JAKARTA, -Kelas sosial atau stratifikasi sosial adalah penggolongan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yang disusun secara bertingkat (hierarki), ibaratnya tampak seperti lapisan kue lapis.
Lapisan-lapisan tersebut didasarkan pada beberapa faktor, seperti pendapatan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan, kekuasaan, dan prestise.
Ilmu sosiologi menjelaskan, bahwa Kelas Sosial dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi sosial yang memungkinkan anggotanya untuk berpindah kelas sosial dari yang rendah ke yang tinggi atau sebaliknya. Perpindahan kelas sosial ini dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti pendidikan, kerja keras, dan pernikahan.
Stratifikasi sosial tertutup. Yaitu sistem stratifikasi sosial yang membatasi perpindahan kelas sosial. Perpindahan kelas sosial dalam sistem ini hanya dapat terjadi dalam batas-batas tertentu, misalnya melalui pernikahan, dan trah dinasti keluarga.
Di Indonesia, Kelas Sosial terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
Kelas Atas. Yaitu kelas sosial yang memiliki kekayaan, pendapatan, dan kekuasaan yang tinggi. Anggota kelas atas biasanya berasal dari keluarga kaya raya, memiliki pendidikan tinggi, dan menduduki posisi penting dalam masyarakat dan pemerintahan.
Rumah besar magrong-magrong di kawasan elite, misalnya, itu penanda mudah bahwa pemiliknya adalah orang berada di kelas sosial atas. Laporan kepemilikan asset triliyunan rupiah di LHKPN, itu penanda lainnya.
Kelas Menengah. Yaitu kelas sosial yang berada di antara kelas atas dan kelas bawah. Anggota kelas menengah biasanya memiliki pendapatan dan kekayaan yang cukup, memiliki pendidikan yang memadai, dan memiliki pekerjaan yang mapan.
Kelas Bawah. Yaitu kelas sosial yang memiliki kekayaan, pendapatan, dan kekuasaan yang rendah. Anggota kelas bawah biasanya keluarga miskin, memiliki pendidikan yang rendah, dan bekerja di sektor informal.
Profesi pengemis, gelandangan dan hidup di kawasan kumuh, adalah penanda masyarakat atau orang berada di lapisan Kelas Sosial Bawah.
Status Kelas sosial ini dapat memengaruhi berbagai perilaku sosial masyarakata atau individu, di berbagai bidang, seperti misalnya:
Pola konsumsi. Anggota kelas sosial yang berbeda memiliki pola konsumsi yang berbeda pula. Anggota kelas atas memiliki pola konsumsi yang mewah, sedangkan anggota kelas bawah biasanya memiliki pola konsumsi sederhana. Orang kaya makan keju, steak, courdon blue. Orang miskin makan singkong, gaplek dan nasi aking.
Pola interaksi sosial. Anggota kelas sosial yang berbeda cenderung memiliki pola interaksi sosial yang berbeda pula. Contohnya, anggota kelas atas atau orang kaya akan cenderung bergaul dengan sesama orang kaya. Adapun orang miskin di kelas bawah, cenderung bergaul dengan sesama orang miskin. Itu realitas sosialnya.
Pola mobilitas sosial. Anggota kelas sosial yang berbeda memiliki peluang mobilitas sosial yang berbeda pula. Misalnya, orang kaya di kelas atas memiliki peluang mobilitas sosial yang lebih tinggi, dibanding orang orang miskin yang gerakan mobilitas sosialnya rendah.
Orang kaya mudah sat-set bepergian keluar negeri. Sedangkan komunitas orang miskin dan sangat miskin Girli [pinggir kali] misalnya, gerakan sosialnya cenderung hanya seputar di pinggiran kali. Itu sekadar contoh ekstremnya.
Hidup dalam Kemiskinan
Pertanyaanya: mengapa orang bisa berada di kelas sosial bawah atau hidup miskin?
Ada banyak alasan mengapa orang bisa berada di kelas bawah atau hidup miskin. Antara lain disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: Faktor struktural, Faktor individu, dan Faktor eksternal.
Faktor struktural
Yaitu faktor-faktor yang berasal dari sistem ekonomi dan sosial masyarakat, meliputi:
Kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang tinggi menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan dan kekayaan. Hal ini dapat membuat sebagian besar masyarakat berada dalam kondisi miskin atau melarat secara ekonomi.
Ketersediaan lapangan kerja. Ketersediaan lapangan kerja yang terbatas dapat membuat sebagian besar masyarakat jadi pengangguran atau memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang rendah.
Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dapat memperburuk kondisi kemiskinan secara umum.
Korupsi. Perilaku korupsi oleh pejabat tinggi negara menyebabkan kualitas kesejahteraan umum melorot, harga pangan mahal, dan membuat kualitas hidup orang miskin bertambah miskin.
Faktor individu
Yaitu faktor-faktor yang berasal dari individu itu sendiri, meliputi:
Pendidikan. Pendidikan yang rendah dapat membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki pendapatan yang tinggi.
Kesehatan. Kualtas kesehatan yang buruk dapat membuat seseorang tidak mampu bekerja dan menghasilkan pendapatan.
Keterampilan. Keterampilan yang rendah dapat membuat seseorang sulit bersaing dalam dunia kerja.
Kebiasaan. Kebiasaan yang buruk, seperti berjudi dan mengonsumsi miras, narkoba, dapat menghabiskan pendapatan dan membuat seseorang jatuh miskin.
Keturunan. Seseorang yang terlahir di lingkungan keluarga miskin yang turun temurun hidup miskin, membuat seseorang itu menjadi ikut miskin.
Faktor Eksternal
Yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu dan struktur masyarakat, di antaranya:
Bencana alam. Bencana alam dapat menghancurkan harta benda dan sumber mata pencaharian masyarakat, sehingga membuat mereka jatuh ke dalam kemiskinan.
Perang. Perang dapat menyebabkan kerusakan dan korban jiwa, sehingga membuat masyarakat jatuh ke dalam kemiskinan.
Diskriminasi politik. Diskriminasi politik terhadap kelompok tertentu, seperti ras, agama, atau gender, dapat membuat kelompok tersebut sulit mendapatkan kesempatan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga hal ini meningkatkan risiko mereka untuk jatuh ke dalam kemiskinan.
Ketiga faktor di atas dapat saling berkontribusi dalam menciptakan kemiskinan. Misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan yang rendah memiliki peluang yang lebih besar untuk jatuh ke dalam kemiskinan.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin juga dapat memperburuk kondisi kemiskinan secara umum.
Upaya mengatasi kemiskinan
Untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya-upaya yang komprehensif dan berkelanjutan. Upaya-upaya itu harus mencakup perubahan sosial dalam sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sistem politik.
Bantuan Karitatif bagi Orang Miskin
Bagaimana dengan berbagai upaya kegiatan karitatif yang dilakukan pemerintah dan swasta, apakah hal itu efektif untuk menghapus kemiskinan?
 Secara umum, kegiatan karitatif oleh pemerintah, misalnya dalam berbagai bentuk BLT, beras raskin, kartu Jamsos, dll, dapat membantu mengurangi kemiskinan, tetapi tidak dapat menghapusnya secara total.
Kegiatan karitatif dapat memberikan bantuan jangka pendek kepada masyarakat miskin. Namun faktanya, bantuan-bantuan itu tidak dapat memberi solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan.
Secara khusus, kegiatan karitatif memiliki beberapa keterbatasan atau kelemahan, yaitu:
Kegiatan karitatif bersifat sementara. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh kegiatan karitatif bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Hal ini karena kegiatan karitatif tidak menyentuh akar masalah kemiskinan, yaitu faktor-faktor yang mendasari stratifikasi sosial.
Kegiatan karitatif menimbulkan ketergantungan. Masyarakat miskin yang menerima bantuan dari kegiatan karitatif cenderung bergantung pada bantuan tersebut. Hal ini membuat masyarakat miskin malas, tidak berupaya untuk mandiri atau meningkatkan taraf hidup mereka.
Kegiatan karitatif berpotensi menimbulkan diskriminasi. Pemberian bantuan dari pemerintah melalui kegiatan karitatif misalnya, seringkali tidak merata, tidak tepat sasaran dan tidak adil. Hal ini dapat memicu kecemburuan sosial, dan diskriminasi pada masyarakat miskin.
Jadi, Apa Sebenarnya Kemiskinan Bisa Dihapuskan?
Secara teori, kelas sosial bawah bisa dihapuskan dengan cara menghapus faktor-faktor yang mendasari stratifikasi sosial, seperti pendapatan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan, kekuasaan, dan prestise. Namun, dalam praktiknya, hal ini sangat sulit untuk dilakukan.
Selain itu, faktor yang mendasari stratifikasi sosial merupakan hal-hal yang bersifat alamiah dan sulit untuk diubah. Misalnya, faktor perbedaan pendapatan dan kekayaan merupakan hal yang wajar terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan dan keterampilan individu, serta perbedaan kesempatan untuk memperolehnya.
Di bidang pendidikan misalnya, pendidikan merupakan faktor yang diyakini dapat meningkatkan status sosial seseorang. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi.
Faktanya, tidak semua warga masyarakat dapat mengakses jenjang pendidikan lebih tinggi, hanya karena tidak punya uang cukup untuk beaya pendidikan yang relatif mahal.
Oleh karena itu, untuk menghapus kelas sosial bawah, perlu dilakukan perubahan yang menyeluruh dalam masyarakat. Perubahan ini harus dilakukan pemerintah pusat dan daerah, mencakup perubahan dalam sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sistem politik.
Berbagai Upaya
Beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk menghapus kelas sosial bawah, antara lain, misalnya:
Meningkatkan pemerataan pendapatan dan kekayaan. Hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin, seperti subsidi, bantuan sosial, dan pajak progresif.
Meningkatkan akses pendidikan. Pendidikan merupakan kunci untuk meningkatkan mobilitas sosial. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi.
Menciptakan lapangan kerja yang layak. Lapangan kerja yang layak akan menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik bagi masyarakat miskin.
Meningkatkan kesadaran masyarakat. Masyarakat perlu sadar bahwa stratifikasi sosial dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti kesenjangan sosial, diskriminasi, dan konflik sosial.
Jika upaya-upaya tersebut dilakukan secara serius dan berkelanjutan, maka kelas sosial bawah mungkin secara bertahap dapat dihapuskan.
Namun, tentu hal ini tetap membutuhkan waktu dan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah dan masyarakat sipil.
Lebih penting lagi, di atas upaya mulia itu, para pemimpin dan elit negara harus memiliki "rasa empati sosial" dan "kepekaan sosial"yang tinggi untuk peduli pada nasib orang miskin.
Tanpa adanya pemimpin nasional yang memiliki rasa moralitas dasar sosial itu dan komitmen kuat, rasanya kok upaya memberantas kemiskinan di Indonesia hingga mencapai angka nol persen, akan masih menjadi utopia belaka. Semoga itu bukan suatu mimpi di siang bolong. Â Â
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H