"Hahahahahaha...."
Suara manusia dan gelak tawa dengan nada sama antusiasnya terus bersahutan memenuhi kapal berkapasitas 30 penumpang itu. Sesekali ditimpal komentar-komentar terkait ponsel keluaran baru yang dibagikan pada peserta tour untuk diuji-pakai. Hampir seluruh wajah peserta tampilkan raut sumringah. Hanya beberapa saja yang terlihat pucat dan tegang. Mungkin mabuk laut.
Aku sendiri tak ambil pusing, hanya mengambil beberapa gambar deretan rumah di perkampungan sepanjang tepian Musi. Entahlah, rumah-rumah dengan tiang tinggi khas perairan itu cukup menarik di mataku. Meski --tentu saja--, aku sama sekali tak berniat untuk tinggal di sana.
***
Setelah dua puluh menit perjalanan membosankan, Pulau Kemaro berada persis di depan mata. Angin yang menyambut jelas cukup kencang untuk sekadar menyingkapkan rok perempuan. Ombak cukup tinggi sempat membuat kapal tak stabil kala merapat di dermaga.
Molek.Â
Kesan pertama yang kutangkap dari Pulau di tengah sungai Musi ini. Hijau pohon dan rerumputan berkolaborasi apik dengan ornamen merah-jingga khas negeri Tirai Bambu. Ukiran-ukiran kepala naga dan patung-patung ber-cat cerah sungguh memanjakan mata. Bau dupa cukup menyengat kala mendekat bangunan klenteng. Sejumlah perempuan paruh baya bermata sipit terlihat khusyuk berdoa di depan altar sembari memegang beberapa batang lidi hio yang masih berasap.
Namun ketika asyik membaca prasasti batu bertuliskan legenda Pulau Kemaro, mendadak bulu kudukku berdiri. Perasaan aneh tak nyaman seperti tengah diawasi muncul begitu saja. Anehnya, ketika kuedarkan pandangan sekeliling, semuanya terlihat biasa saja. Normal tanpa ada apapun yang ganjil. Peserta tour yang lain sibuk mengurung objek favorit dalam lensa masing-masing. Terlalu sibuk bahkan untuk sekadar melirik ke arahku.
Mencoba abai, aku menuju spot terbaik yang berada tepat di tengah pulau. Pagoda sembilan tingkat nan megah sabar menunggu pengunjung di sana. Anggun. Elok nan megah bersanding dengan Patung Buddha Tertawa yang keemasan di sisi kanannya. Di belakangnya, rindang pohon cinta mengintip malu-malu. Memandang tinggi ketiganya dengan duduk di hamparan paving block heksagonal yang meluas di sekeliling pagoda, rasanya seperti bukan berada di negeri sendiri saja.Â
Dalam kondisi normal, aku pasti terpukau dengan semua yang ada di sini. Relief-relief cantik di sekeliling dinding pagoda terlalu sayang untuk dicueki. Dua patung panda di belakang pagoda juga terlalu sayang jika tak diajak selfie. Namun --lagi-lagi-- perasaan aneh tak wajar itu hadir kembali.Â
Aku bergidik.Â