Teringat legenda dan mitos Pulau Kemarau yang menyebar dari mulut ke mulut, telinga ke telinga. Mungkinkah arwah Putri Siti Fatimah dari kerajaan Sriwijaya tak senang aku menziarahi makamnya? Atau itu Sang Putra Raja Tiongkok, Tan Bun Ann, yang mencurigaiku hendak mengambil batangan emas miliknya yang konon berserakan di dasar sungai Musi?
Tolol!!! Logikaku  mengumpat dalam hati. Masih percaya hal semacam itu di zaman serba canggih seperti ini?
Tapi... tapi..., perasaanku mendebat. Gelisah ini nyata adanya. Sungguh benar ada yang mengawasiku sejak pertama kujejakkan kaki di pulau ini. Sepasang. Hanya sepasang mata, entah milik siapa. Yang meluput dari indera penglihatku. Yang begitu pandai mentak-kasatkan dirinya sendiri.
Keringat dingin mulai mengucur dari dahiku.Â
Tolong. Aku ingin pulang.
***
Betapa leganya aku ketika Ampera kembali terperangkap kembali dalam retina. Sepanjang perjalanan pulang aku terdiam menahan mual. Kepalaku berputar. Mataku berkunang. Bukan mabuk kapal, tapi aku benar-benar ketakutan. Rasanya sepasang mata itu terus mengikuti. Benar-benar gawat! Nyata atau tidak, aku sungguh tak punya waktu untuk mengurusi hal-hal ghaib semacam itu. Apalagi bangsa lelembut yang sudah lama menghuni Pulau Kemaro.
"Mas Yan? Minum?" seorang gadis manis yang aku lupa namanya menawariku botol air mineral yang masih bersegel.
"Oh, terima kasih," sahutku menerima botol yang disodorkan.
"Mas," gadis itu menggantung ucapannya. Ragu.Â
"Ya?"
"Ada yang mau kenalan..., boleh?"