Cahyo terbangun dengan segar menjelang subuh hari itu. Dia sudah melepaskan semua beban jiwa letihnya pada Tuhan. Dalam sembahyang terakhirnya itu, dia sudah benar-benar ikhlas dan mantap dengan apa yang akan dilakukannya. Maka yang dia lakukan kini hanyalah menikmati detik-detik terakhir hidupnya...
Dia menatap ke luar jendela. Masih gelap, namun dia masih bisa melihat siluet kerimbunan daun pohon beringin. Dia tidak akan pernah melihatnya lagi. Dia hanya berharap dan percaya satu hal..., jika ribuan daun kecil-kecil itu telah lepas semua dari rantingnya, setidaknya akan ada satu helai yang diterbangkan angin..., melayang terus hingga puncak gunung, atau ke bulan dan bintang, atau justru ke jurang neraka terdalam... kemana saja..., asal daun bertulis rindu itu sampai kepada Bapak.
Masih ada waktu sebelum panggung hiburan rakyat di lapangan tengah kota itu dimulai.
***
Cahyo sekarat. Tubuh kurusnya sudah terlilit kabel aneka rupa yang tersambung pada tas ransel di punggungnya. Dia memejamkan mata. Meraba tombol merah yang disinggung Kakek Janggut semalam... Bibirnya mengucapkan doa permohonan ampun untuk dosanya, terlebih dosa Ibu Bapaknya.
Dengan menyebut nama Tuhan..., meyakini Yang Maha Kuasa itu yang kelak menjemput rindunya, Cahyo menekan tombol merah itu.
***
Esok harinya, halaman depan koran lokal kota itu menampilkan kepala berita : "Asyik Bergoyang, Kemben Marry Annie Melorot", lengkap dengan foto sang artis dangdut kondang ibukota yang sibuk membenahi pakaiannya di hadapan ribuan pasang mata yang menonton.
Para pembaca sibuk memelototi foto yang di-blur itu, hingga tak terlalu memperhatikan berita kecil di kolom paling kiri : "Ledakan di Pabrik Kembang Api, 11 Pekerja Tewas!
Â
***