memberikan stabilitas ekonomi dan keamanan regional. Meskipun demikian, ASEAN belum secara kuat mengklaim wilayah di Laut China Selatan karena beberapa alasan.
Pertama, ASEAN khawatir akan reaksi Tiongkok jika mereka melakukan klaim terhadap wilayah tersebut, mengingat pengaruh perdagangan China di ASEAN. Seperti diketahui bersama, barang-barang yang dijual oleh China kepada ASEAN seringkali lebih murah dan terjangkau daripada yang dijual oleh negara lain. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan ketergantungan terhadap pasokan barang dari China.
Kedua, ASEAN ingin menjaga hubungan yang stabil dengan negara-negara internasional dalam hal kepentingan perdagangan dan investasi. Dengan terganggunya lalu lintas pelayaran di LCS, dikhawatirkan akan mengurangi intensitas perdagangan dan penanaman modal dari pihak asing di ASEAN.
Ketiga, beberapa negara ASEAN mungkin menghindari klaim wilayah LCS untuk menghindari konflik antar negara tetangga. ASEAN telah melalui banyak kejadian yang mengharuskan mereka untuk bekerjasama dan saling membantu satu sama lain. Apabila hubungan baik yang telah dibangun ini rusak, tentu akan berpengaruh banyak kepada stabilitas suatu negara di ASEAN.
Maksud Terselubung Amerika Serikat
ASEAN dan Amerika Serikat memiliki kepentingan unik dalam konflik di LCS. Banyak pakar melihat hubungan antara AS dan Tiongkok dalam konteks persaingan global itu semakin ketat. AS terlibat dalam upaya menahan akuisisi Tiongkok atas wilayah tersebut. AS dengan kebijakan "Pivoting to Asia", berusaha menjaga peran dominannya di Asia-Pasifik, dengan mendukung sekutu dan mitra yang dapat ditemui di kawasan LCS. AS seperti menerapkan prinsip "musuh dari musuhku adalah kawanku", termasuk negara-negara ASEAN yang merasa terancam oleh klaim maritim Tiongkok. AS juga memanfaatkan kondisi dimana dominasi Tiongkok secara paksa dapat mengganggu keseimbangan kekuatan dan kebebasan navigasi internasional di LCS.
Pada kenyataannya, AS khawatir jika keuntungan besar yang diperoleh Tiongkok dari sumber daya dan perdagangan di LCS akan memperkuat pengaruhnya secara regional dan global, bahkan mampu menyaingi AS nantinya. Namun, Tiongkok menegaskan klaimnya atas wilayah tersebut dan melihat kehadiran militer AS sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan nasionalnya. Konflik antara AS dan Tiongkok di LCS mencerminkan kompleksitas hubungan dua kekuatan besar yang berusaha mempertahankan kepentingan nasional dan pengaruh di wilayah internasional.
Sejarah Buruk Hubungan Australia dan Jepang kepada China
Fakta menarik lainya adalah ketika negara besar seperti Australia dan Jepang bergabung dalam negara yang Pro-ASEAN. Hal ini dikarenakan masing-masing negara memiliki ketersinggungan dengan China diluar permasalahan terkait sengketa LCS. Australia memiliki hubungan yang renggang dengan China dilatar belakangi oleh pernyataan Australia yang melakukan penyeledikan terkait virus Covid-19 yang berasal dari China. Australia telah memberikan peringatan kepada negara-negara ASEAN mengenai potensi eskalasi konflik yang lebih besar di LCS. Mereka menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut serta menghindari tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan. Australia juga menyoroti perlunya menyelesaikan sengketa secara damai dan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS. Selain memberikan peringatan, Australia juga memberikan dukungan finansial kepada negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengatasi sengketa di LCS.
Di sisi lain, Jepang terlihat ikut serta dalam operasi militer gabungan dengan Filipina di LCS sebagai bentuk dukungan terhadap Filipina. Hal ini didasari oleh kekesalan Jepang pada China yang juga mengklaim sebuah pulau milik Jepang yang ada di Laut China Timur. China menyebut pulau ini sebagai Daioyu, sedangkan Jepang menyebutnya sebagai Senkaku. Keterlibatan Jepang dalam membantu menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS, mencerminkan intensi tersembunyi Jepang untuk membangun hubungan dengan negara-negara ASEAN dalam upaya memerangi China secara bersama-sama.
Saudara yang Tidak Akur
Negara lainnya yang tak kalah menarik untuk diulik adalah Taiwan. Sejak konflik Perang Saudara Tiongkok pada periode 1927-1950, hubungan antara Taiwan dan China telah menegang. Pemerintah nasionalis Tiongkok melarikan diri ke Taiwan setelah kekalahan mereka oleh pasukan komunis, yang kemudian mendirikan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di daratan Tiongkok. Meskipun RRT berdiri, Republik Tiongkok (ROC) tetap berkuasa di Taiwan. China berulang kali menegaskan klaim kedaulatan atas Taiwan dan menolak pengakuan atasnya sebagai negara terpisah. Sementara itu, Taiwan tetap menolak untuk bersatu kembali dengan China, meski di bawah tekanan rezim otoriter China. Adapun terjadinya sengketa di wilayah LCS, semakin menambah gesekan antara kedua negara tersebut, mengingat sebagian wilayah laut Taiwan kini diakui oleh China.
Ada Apa dengan Filipina?
Secara umum, terdapat beberapa negara yang dirugikan dengan klaim Nine-Dash-Line China. Lalu, mengapa Filipina yang terlihat paling menonjol pada pemberitaan media? Hal ini tidak terlepas dari pengaruh AS dan sekutunya. Filipina merupakan negara yang lautnya berbatasan langsung dengan China. Selain itu, Filipina juga merupakan anggota ASEAN dan memiliki hubungan baik dengan negara kontra-China, seperti AS, Jepang, dan Australia. Negara-negara ini, tidak dapat turun langsung ke LCS karena mereka tidak memiliki wewenang dalam permasalahan tersebut. Selain itu, jika mereka bersinggungan langsung dengan China, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih buruk di kemudian hari. Mereka tidak mau sampai memancing kekuatan negara-negara komunis di belakang China. Oleh karena itu, mereka menjadikan Filipina sebagai perpanjangan tangan di wilayah LCS. Adanya Filipina, membuat mereka dapat bertindak di LCS tanpa harus menunjukkan diri secara langsung.
Melihat riwayat kejadian yang telah terjadi, tentunya menarik untuk juga membahas mengenai bagaimana implikasi LCS terhadap stabilitas perdamaian dunia. Terlebih konflik di LCS ini ternyata layaknya gunung es yang hanya terlihat permukaannya saja. Berikut adalah forecasting kelanjutan konflik LCS berdasarkan teori dan data yang ada.
Perang Dunia Ketiga
Kemungkinan pertama ini adalah ekskalasi paling ekstrem yang dapat terjadi akibat permasalahan LCS. Seperti yang diketahui bersama bahwa kedamaian dunia saat ini sedang terganggu dengan adanya beberapa peperangan yang tengah terjadi, seperti antara Israel dan Palestina, Iran dan Israel, hingga Rusia dan Ukraina. Dengan pecahnya peperangan di LCS, bukan tidak mungkin akan memprovokasi terjadinya perang dunia ketiga. Dalam peperangan ini akan terbagi menjadi dua blok, pihak pro-China dan kontra-China.
Konflik di kawasan perairan tersebut juga akan melibatkan negara-negara besar dan adidaya, yang memiliki tujuh dari sepuluh angkatan bersenjata terkuat di dunia, dengan tiga angkatan laut terbesar, selain juga merupakan kekuatan nuklir dunia. Sampai saat ini, setidaknya ada dua negara adidaya dengan kubu berbeda yang ikut dalam "Show of Power" di wilayah LCS, yaitu Rusia sebagai sekutu China dan AS yang mendukung ASEAN. Kedua negara super power tersebut akan membuka peluang terciptanya aliansi yang lebih besar dengan negara-negara pendukungnya.
Perang antar Negara
Dalam skala ekskalasi yang lebih ringan, konflik berkepanjangan di wilayah LCS akan membuat negara-negara yang terlibat memutuskan untuk mengangkat senjata, dengan tanpa adanya intervensi dari negara lain yang tidak berkepentingan. Dalam kasus ini, peperangan hanya terjadi antara ASEAN dan Taiwan melawan China. Bukan berarti negara lain benar-benar tidak ikut campur, melainkan terlibat di balik layar sambil berusaha menjaga stabilitas perdamaian dunia di permukaan. Menurut Cameron G. Thies, strategi ini disebut dengan penyeimbang atau "balancer", yang ditunjukkan dengan mengusahakan "deadlock" terhadap isu vital yang terjadi di LCS. Posisi ini dapat diambil suatu negara jika isu merupakan isu vital, namun kapabilitas negara terbatas atau kurang untuk bisa meraihnya. Pada kenyataannya, baik negara-negara pro-China maupun kontra-China masih belum menunjukkan langkah militer yang agresif dan cenderung memberikan tindakan suportif, seperti bantuan dana dan pernyataan dukungan secara diplomatis.
Revisi Peta Dunia
Forecasting ketiga adalah terjadinya perubahan pada peta dunia yang ada saat ini. Dalam hukum internasional, terdapat 4 cara memperoleh wilayah, yaitu prescription (perolehan wilayah melalui pendudukan secara damai), conquest/annexation (perolehan wilayah melalui cara penaklukan secara paksa), cessie (perolehan wilayah negara melalui perjanjian antar negara), serta accretion (yaitu perolehan wilayah negara karena perubahan geografis). Dalam sengketa LCS, tindakan China dapat dikategorikan sebagai annexation karena China melakukan klaim secara sepihak atau secara paksa tanpa adanya persetujuan pihak lain. Sebenarnya, China juga pernah mencoba cara cessie dengan membawa permasalahan ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Akan tetapi, cara ini gagal membuat China mendapatkan wilayah LCS yang diinginkan. Berdasarkan UNCLOS 1982, China masih memiliki 2 kesempatan untuk menuntut wilayah LCS pada Mahkamah Internasional maupun Mahkamah Hukum Laut. Apabila nantinya China mengambil langkah ini dan tuntutannya dikabulkan, maka akan terjadi perubahan batas wilayah kepemilikan LCS pada peta dunia.
Terbentuknya Blok Kekuatan Dunia
Ketegangan yang terjadi di LCS, berpotensi memicu terciptanya kembali Blok Komunis dan Blok Liberal. Hal yang paling jelas terlihat adalah merekatnya negara-negara komunis dalam mendukung China. Dukungan Rusia terlihat dengan latihan militer bersama yang dilakukan di LCS pada 29 Januari 2024 lalu. Sementara itu, pada 15 Juli 2020 Korea Utara juga sempat menyatakan keberpihakannya pada China saat Menlu Korea Utara menyalahkan komentar Menlu Amerika Serikat yang menolak klaim Beijing di LCS. Rentetan peristiwa ini menandakan kemungkinan terbentuknya blok komunis yang terdiri dari Rusia-China-Korea Utara.
Tercapainya Kesepakatan Perdamaian
Meskipun kondisi di LCS saat ini sedang memanas, namun tidak menutup kemungkinan tercapainya perdamaian. Pada 18 Januari 2024, telah dilakukan konsultasi bilateral antara Filipina dan China yang bertujuan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian maritim. Kedepannya, jika pihak-pihak yang saling bersinggungan dapat menurunkan ego dan merumuskan kesepakatan yang menguntungkan setiap pihak maka perdamaian di wilayah LCS akan tercipta. Teori ini juga diperkuat dengan adanya "The ASEAN Way", dimana negara-negara anggota ASEAN lebih memilih interaksi dan kerja sama regional yang berdasar atas informalitas, proses konsensus, dan tawar-menawar dengan cara non-konfrontasi ketimbang cara-cara permusuhan, pengambilan suara mayoritas, atau proses pengadilan.
Dengan kondisi LCS yang masih terkesan hampir stagnan, maka perlu dipikirkan terkait solusi penyelesaian isu LCS yang bisa dipertimbangkan, diantaranya yaitu sebagai berikut:
Tit for Tat Strategy
Dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara, penting bagi suatu negara untuk menunjungkan kekuatan yang dimilikinya, terutama dari segi militer. Pada kasus LCS, hal ini pun sudah terjadi. Seperti yang diberitakan oleh media, banyak negara-negara yang bersinggungan terkait LCS secara spontan melakukan peningkatan pada kemampuan militer negaranya. Salah satunya yaitu Singapura yang membeli 8 pesawat jet tempur F-35. Singapura memang tidak menyebutkan bahwa pembelian ini terkait dengan masalah LCS. Akan tetapi, Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen mengatakan, pembelian ini akan membuat Singapura berada di liga utama demi merespons ancaman regional. Tentu ancaman LCS juga dapat dimasukkan dalam konteks ancaman regional tersebut.
Selanjutnya, pastinya Filipina yang paling terlihat dalam hal ini. Filipina menunjukkan kekuatan tempurnya dengan menggelar latihan gabungan militer bersama beberapa negara. Hal ini juga untuk menunjukkan siapa saja negara yang ada di pihaknya. Selain itu, pada 19 April 2024 Filipina juga melengkapi arsenal pertahanannya dengan rudal anti-kapal Brahmos. Langkah ini semakin mempertegas tekad Filipina dalam mempertahankan wilayahnya.
Menariknya, negara-negara ASEAN tidak serta merta bertindak agresif terhadap China. Fenomena ini sesuai dengan suatu paham yang dikenal dengan game theory. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Axelrod pada 1984. Teori ini menjelaskan tentang mana yang lebih menguntungkan antara bersifat kooperatif atau bersifat egois. Penelitian dilakukan dengan menerapkan beberapa strategi yang mengombinasikan antara langkah kooperatif dan egois. Dari hasil penelitian, didapati bahwa strategi yang paling menguntungkan yaitu dengan berkooperatif dan hanya membalas apabila dikhianati, atau yang disebut sebagai Tit for Tat Strategy. Contoh nyatanya adalah aksi penyerangan Iran kepada Israel yang merupakan balasan dari serangan Israel sebelumnya. Pada kasus ini terlihat bahwa Iran hanya berniat membalas serangan Israel, tanpa adanya keinginan untuk melanjutkan perang. Strategi yang serupa juga nampaknya diterapkan oleh negara-negara ASEAN dalam menyikapi aksi China di LCS.
Kerjasama untuk Keuntungan Lebih Besar
Mengingat luasnya wilayah LCS dan banyaknya kemungkinan potensi kekayaan yang terkandung di dalamnya, eksplorasi dan pengembangan pemanfaatan di LCS akan lebih mudah dan cepat apabila dilakukan oleh banyak orang. Pada permasalahan LCS, setiap negara dapat bekerjasama memadukan sumber daya dan pengetahuan dalam mengeksplorasi minyak dan gas di LCS. China dan ASEAN mungkin dapat mencontoh sejarah pembangunan Terusan Suez, jalur laut paling sibuk di dunia. Terusan Suez dibangun oleh beberapa negara, yaitu Mesir, Inggris, dan Prancis, tetapi manfaatnya dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia.
Tanpa adanya terusan ini, berpotensi mengakibatkan kenaikan harga barang, bahkan inflasi secara global. Dalam hal yang sama, LCS juga merupakan salah satu jalur lalu lintas pelayaran yang penting di dunia. Dengan memperhatikan beberapa faktor tersebut, kerjasama antara China dan ASEAN akan menjadi lebih menguntungkan dibandingkan dengan eksplorasi egois yang sedang terjadi saat ini.
Campur Tangan PBB
Semakin lama konflik LCS ini terjadi, semakin banyak pula kerugian yang akan ditimbulkan, baik bagi negara-negara yang terlibat ataupun bagi dunia internasional. Ditambah lagi dengan adanya kemungkinan ekskalasi konflik ke arah yang lebih agresif serta cakupan yang lebih luas. Sehubungan dengan itu, PBB sebagai organisasi yang menjaga perdamaian dunia perlu untuk turun tangan dalam menangani permasalahan ini. PBB dapat mengundang dan memfasilitasi forum diskusi bagi negara-negara yang terlibat.
Sesuai dengan Piagam PBB pasal 24, PBB melalui Dewan Keamanan PBB, berwenang untuk merekomendasikan metode, syarat, dan/atau rencana guna menyelesaikan perselisihan internasional. PBB juga berwenang untuk mengambil tindakan militer terhadap pihak yang dianggap sebagai penyerang perdamaian bangsa. Namun, campur tangan PBB ini merupakan opsi terakhir yang bisa diambil, dengan mempertimbangkan sejauh mana dampaknya bagi perdamaian dunia dan intervensinya terhadap kedaulatan negara-negara yang terlibat.
Indonesia Pemain Kunci Perdamaian LCS
Pada konflik LCS, Indonesia bisa dikatakan berdiri di blok netral karena China tidak mengklaim wilayah laut teritorial dari Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia bisa berperan sebagai mediator antara ASEAN dan China secara adil, tanpa adanya kepentingan untuk mengklaim wilayat LCS. Indonesia juga termasuk salah satu negara ASEAN yang strategis di mata dunia, baik dari segi jalur pelayaran maupun letak negaranya. Hal ini membuat Indonesia mempunyai “Bargaining Power” pada dunia internasional untuk mengupayakan perdamaian di LCS. Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto, mengatakan bahwa Indonesia menjadi inisiator dalam mempercepat progres perundingan Code of Conduct (COC) antara China-ASEAN. Hal ini terjadi ketika Indonesia menjabat sebagai Ketua ASEAN 2023, dan terus berlanjut hingga sekarang. Meskipun begitu, Indonesia tidak lengah dengan adanya kemungkinan ancaman yang timbul akibat permasalah LCS. Pada bulan Maret lalu, Kemhan RI telah menandatangani kontrak kerjasama pengadaan 2 kapal selam Scorpene untuk memperkuat penjagaan maritim di laut Indonesia.
Referensi:
1. Axelrod, R. The Evolution of Cooperation. 1984
2. Darmawan, AB. Dinamika Isu Laut Tiongkok Selatan: Analisis Sumber-sumber Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Dalam Sengketa. 2018
3. Nainggola, PP. Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. 2013
4. Buntoro, K. Filipina versus Tiongkok dalam Arbitrase Internasional di Laut Tiongkok Selatan. 2018
5. Muhamad, SV. Isu Laut China Selatan Pasca-Putusan Mahkamah Arbitrase: Tantangan ASEAN. 2016
6. Ginanjar, dkk. Overviewing the Context of Balance of Power to the South China Sea Issue in ASEAN. 2023
7. Darajati, dkk. Putusan Sengketa Laut China Selatan serta Implikasi Hukumnya terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut. 2018
8. Darmawan dan Kuncoro. Penggunaan ASEAN Way dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan: Sebuah Catatan Keberhasilan?. 2019
10. Rustam, Ismah. Strategi Maritime Silk Road China dan Dampaknya pada Keamanan Maritim Indonesia. 2020
11. Ambarwati, dkk. Pesona Kekayaan Alam: Sumber Konflik di Kawasan Laut China Selatan. 2023
12. Junef, Muhar. Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan. 2018
13. Inuhan, dkk. Upaya Hukum Filipina untuk Mendapatkan Hak Berdaulat atas Kepulauan Kalayaan (Kepulauan Spartly). 2021
14. Djuyandi, dkk. Konflik Laut China Selatan Serta Dampaknya Atas Hubungan Sipil Militer di Asia Tenggara. 2021
15. Zaelani dan Rahayu. Kehadiran Jepang di Laut Tiongkok Selatan melalui Kebijakan Proactive Contribution to Peace. 2022
16. Itasari dan Mangku. Elaborasi Urgensi dan Konsekuensi atas Kebijakan ASEAN dalam Memelihara Stabilitas Kawasan di Laut China Selatan secara Kolektif. 2020
17. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200703161139-4-170070/fakta-potensi-perang-china-as-di-laut-china-selatan
18. https://id.usembassy.gov/id/posisi-as-terkait-klaim-maritim-di-laut-china-selatan/
19. https://news.detik.com/internasional/d-7250397/china-tegaskan-as-tak-berhak-ikut-campur-di-laut-china-selatan
20. https://www.cnbcindonesia.com/news/20201117131116-4-202414/china-mulai-ngebor-ini-fakta-harta-migas-laut-china-selatan?page=all
21. https://finance.detik.com/energi/d-7233404/perusahaan-migas-ini-temukan-100-juta-ton-minyak-di-laut-china-selatan
22. https://finance.detik.com/energi/d-7233404/perusahaan-migas-ini-temukan-100-juta-ton-minyak-di-laut-china-selatan
23. https://www.idntimes.com/science/experiment/mutia-zahra-4/fakta-laut-china-selatan-yang-jadi-rebutan-c1c2?page=all
24. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/wujudkan-kesejahteraan-di-laut-cina-selatan-badan-geologi-kembangkan-kawasan-wisata-kepulauan-natuna
25. https://thediplomat.com/2023/11/rare-earths-in-the-south-china-sea-adding-fuel-to-the-geopolitical-fire/
26. https://internasional.kompas.com/read/2024/01/08/121644970/penyebab-konflik-laut-china-selatan-dan-solusi-asean-cegah-sengketa?page=all
27. https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/04/150427_asean_laut_cina_selatan
28. https://id.usembassy.gov/id/laut-china-selatan-warisan-asia-tenggara-dan-pekarangan-milik-semua/
29. https://www.kompas.com/global/read/2020/04/29/165801870/kronologi-perselisihan-australia-china-soal-penyelidikan-asal-usul-covid?page=all
30. https://www.idntimes.com/news/world/karl-gading-sayudha/fakta-fakta-sengketa-jepang-dan-china-perebutkan-kepulauan-senkaku
31. https://internasional.kompas.com/read/2021/11/30/114334970/akhir-dari-perang-saudara-china-dan-sejarah-berdirinya-taiwan?page=all
32. https://tirto.id/sejarah-singkat-taiwan-dan-penyebab-konfliknya-dengan-china-gu1E
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI