Dengan nada bicara bak sales asuransi, Audy, perempuan muda berambut pirang itu fasih menjelaskan jenis-jenis tuyul yang mereka sewakan.
"Saat ini, tuyul impor asal Mesir yang lagi naik daun, Mbak. Kemampuannya membawa pulang logam dan batu mulia lebih memuaskan customer ketimbang tuyul lokal kita yang spesialisasinya uang. Trennya memang bergeser ke barang dan perhiasan, karena makin sedikit masyarakat kita yang megang uang cash..."
Terus terang, aku hanya separuh mendengarkan. Siapa juga yang tertarik memelihara tuyul? Konyol dan tak masuk akal. Aku justru lebih tertarik dengan dengan botol-botol aneka bentuk dan warna yang terpajang apik di etalase dan rak-rak tinggi yang mengelilingi dinding. Masing-masing botol ditempeli label mirip kemasan obat.
Mendadak, mataku tertuju pada sebuah botol sewarna tomat yang bentuknya mirip labu erlenmeyer. Tak seperti ratusan botol yang lain yang tersusun berdampingan, botol yang satu itu tampak terasing di dekat printer. Entah mengapa, kala menatapnya, aku mendadak gelisah.
"Oh..., itu Bolu," kata Audy yang mengikuti pandanganku yang nanar.
"Bolu?" aku mengerjap, bingung.
"Bolu. Bocah lucu. Tuyul lokal, Mbak. Sudah lama ga kami sewakan lagi..."
"Kenapa?" tanyaku ingin tahu.
"Servis-nya mengecewakan, Mbak. Suka salah ngambil uang. Terlalu emosional juga, jadi customer pada komplain..."
Aku manggut-manggut, meski tak sanggup mengalihkan tatapan dari botol yang sepertinya kosong itu.
"Sebetulnya sudah pengen saya buang, Mbak. Ngerepotin sih. Cuma nggak tahu, Boss saya sayang banget sama dia."