Di medan laga, Begawan Durna memejamkan mata, dan menundukkan kepala. Dia mencopot semua atribut panglima, pangkat kebesaran perangnya.
Sejeda kemudian. Maka di saat itulah Drestajumna, panglima perang pasukan Pandawa atau Mahasenapati Pandawa, maju mendekati dan mengayunkan pedang.
Drestajumna adalah putra Prabu Drupada. Dia mengakhiri hidup Begawan Durna, demi membalas dendam atas kematian Prabu Drupada (Sucitra) ayahnya, yang dahulu mati terbunuh oleh Begawan Durna ketika ayahnya itu masih muda.
Dan Begawan Durna, panglima perang Kurawa itu pun tewas.
***
Surem-surem diwangkara kingkin/ lir mangaswa kang layon/dennya ilang memanise/ wadanira layu/ kumel kucem rahnya meratani/ marang saliranipun/melas dening ludira kawangwang/ nggana bang sumirat//
Suram cahya surya bersedih / seperti menghidu lelayu/ oleh hilang kemanisannya / kumal pucat wajahnya layu/ darah merata membiru /di sekujur tubuh itu/ angkasa berduka, lihatlah/ langit semburat merah// (terjemahan bebas)
Begitulah digambarkan suasana dukacita atas berpulangnya Begawan Durna ke alam baka. Perang Baratayuda itu sejenak berhenti. Semua prajurit di padang Kurusetra tertunduk, pilu rasanya bagaikan bunga bunga yang telah layu. Langit seperti mendung. Mereka semua berduka cita.
***
Maka begitulah sepenggal kisah pilu gugurnya Bagawan Durna oleh karena berita bohong atau hoax. Kisah yang ada di dunia wayang itu memberi pesan bahwa berbohong, tidak jujur atau turut menyebarkan berita palsu, dapat berakibat fatal bagi kehidupan orang lain.
Berbohong adalah tindakan yang tidak ksatria, tidak patut dilakukan, oleh siapa pun, bahkan terutama oleh para pemimpin rakyat.