"Tapi, Bu..."
"Ibu bilang pergi!" suaranya lebih keras, kini bergetar penuh kemarahan. "Jangan ganggu Ibu..."
Air mataku menggenang. Ibu bahkan tak mau memalingkan wajahnya padaku. "Bu..."
"PERGIIIII.....AAAARRGHHHHHH....PERGI KAMU!!!! AAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!"
Aku bergidik. Ibuku benar-benar kalap. Dia mulai menjambaki rambutnya sendiri. Oh... Oh... Oh..., gawat! Ibu akan melukai dirinya sendiri lagi.
"Eyang! Eyang Uti...," seruku ketakutan. Dalam hati mengutuk diriku sendiri. Apa yang kulakukan pada ibu?
"Eyaaang, cepatlaahh. Tolong Ibuu..."
Syukurlah Eyang mendengar teriakku. Dia muncul, diikuti Mbak Sari, asisten rumah tangga kami yang baru. Keduanya berkutat menenangkan Ibu yang jeritannya tak ubah seperti hewan disiksa. Aku mundur, merapat ke sudut. Melihat segalanya dengan tatapan ngeri. Ibuku benar-benar seperti orang kesurupan.
Aku tak tahu butuh waktu berapa lama, namun akhirnya Ibu bisa sedikit tenang. Kini, lengkingnya tak lebih dari isak.
"Arcel, Ma...," kata Ibu di pelukan Eyang.
Mendengar namaku keluar dari mulut Ibu, aku mengangkat wajah yang tanpa sadar sudah bersimbah air mata. Meski demikian, aku masih tak berani mendekat. Aku takut Ibu akan histeris lagi.