"... Kalian mengerti? Cahyo?" kata Kakek berjenggot kelabu dengan suara baritonnya yang tegas. "Pastikan kalian benar-benar berada di kerumunan penonton sebelum menekan tombol merah itu!"
Cahyo mati-matian menahan hasrat untuk menguap dan memutar bola matanya. Dia bosan dengan penjelasan yang diulang sebanyak sejuta kali selama setahun penuh. Tapi dia tahu, Kakek Jenggot dan 9 pasang mata orang dewasa lainnya di ruangan remang-remang berbau bubuk mesiu itu terfokus padanya seorang.
"Mengerti, Kek...," jawab Cahyo mantap.
"Cahyo..." Paman bersorban putih yang kini berbicara. "Mungkin kau gugup saat ini mengingat ini akan jadi malam terakhirmu. Tapi jangan biarkan kegugupan itu menggoyahkan keyakinanmu. Ingatlah, yang kita lakukan ini adalah kebenaran. Kita berjuang di jalan Tuhan."
"Betul, Cahyo," timpal Bapak berpeci hitam. "Ingat apa yang sudah mereka lakukan padamu, juga Bapakmu. Ketahuilah, yang kaulakukan ini hanya meneruskan apa yang dikerjakan Bapakmu di masa lalu."
"Saya mengerti...," sahut Cahyo tanpa ragu sedikit pun.
Kakek janggut menepuk bahu Cahyo sejenak, sebelum pembicaraan beralih pada topik lain meski masih berhubungan.
Cahyo hanya separuh mendengarkan ketika mereka membahas skenario rencana cadangan jika Cahyo gagal melaksanakan tugas.
"Kita tidak perlu khawatir," kata Kakek Janggut. "Terlalu banyak orang di sana esok, bahkan para TNI dan Polri keparat itu tidak akan sadar kalau kita melibatkan bocah 14 tahun..."
Pertemuan itu berakhir dengan teriakan kalimat yang menyerukan kebesaran Tuhan.
***