Saya dibuat super emosi dengan kasus yang menimpa seorang bocah malang bernama Aisyah di Temanggung, Jawa Tengah.Â
Mengutip tribunnews.com, bocah perempuan 7 tahun itu tewas setelah menjalani proses ruqyah oleh dua orang tetangganya yang dikenal sebagai dukun karena dianggap nakal dan kerasukan gendruwo. Tragisnya setelah meninggal, jenazah Aisyah bukannya dimakamkan dengan layak, justru dibiarkan terbaring di atas kasur selama setidaknya empat bulan sebelum akhirnya terbongkar.Â
Saat ini, dua orang dukun dan kedua orang tua Aisyah sudah diamankan oleh kepolisian setempat dan menunggu proses hukum. Kita semua berharap kasus ini bisa diproses seadil-adilnya.Â
Dari kasus yang viral ini, ada satu hal yang sangat mengganggu saya. Well, saya tidak akan membahas betapa kejinya praktik eksorsisme yang kelewatan itu.Â
Saya ingin membahas soal label "anak nakal" dan "anak bandel" yang melekat di diri Aisyah hingga membawanya pada kematian tragis.Â
Sejak mengikuti pemberitaan terkait kasus tersebut pertama kali, saya bertanya-tanya. Memang, semasa hidupnya senakal apa sih Aisyah itu sampai dikira kerasukan genderuwo?Â
Apa emosinya meledak-ledak? Apa sering membantah dan mendebat orang lain yang lebih tua? Apa melakukan kekerasan fisik? Apa sering melempar dan merusak barang? Apa senang mencuri dan berbohong?Â
Apa Aisyah seperti saya, yang sebetulnya hanya bingung dan frustrasi karena tidak tahu apa yang salah dengan diri sendiri?Â
Ya. Saya sejak kecil tumbuh dengan label anak nakal. Orang dewasa di sekitar saya akan menyebut saya anak nakal dan bandel. Beda dengan abang saya yang dicap anak pintar, baik, dan penurut.Â
Saya akui, saya sepertinya memang senang berulah dan mencari-cari masalah saat kecil (err...bahkan mungkin terbawa juga sampai dewasa).Â
Tidak terhitung rekan-rekan sebaya yang saya buat menangis, entah karena mainannya sengaja saya rusak atau sekadar mem-bully mereka secara verbal.Â