Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kasus Aisyah Temanggung dan Bahayanya Melabeli Anak Nakal Sembarangan

19 Mei 2021   12:07 Diperbarui: 19 Mei 2021   15:35 1903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak nakal (sumber gambar: istockphoto via nakita.id)

Saya dibuat super emosi dengan kasus yang menimpa seorang bocah malang bernama Aisyah di Temanggung, Jawa Tengah. 

Mengutip tribunnews.com, bocah perempuan 7 tahun itu tewas setelah menjalani proses ruqyah oleh dua orang tetangganya yang dikenal sebagai dukun karena dianggap nakal dan kerasukan gendruwo. Tragisnya setelah meninggal, jenazah Aisyah bukannya dimakamkan dengan layak, justru dibiarkan terbaring di atas kasur selama setidaknya empat bulan sebelum akhirnya terbongkar. 

Saat ini, dua orang dukun dan kedua orang tua Aisyah sudah diamankan oleh kepolisian setempat dan menunggu proses hukum. Kita semua berharap kasus ini bisa diproses seadil-adilnya. 

Dari kasus yang viral ini, ada satu hal yang sangat mengganggu saya. Well, saya tidak akan membahas betapa kejinya praktik eksorsisme yang kelewatan itu. 

Saya ingin membahas soal label "anak nakal" dan "anak bandel" yang melekat di diri Aisyah hingga membawanya pada kematian tragis. 

Sejak mengikuti pemberitaan terkait kasus tersebut pertama kali, saya bertanya-tanya. Memang, semasa hidupnya senakal apa sih Aisyah itu sampai dikira kerasukan genderuwo? 

Apa emosinya meledak-ledak? Apa sering membantah dan mendebat orang lain yang lebih tua? Apa melakukan kekerasan fisik? Apa sering melempar dan merusak barang? Apa senang mencuri dan berbohong? 

Apa Aisyah seperti saya, yang sebetulnya hanya bingung dan frustrasi karena tidak tahu apa yang salah dengan diri sendiri? 

Ya. Saya sejak kecil tumbuh dengan label anak nakal. Orang dewasa di sekitar saya akan menyebut saya anak nakal dan bandel. Beda dengan abang saya yang dicap anak pintar, baik, dan penurut. 

Saya akui, saya sepertinya memang senang berulah dan mencari-cari masalah saat kecil (err...bahkan mungkin terbawa juga sampai dewasa). 

Tidak terhitung rekan-rekan sebaya yang saya buat menangis, entah karena mainannya sengaja saya rusak atau sekadar mem-bully mereka secara verbal. 

Saya suka mencuri buah-buahan di kebun tetangga meski jenis buah tersebut berserakan di halaman rumah sendiri. Saya banyak bicara dan suka mendebat siapa saja. Saya kuat berlarian ke sana kemari lalu dengan sengaja atau tidak sengaja merusak barang yang kebetulan tersenggol atau tertabrak. Saya adalah anak yang sangat, sangat aktif dan tidak bisa diam. Saya bahkan pernah memprovokasi teman-teman saya untuk bersama melempari rumah tetangga yang bercat putih dengan bola bola lumpur. 

Sialnya (atau bersyukurnya), orang tua saya adalah tipe yang sangat keras. Mereka bukan tipe yang memaklumi kenakalan anak-anaknya dengan dalih "namanya juga anak-anak". 

Setiap jenis kenakalan yang saya buat akan selalu ada konsekuensinya. Entah pukulan, sabetan, kurungan... lalu diseret paksa untuk meminta maaf pada korban-korban yang saya nakali. 

Yah, kalau ada yang bisa saya syukuri sekarang, saya sangat berterima kasih karena orang tua saya tidak sampai membawa saya ke dukun seperti Aisyah, meski banyak yang menyarankan demikian kala itu. Kelakuan saya dianggap sudah tidak wajar untuk ukuran anak perempuan. Bersuku Jawa pula. 

Saya sejak kecil sudah merasa ada yang salah dengan diri saya, yang membuat saya begitu berbeda dengan anak-anak lainnya. 

Saya sering dihinggapi perasaan yang mirip sekali dengan saat menunggui cat mengering. Ketidaksabaran, kebingungan dan kejengkelan yang sungguh tidak bisa dimengerti seorang anak kecil. Dengan berulah "macam-macam", maka perasaan tak nyaman itu bisa dialihkan. Saya merasa bebas sejenak, meski kemudian harus dibayar mahal dengan hukuman dari orang tua. 

Begitulah, siklus itu berulang nyaris di seumur hidup saya. Saya bertanya dan terus mencari, namun label "anak nakal" dan "anak bandel" itu begitu melekat. 

Awalnya saya mungkin tidak terima dikatain begitu, perlahan namun pasti, saya akhirnya percaya bahwa saya memang terlahir nakal, bandel, atau kerasukan roh halus seperti kata orang-orang. 

Label yang pada akhirnya merusak citra diri. Membuat saya bersahabat erat dengan insekuritas yang memupuk subur bibit depresi mayor dan anxiety disorder. 

"Sudahlah, Ra. Mau sekeras apa pun kamu berusaha menjadi baik, nyatanya kamu memang seburuk itu," kata isi kepala saya berulang-ulang. 

Dan barulah di usia 27 tahun, semua misteri itu terungkap. Saya bukan kerasukan roh halus. "Cuma" kena ADHD (Attention Deficit and Hiperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas.

Saya sesungguhnya tidak senakal itu kok. Memang cairan di otak saja yang sudah tidak seimbang dari lahir karena kelainan. Dan seharusnya bukan masalah jika ditangani dengan benar baik rutin terapi juga obat-obatan oleh ahlinya. 

*

Yah, saya beruntung, nasib saya memang tidak setragis Aisyah. Tapi melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan pada orang dewasa atau siapapun yang masih melabeli "anak nakal" pada bocah manapun, bahwa label itu tidak akan pernah mengubah anak-anak itu menjadi lebih baik. Label itu tidak lain hanya akan menyuburkan luka batin. Menghancurkan citra diri. 

Selain itu, penasihat Anak Dr. Brenna Hicks seperti dikutip dari Nakita mengatakan, anak-anak mengembangkan dan mendefinisikan perasaan diri mereka dengan memproses apa yang orang lain katakan tentang mereka. Artinya, jika dikatakan anak nakal dan bandel ya mereka akan menganggap mereka memang seperti itu (seperti yang saya alami sendiri). 

Bahkan kalaupun memang benar anak tersebut nakal dan bandel, selidikilah benar-benar yang menjadi akar masalahnya. Mintalah bantuan pada yang benar-benar profesional. 

Hey, zaman sudah canggih lho. Apa yang terlihat begitu mistis kadang punya penjelasan ilmiah yang sungguh sederhana. 

Berkaca pula pada kasus Aisyah, semoga para orang tua juga tidak bosan upgrade ilmu pengetahuan dan agama sepanjang hayat, agar akal sehat tak jadi tumpul. Dan nurani tidak mati. 

Selamat Jalan, Aisyah. 

Tidur yang nyenyak ya, Sayang. 

Salam dari Tepian Musi

Kompal : kompasianer palembang
Kompal : kompasianer palembang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun