Saya suka mencuri buah-buahan di kebun tetangga meski jenis buah tersebut berserakan di halaman rumah sendiri. Saya banyak bicara dan suka mendebat siapa saja. Saya kuat berlarian ke sana kemari lalu dengan sengaja atau tidak sengaja merusak barang yang kebetulan tersenggol atau tertabrak. Saya adalah anak yang sangat, sangat aktif dan tidak bisa diam. Saya bahkan pernah memprovokasi teman-teman saya untuk bersama melempari rumah tetangga yang bercat putih dengan bola bola lumpur.Â
Sialnya (atau bersyukurnya), orang tua saya adalah tipe yang sangat keras. Mereka bukan tipe yang memaklumi kenakalan anak-anaknya dengan dalih "namanya juga anak-anak".Â
Setiap jenis kenakalan yang saya buat akan selalu ada konsekuensinya. Entah pukulan, sabetan, kurungan... lalu diseret paksa untuk meminta maaf pada korban-korban yang saya nakali.Â
Yah, kalau ada yang bisa saya syukuri sekarang, saya sangat berterima kasih karena orang tua saya tidak sampai membawa saya ke dukun seperti Aisyah, meski banyak yang menyarankan demikian kala itu. Kelakuan saya dianggap sudah tidak wajar untuk ukuran anak perempuan. Bersuku Jawa pula.Â
Saya sejak kecil sudah merasa ada yang salah dengan diri saya, yang membuat saya begitu berbeda dengan anak-anak lainnya.Â
Saya sering dihinggapi perasaan yang mirip sekali dengan saat menunggui cat mengering. Ketidaksabaran, kebingungan dan kejengkelan yang sungguh tidak bisa dimengerti seorang anak kecil. Dengan berulah "macam-macam", maka perasaan tak nyaman itu bisa dialihkan. Saya merasa bebas sejenak, meski kemudian harus dibayar mahal dengan hukuman dari orang tua.Â
Begitulah, siklus itu berulang nyaris di seumur hidup saya. Saya bertanya dan terus mencari, namun label "anak nakal" dan "anak bandel" itu begitu melekat.Â
Awalnya saya mungkin tidak terima dikatain begitu, perlahan namun pasti, saya akhirnya percaya bahwa saya memang terlahir nakal, bandel, atau kerasukan roh halus seperti kata orang-orang.Â
Label yang pada akhirnya merusak citra diri. Membuat saya bersahabat erat dengan insekuritas yang memupuk subur bibit depresi mayor dan anxiety disorder.Â
"Sudahlah, Ra. Mau sekeras apa pun kamu berusaha menjadi baik, nyatanya kamu memang seburuk itu," kata isi kepala saya berulang-ulang.Â
Dan barulah di usia 27 tahun, semua misteri itu terungkap. Saya bukan kerasukan roh halus. "Cuma" kena ADHD (Attention Deficit and Hiperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas.