Arako, no. 11
Ikan Pais kelaponyo mudo
Dibungkus daun talas rapi-rapi
Dikebek tali mesiang
Ikan Pais lemak rasonyo
Makan kek nasi putih pane-pane
Ulam kek jering mudo
Charaka berkonsentrasi menghafal lirik lagu yang mengalun ceria memenuhi sudut mobil pagi itu. Meski tak sepenuhnya paham apa artinya, pemuda tampan berambut hitam-lurus-agak berantakan itu berharap pikirannya bisa teralih dari rasa mual dan pusing akibat desakan cairan asam-pahit dari lambung yang memaksa naik ke kerongkongannya. Jalanan berliku khas pegunungan di depannya ini benar-benar cobaan berat.
"Raka, kalau capek istirahat saja," ujar Pria paruh baya yang duduk di bangku depan, di sebelah supir. "Masih ada waktu kalau mau tidur. Kita sampai sekitar 45 menit lagi."
"Iya, Pak Arya ," sahut Charaka singkat.
"Hmm, sudah saya bilang. Panggil saya 'Om'," kata Arya sambil membenahi kaca matanya yang melorot.
"Iya, Om Arya...."
Meski demikian, Charaka tak menuruti kata-kata Arya. Jalanan berliku tadi sudah berakhir. Guncangan akibat jalan rusak dan berlubang sudah tak berasa. Dia asyik melihat pemandangan padi menguning di balik kaca. Hmm, jadi ini Bengkulu?
Arya mengeraskan volume tape. Lagu "Ikan Pais" yang entah sudah berapa puluh kali diputar selama 2 jam perjalanan dari Lubuk Linggau, kini sudah mencapai bagian refrein.
Rasonyo oy lemak nian , badan keringek rintik rintik
Nasi sepiring sudah habis, raso ndak tambuh
Rasonyo oy lemak nian, badan keringek rintik rintik
Sambalnyo pedeh nambuh lagi, habis segalo...
Charaka tersenyum, menahan gelaknya. Dia mengerti makna lirik lagunya kali ini. Jadi lagunya tentang makanan? Ikan Pais. Seperti apa rasanya? Charaka bertanya dalam hati karena belum pernah mencicipinya. Makanan yang membuat badan berkeringat bintik-bintik kala memakannya, serta merangsang keinginan untuk tambah... Hmm, sepertinya layak dicoba.
*
Nandita buru-buru keluar begitu mendengar suara mobil memasuki halaman. Gadis bertahi lalat di sudut mata itu tak sabar menyambut Boss besarnya. Pak Aryadinata, pemilik rumah megah yang ditinggali Nandita itu memang sudah jauh-jauh hari mengatakan akan pulang. Mungkin lebih tepatnya singgah, karena Pak Arya tak pernah menginap lebih dari dua malam.
"Selamat Pagi, Pak," sambut Nandita begitu Arya keluar dari Toyota Alphard-nya. Dia mencium tangan Arya laiaknya ayah sendiri. .
"Pagi, Nandita," balas Arya ramah. "Dimana ibumu?"
"Lagi di pasar, Pak.Belanja. Kan Bapak pulang hari ini, harus masak istimewa dong..."
"Ikan Pais Kakap Spesial?" tebak Arya.
Nandita mengangguk antusias. "Kesukaan Boss Besar..."
Tawa pun pecah. Bahkan Yudi, supir yang sibuk mengeluarkan koper dari bagasi ikut tertawa. Tepat saat itulah mata Nandita tertuju pada seseorang yang berdiri di dekat mobil. Wajahnya tampak asing dan canggung. Jelas dia baru pertama kali datang ke sini. Meski tampak letih, sama sekali tak mengurangi ketampanan dirinya. Siapakah gerangan? Jelas bukan anak Pak Arya, karena Bossnya itu hanya punya dua anak perempuan yang saat ini masih kuliah di Belanda.
"Charaka?" panggil Arya.
"Ya, Om?" Charaka bergegas mendekat.
"Jam 9 pagi ini saya ada urusan. Mungkin petang nanti baru pulang. Kamu tinggal di rumah ya? Istirahat. Anggap saja rumah sendiri, tidak usah sungkan," kata Arya, lalu tatapannya beralih pada Nandita. "Nandita, kamu temani Charaka ya? Jangan sampai dia tidak betah!"
***
Charaka baru selesai mandi kala membaui sesuatu yang aneh dari dapur. Amis ikan, bercampur rempah, dan... -kalau hidungnya tidak salah- bau khas kelapa yang disangrai. Terintimidasi oleh rasa ingin tahunya yang besar, Charaka pun mendekat.
Lantai dapur tampak porak poranda. Nandita yang duduk lesehan di sana tampak sibuk membungkus potongan besar ikan dalam baskom seperti pepes (tapi sepertinya jauh lebih rumit?). Jemarinya yang mungil lentik tampak kekuningan terkena kunyit. Bibirnya yang kemerahan menyenandungkan sebuah lagu bernada melayu yang sama dengan yang didengar Charaka di dalam mobil tadi pagi.
"Suaramu bagus, Nandita," puji Charaka. Pemuda itu tanpa ragu ikut duduk di lantai, di sebelah Nandita. "Lagunya juga bagus. Bisa kau terjemahkan liriknya untukku?"
Nandita tampak kaget dengan kemunculan Charaka yang tiba-tiba. Wajahnya menghangat merah. Udara di sekitarnya seperti menipis. Dia tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya bisa menguasai diri.
Terima kasih, Mas Raka," kata Nandita. "Lagu ya? Hmm, lagu ini -seperti judulnya-, menceritakan tentang Ikan Pais. Makanan khas daerah sini. Konon, Ikan Pais ini menjadi makanan favorit Bung Karno sewaktu beliau diasingkan di Bengkulu. Mungkin, masakan ini juga yang membuat beliau jatuh cinta pada Ibu Fatmawati...."
"Oh ya?" mata Charaka melebar, tertarik.
"Ya. Bait pertama lagu ini, menjelaskan proses pembuatannya. Yang menggunakan kelapa muda -tapi bukan lagi dogan- yang diparut," jelas Nandita. "Kelapa parut itu lalu dicampur dengan berbagai bumbu yang dihaluskan seperti kunyit, jahe, bawang, kemiri, lengkuas, juga kelapa tua yang disangrai dan ditumbuk halus. Tidak lupa batang serai dimemarkan dan daun jeruk."
"Wah, pantas baunya khas begini," komentar Charaka.
"Begitu bumbu sudah siap, maka ikan siap dibungkus. Seperti kalimat dalam lagunya, dibungkus dengan daun talas rapi-rapi, lalu diikat dengan tali mesiang..."
"Daun talas?" Charaka tak percaya. Dia tahu tumbuhan rawa yang satu itu. "Bukannya itu membuat gatal? Dan tali mesiang, apa itu?"
Nandita tersenyum. "Benar, gatal jika tidak tahu cara memasaknya. Tali mesiang itu tumbuhan rawa juga, sekarang sudah jarang ditemukan. Jadi untuk ikan pais kita hari ini, aku hanya mengikatnya dengan tali rafia. Toh, fungsinya agar ikatannya tidak lepas saat nanti direbus."
Charaka sampai tak berkedip melihat Nandita memeragakan penjelasannya. Potongan ikan yang berada di tengah dilumuri dengan bumbu, lalu dibungkus dengan daun talas tiga lapis. Setelah itu, masih ditambahkan daun pisang sebagai lapisan terluar yang kemudian diikat kuat. Sekilas, memang tampak seperti membuat pepes, namun berbeda. Jika pepes bentuknya lonjong memanjang, maka Pais bentuknya nyaris bujur sangkar dan agak pipih.
"Untuk membuat ikan pais ini, tidak harus ikan kakap. Bisa ikan yang lain, tapi sebaiknya pilih yang tidak terlalu banyak tulang. Biasanya, satu bungkusan Ikan Pais berisi satu ekor ikan utuh. Tidak perlu dipotong, yang penting sudah dibersihkan," jelas Nandita.
Charaka menemani Nandita hingga ikan terakhir usai dibungkus semuanya. Nandita berkisah tentang dirinya, yang yatim sejak masih dalam kandungan, namun bersyukur karena ibunya yang asisten rumah tangga itu punya majikan yang baik. Aryadinata Surya, pengusaha perkebunan sukses yang kini merambah bisnis logam mulia itu memercayakan rumah warisan keluarganya di pesisir Bengkulu ini kepada Ibu Nandita agar diurus. Bersama dua orang security dan satu tukang kebun, Nandita seperti punya keluarga yang sebenarnya. Pak Arya cukup sering menengok jika kebetulan merasa perlu mengecek beberapa anak perusahaan miliknya.
**
Angin. Bau garam. Pantai. Senja.
Charaka berharap waktu berhenti agar dia menikmati keindahan ini selamanya. Dia duduk di saung di belakang rumah. Charaka paham mengapa Arya tak berniat menjual rumah tersebut kendati hidupnya tak lagi di kota kecil ini. Berbatasan langsung dengan garis pantai Bengkulu yang landai, dan terkenal dengan pasir putihnya nan lembut... juga pohon pinus sebagai ganti pohon kelapa tumbuh subur di sekelilingnya, sulit membayangkan kalau rumah ini masih termasuk dalam wilayah administrasi Kotamadya.
"Ayo, Mas Raka. Dicicipi dulu Ikan Paisnya," suara lembut Nandita membawa Charaka menjejakkan kaki kembali ke Bumi.
Charaka melihat meja rendah di depannya sudah penuh dengan makanan. Nasi putih yang masih mengepul, menguarkan aroma khas jika dimasak dengan tungku kayu. Lalu ada Ikan Pais yang sudah dibuka bungkus daun pisangnya. Nandita memotongnya apik. Warna hijau daun talas yang tampak kontras dengan bumbu jingga itu benar-benar menggugah selera. Ditambah sambal terasi di cobek kecil di sebelahnya, ah..., sungguh menerbitkan air liur.
"Kok kamu di sini? Nanti Om Arya butuh bantuanmu," kata Charaka sembari melirik saung sebelah. Arya dan tiga orang tamunya tampak sudah mulai bersantap ria.
"Nggak papa, Mas. Ada Ibu kok," ujar Nandita sambil menyendok nasi. "Lagipula saya memang disuruh nemenin Mas Raka.. -Ini, Mas, silakan--"
"Terima kasih," Charaka menerima piring yang disodorkan Nandita. Selain nasi, sudah lengkap terisi ikan pais, sambal, dan ...
"Jering mudo ..., alias jengkol muda," kata Nandita tersenyum. "Belum lengkap kalau belum lalap itu, Mas."
Charaka memulai suap pertamanya. Rasa gurih bumbu ikan pais yang khas langsung membuat lidahnya jatuh cinta. Perpaduan daging ikan yang lembut dengan daun talas yang empuk, pedas sambal dan sepat-pahit jengkol muda benar-benar merupakan kolaborasi rasa spektakuler. Belum pernah dia makan nasi selezat ini sejak ibunya meninggal 10 tahun yang lalu.
Dan... Tak butuh waktu lama bagi Charaka untuk menandaskan sepiring penuh, dan merasa ndak tambuh seperti pada lirik lagu. Keringat di dahi dan atas bibir Charaka mulai terbit berbintik-bintik ketika mendadak dia ingat sesuatu. "Kok, daun talasnya tidak terasa gatal sama sekali, Nandita? Apa karena butuh 8 jam merebusnya? Lihat, bahkan tulang ikannya pun terasa lunak..."
"Oh, bukan Mas. Lamanya waktu perebusan tidak akan berpengaruh dengan hilangnya rasa gatal daun talas. 8 jam itu hanya memastikan ikannya matang dengan sempurna. Rahasia sebenarnya adalah dengan menambahkan asam gandis dan buah pinang muda di dalam air rebusannya..."
Charaka mengangguk paham. Dia tak akan menyia-nyiakan kelezatan ikan pais ini, karena belum tentu dia akan kembali ke Bengkulu. Ketika matahari tergelincir dalam kedalaman ujung laut, Charaka total menghabiskan tiga piring nasi tanpa sisa sedikitpun. Dia tidak tahu persis, apa memang masakannya yang lezat, atau senyum dan binar mata Nandita yang membuatnya lupa daratan.
*
*
Charaka berangkat ke Jakarta pagi ini. Arya sudah memberi tahu Nandita tadi malam. Kini gadis itu bingung setengah mati. Dia tidak tahu apa salahnya. Entah mengapa, sikap Charaka berubah drastis. Pemuda yang sebelumnya begitu ramah padanya, mendadak kaku sedingin es batu. Tepatnya setelah dia berterima kasih atas masakan yang barusan disantapnya.
Tatapan hangat yang kemarin hilang sudah. Bahkan tegur sapa dan gelak renyah dari pemuda itu ikut menguap sejak semalam. Sarapan berlangsung dalam diam. Hanya sesekali Pak Arya memberinya wejangan seperti biasa.
Ada apa gerangan? Mengapa Charaka mendiamkannya? Seolah itu semua belum cukup, tak ada satu kata pamit pun terucap. Bahkan walau hanya sekadar basa-basi. Pemuda itu masuk mobil yang membawanya ke bandara begitu saja. Tanpa bicara. Tanpa suara. Dan tanpa menoleh lagi ke belakang pada Nandita yang berdiri sediam patung Buddha di pintu gerbang. Padahal, Nandita hanya ingin melepas kepergian pemuda yang diam-diam mencuri hatinya.
Nandita terkesiap. Tidak mungkin, bisik batinnya. Tidak mungkin Charaka tahu kalau diam-diam Nandita jatuh cinta padanya. Tapi Nandita juga tak sanggup memikirkan alasan logis lain atas perubahan sikap Charaka. Gadis itu menggigit bibirnya menahan tangis. Hatinya luka. Jelas saja Charaka mendiamkannya... Dia tidak mungkin memaafkan seorang anak pembantu rumah tangga yang lancang jatuh cinta pada keponakan majikannya. Tapi harusnya Charaka tahu, Nandita tak pernah berharap apa-apa. Gadis itu paham akan statusnya yang bukan apa-apa.
Butiran bening yang mati-matian ditahannya akhirnya jatuh juga.
*:*
Di dalam mobil menuju bandara, Charaka sibuk dengan pikirannya sendiri. Tentu saja dia tahu Nandita mencintainya. Meski hanya sekejap kebersamaan mereka, selalu ada cinta dalam setiap apa yang dilakukan gadis itu untuknya. Ada cinta dalam binar matanya, ada cinta dalam senyumnya, dan ada cinta juga dalam setiap masakan yang dihidangkannya.
Charaka tahu itu. Karena cinta yang sama juga dirasanya sejak pertama bayang sosok cantik itu terperangkap retina matanya. Tapi gadis itu salah sangka. Dia bukan pemuda seperti yang dipikirkan Nandita. Charaka bukan keponakan majikannya yang kaya raya itu. Charaka hanya pemuda yatim piatu yang ingin mengadu nasib di Jakarta.
Charaka tak sengaja bertemu Aryadinata di Palembang, kala konglomerat itu tak sengaja menjatuhkan dompet tebalnya tanpa sadar. Ketika Charaka mengembalikan dompet itu, Arya merasa berutang budi. Lalu ketika Charaka bertutur kalau dirinya ingin ke Jakarta, Arya memaksa pemuda itu berangkat bersamanya. Namun Arya perlu ke Bengkulu terlebih dahulu untuk menyelesaikan beberapa urusan bisnisnya.
Dan begitulah. Utang budi Arya akan terbayar lunas begitu mereka tiba di Jakarta. Charaka akan kembali menjadi pemuda yatim piatu yang hidupnya tak jelas. Mana kan pantas untuk gadis semanis dan selembut Nandita? Charaka sengaja meninggalkan kesan buruk, agar gadis itu melupakannya. Oh, sungguh kasihan. Tidakkah pemuda itu tahu kalau cinta sejati tak pernah mengenal kasta?
Charaka menghela nafas panjang. Dipeluknya erat sebuah bungkusan plastik yang diberikan Ibu Nandita tadi pagi. Bungkusan itu berisi makanan, cukup awet untuk bisa disantap Charaka sesampainya kelak di Jakarta. Ikan pais sisa kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H