Dramatis yah itu tadi, selain karna tepian sungai Siak yang menyejarah itu. Konon diatas kapal itu kita bisa duduk menyendiri diatas dek kapal, sambil berfikir dan merenung under the starry night. Yup…. Dibawah Gemintang Malam…!!
Setelah duduk sebentar di dalam ruangan nyaman berpendingin udara ini, saya memilih keluar mencari angin sungai. Di perjalanan menggunakan transportasi Air, saya memang selalu begitu. Selalu tak betah, setelah istirahat sejanak saya mengambil tempat dibelakang ruang kemudi sambil berbincang dengan nakoda, entahlah apa mereka menyebutnya dengan panggilan keren itu.
Omong punya omong sopir kapal cerita soal transportasi Selat Panjang – Pekanbaru. Dulu mereka cuma punya pilihan Kapal jelatik tadi, yang waktu tempuhnya kadang mencapai 2 malam. Jadi kalau ada penduduk Selatpanjang yang sakit, dan harus dirujuk ke Rumah Sakit di Pekanbaru. Maka dipastikan kesakitannya itu bertambah atau malah sembuh selama perjalanan diatas kapal.
Saya menyimak sambil menikmati hembusan angin dan tepian sungai siak yang berlumpur.
Sesekali jika mulai bosan mengobrol saya merenungi sungai yang menunjukkan kejayaan Melayu Riau masa Lalu. Kadang saya melihat bagaimana kapal berpapasan dengan Kapal Jelatik yang lelah, kadang juga perahu nelayan kecil. Namun yang paling menarik, tentu kampung kampung Melayu Tua dipinggiran sungai, bukti bahwa kebudayaan Riau dulu merambat melalui jalur air. Indah sekali…!!
Â
Bersambung kebagian II
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H