Cahyo, anak lelaki bertahi lalat di sudut mata itu termenung di bawah pohon beringin rindang di halaman sebuah bangunan pabrik tua. Ekor matanya mengikuti sehelai daun yang melayang jatuh lepas dari dahan.
Dia sibuk berpikir, apa sesungguhnya yang membuat dedaunan kuning kecokelatan itu melepaskan cengkeraman pada batang yang selama ini menafkahinya, hanya untuk memilih melayang jatuh ke permukaan tanah lembap berlapis tikar rerumputan dan kemudian berakhir di tempat bakaran sampah.
Dan dia pun menjawab sendiri tanya di hatinya itu. Sama seperti dirinya, daun itu tak punya pilihan. Bukannya sengaja jatuh, tapi karena tak kuat menahan beratnya rindu yang telah ditulis seseorang pada permukaannya.
Seseorang itu Cahyo sendiri.
Ya. Cahyo memang senang menulis di atas daun dengan tinta dan pena dari khayalnya. Isinya bermacam-macam, tapi selalu tentang kerinduan pada satu orang saja : Bapaknya. Sebanyak helai dedaunan telah jatuh, sebanyak itu pula rindu yang sudah ditulisnya pada Bapak.
Mekanisme kerja rindu yang aneh. Cahyo kan tidak pernah benar-benar ingat Bapaknya. Dia baru satu tahun ketika Bapak meninggal. Dia tidak tahu apa-apa kalau bukan dari omongan orang-orang bahwa Bapak tukang bikin bom. Bahwa Bapak sudah buron selama tujuh tahun lebih. Bahwa Bapak siap jadi "pengantin" untuk salah satu serangan di kedutaan besar negara tetangga, sebelum akhirnya tewas oleh peluru anggota Densus 88 saat penggerebekan.
Anak Teroris. Label yang menempel pada kening Cahyo kemana pun dia pergi. Memastikan bibir-bibir sumbing menyanyikan senandung caci maki untuk dirinya. Juga mata yang tak habis memandang sinis penuh penghakiman akan keberadaannya.
Oh, andai Bapak masih ada, tentu Cahyo bisa menjalani kehidupan normal seperti laiknya anak-anak lainnya. Mencemaskan PR dan ujian, dan bukannya nasib bangunan tempatnya bernaung jika sampai dibongkar pihak berwajib karena berada persis di bantaran kali.
Huh. Yang benar saja, akal sehat Cahyo berbisik jemu. Ini bukannya lingkaran setan? Bukankah Bapak yang membuatnya tak punya teman seperti sekarang?
Meski demikian, Cahyo tetap rindu Bapak. Maka dia mulai mencari daun yang bisa ditulisinya lagi.
***
"... Kalian mengerti? Cahyo?" kata Kakek berjenggot kelabu dengan suara baritonnya yang tegas. "Pastikan kalian benar-benar berada di kerumunan penonton sebelum menekan tombol merah itu!"
Cahyo mati-matian menahan hasrat untuk menguap dan memutar bola matanya. Dia bosan dengan penjelasan yang diulang sebanyak sejuta kali selama setahun penuh. Tapi dia tahu, Kakek Jenggot dan 9 pasang mata orang dewasa lainnya di ruangan remang-remang berbau bubuk mesiu itu terfokus padanya seorang.
"Mengerti, Kek...," jawab Cahyo mantap.
"Cahyo..." Paman bersorban putih yang kini berbicara. "Mungkin kau gugup saat ini mengingat ini akan jadi malam terakhirmu. Tapi jangan biarkan kegugupan itu menggoyahkan keyakinanmu. Ingatlah, yang kita lakukan ini adalah kebenaran. Kita berjuang di jalan Tuhan."
"Betul, Cahyo," timpal Bapak berpeci hitam. "Ingat apa yang sudah mereka lakukan padamu, juga Bapakmu. Ketahuilah, yang kaulakukan ini hanya meneruskan apa yang dikerjakan Bapakmu di masa lalu."
"Saya mengerti...," sahut Cahyo tanpa ragu sedikit pun.
Kakek janggut menepuk bahu Cahyo sejenak, sebelum pembicaraan beralih pada topik lain meski masih berhubungan.
Cahyo hanya separuh mendengarkan ketika mereka membahas skenario rencana cadangan jika Cahyo gagal melaksanakan tugas.
"Kita tidak perlu khawatir," kata Kakek Janggut. "Terlalu banyak orang di sana esok, bahkan para TNI dan Polri keparat itu tidak akan sadar kalau kita melibatkan bocah 14 tahun..."
Pertemuan itu berakhir dengan teriakan kalimat yang menyerukan kebesaran Tuhan.
***
Cahyo terbangun dengan segar menjelang subuh hari itu. Dia sudah melepaskan semua beban jiwa letihnya pada Tuhan. Dalam sembahyang terakhirnya itu, dia sudah benar-benar ikhlas dan mantap dengan apa yang akan dilakukannya. Maka yang dia lakukan kini hanyalah menikmati detik-detik terakhir hidupnya...
Dia menatap ke luar jendela. Masih gelap, namun dia masih bisa melihat siluet kerimbunan daun pohon beringin. Dia tidak akan pernah melihatnya lagi. Dia hanya berharap dan percaya satu hal..., jika ribuan daun kecil-kecil itu telah lepas semua dari rantingnya, setidaknya akan ada satu helai yang diterbangkan angin..., melayang terus hingga puncak gunung, atau ke bulan dan bintang, atau justru ke jurang neraka terdalam... kemana saja..., asal daun bertulis rindu itu sampai kepada Bapak.
Masih ada waktu sebelum panggung hiburan rakyat di lapangan tengah kota itu dimulai.
***
Cahyo sekarat. Tubuh kurusnya sudah terlilit kabel aneka rupa yang tersambung pada tas ransel di punggungnya. Dia memejamkan mata. Meraba tombol merah yang disinggung Kakek Janggut semalam... Bibirnya mengucapkan doa permohonan ampun untuk dosanya, terlebih dosa Ibu Bapaknya.
Dengan menyebut nama Tuhan..., meyakini Yang Maha Kuasa itu yang kelak menjemput rindunya, Cahyo menekan tombol merah itu.
***
Esok harinya, halaman depan koran lokal kota itu menampilkan kepala berita : "Asyik Bergoyang, Kemben Marry Annie Melorot", lengkap dengan foto sang artis dangdut kondang ibukota yang sibuk membenahi pakaiannya di hadapan ribuan pasang mata yang menonton.
Para pembaca sibuk memelototi foto yang di-blur itu, hingga tak terlalu memperhatikan berita kecil di kolom paling kiri : "Ledakan di Pabrik Kembang Api, 11 Pekerja Tewas!
Â
***
Palembang, Sept' 16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H