Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

78 Tahun Merdeka: "Listrik Berbunyi, Tanah Tak Punya, Air Beli"

18 Agustus 2023   11:35 Diperbarui: 18 Agustus 2023   12:43 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, secangkir kopi untuk Bang Boim. (foto:wibhyanto/dokumen pribadi) 

78 Tahun Merdeka: "Listrik Berbunyi, Tanah Tak Punya, Air Beli"

JAKARTA, (18/8/2023) -Bang Boim (35) datang mampir ke rumah. Wajahnya lelah. Gerobaknya dia sorongkan, parkir dekat gang sebelah. Dia melihatku mengetik di laptop. Aku jelaskan bahwa aku sedang menulis tentang refleksi HUT 78 RI.

Setelah sedikit basa-basi, aku tanya: "Bang Boim mau bantu aku bikin artikel? jawab pertanyaanku ya?". Lalu lelaki itu mengangguk, sambil minta segelas kopi hangat. Kubuatkan.

"Bang Boim, ini serius. Apa artinya bagimu tentang perayaan 78 tahun Indonesia Merdeka?", Tanyaku sekenanya kepada Bang Boim.

Oiya lupa, siapa sih Bang Boim? Ya dia kawanku itu, profesinya tukang rongsok, pengumpul barang bekas pakai gerobak dorong. Dia tinggal di kontrakan bedeng di samping Tol Kebun Jeruk, Jakarta. Nama aslinya entahlah, tapi dia senang kalau aku panggil dia Bang Boim.

Bang Boim tinggal sendirian di Jakarta. Keluarganya dia taruh di kampung, di Cirebon. Kalau kamu kepengen ketemu dia, ya datang aja di bedengan samping Tol Kebun jeruk itu. (Jadi clear ya, siapa Bang Boim, tokoh dalam diary Kompasiana ini-red). Mari dilanjut, kita simak jawaban Bang Boim.

"Jawabanku begini. Sejak 78 merdeka, faktanya sekarang ini, sejengkal tanah aku tak punya, segalon air masih harus dibeli, dari Tanah Airku sendiri", katanya spontan, seperti baca puisi, sambil menyeruput kopi, yang baru kubuatkan untuknya. "Ada sih, sepetak rumah warisan orangtua, Cuma rumah itu ditempati adikku", ujarnya lagi.

Hidup yang Tipis

Jangkrik! Aku kaget (dalam hati) mendengar jawaban yang tak kuduga Bang Boim itu. Aku terdiam.  

"Ada satu lagi", sergahnya lagi. "Apa itu?", tanyaku.

"Di negeri ini, sebulan dua kali, listrik di kontrakanku berbunyi. Dan itu membuatku pusing. Bunyi sinyal token listrik itu sangat kencang, terdengar sama tetangga. Itu teror. Aku tak bisa tidur nyenyak", ujarnya.

"Aku selalu berdebar debar, setiap mendengar bunyi bipp bipp bipp..token itu. Justru pas aku tak punya duit. Pusing kepalaku, terancam teror tak bisa bayar listrik", katanya lagi, mirip udarasa atau sebuah keluh kesah. Senyumnya nyengir, kecut. Aku menyimak baik baik.

Bang Boim, kawanku yang pemulung barang-barang rongsokan itu, lalu menyeruput kopinya lagi. Wajahnya kuyu, seperti orang kecapekan. Mungkin dia juga kehausan, soalnya beberapa seruputan kopi hangat sudah masuk ke tenggorokannya.

"Nah, kalau mas Wibi, apa arti 78 tahun Indonesia Merdeka?", tanya Bang Boim tiba-tiba. Aku tidak siap ditanya begitu. Aku menarik napas dalam.

"Kalau menurutku. Faktanya Bang, aku belum pernah mengalami dijajah, dan kita tak punya pengalaman berperang melawan kumpeni. Kita lahir di era kemerdekaan. Aku tak kenal ganasnya tentara Jepang, NICA Belanda atau pasukan khusus Gurkha Inggris, yang konon ceritanya mereka tentara dingin dan kejam", ujarku kemudian.

"Namun dari banyak cerita, dari para sepuh dan buku buku, kemerdekaan yang diperoleh bangsaku bukan pemberian melainkan harus direbut dari tangan musuh, melalui jalan perang. Sudah tak terhitung berapa jumlah nyawa melayang dari para pejuang. Mereka  gugur di kala saat mengusir para penjajah itu dari negeri kita. Mereka semua adalah pahlawan kemerdekaan!".

"Kini saatnya kita harus mengisi era kemerdekaan ini dengan sebaik baiknya", ujarku seperti berpidato ke Bang Boim. Aku tidak peduli, apakah Bang Boim mengerti atau tidak apa yang aku katakan barusan.

Tetapi pidatoku itu rupanya mengusik Bang Boim lagi. Dia lalu maju mendekatiku. Dengan wajah serius, dia berkata-kata:

"Kita telah Merdeka 78 tahun lamanya. Tetapi faktanya hidup ku, mungkin juga hidup kita, rasanya begini begini saja, tak ada kemajuan. Malah justru seperti kemunduran. Contohnya, sekarang kucari barang rongsok semakin sulit. Banyak jalan diportal, pemulung dilarang masuk. Dikiranya pemulung kayak aku ini tukang nyolong. Tapi ya sudahlah. Terpaksa aku harus banting stir, kerja serabutan apa saja kujalani, biar dapet duit. Sekadar untuk bertahan hidup. Hari ini ya untuk hari ini", kata kata Bang Boim memberondongku seperti tembakan senapan mesin Inggris. Aku terdiam.

"Jangan tanyakan, apakah masih ada harapan kemakmuran di minggu besok, bulan depan, atau tahun depan? Sebab itu omong kosong. Perjuanganku bukan untuk hari esok. Perjuanganku nyata, yakni hari ini ya untuk hari ini. Sudah bisa makan saja sudah lumayan", kata Bang Boim terus menerocos, setengah protes. Akibatnya kini mulutku terkunci, aku tak mampu berkata-kata sekadar menimpali udarasa kawanku ini.

Warna Bendera Memudar

"Jadi apa arti kemerdekaan 78 tahun Indonesia Merdeka?", tanyaku lagi. Aku ingin menggali apa pendapatnya soal nasionalisme, Bhineka Tunggal Ika, persatuan Indonesia, atau semacamnya.

Tetapi jawaban yang heroik itu tak kudapatkan. Bang Boim, kawanku yang pemulung, tukang rongsokan di kawasan kebon jeruk itu, wajahnya keburu tampak loyo.

"Boro boro mikirin ulang tahun negara Indonesia. Anakku di kampung ulang tahun saja kemaren minta hadiah ultah, aku tak bisa belikan. Lagi lagi soal uang, aku cekak. Hidup ekonomiku tipis, setipis kertas", ujarnya kemudian. Bang Boim menyeruput kopinya lagi.

"Tapi masih mengibarkan bendera Merah Putih, selama bulan Agustus, kan Bang Boim?".

"Masihlah. Tapi itu benderaku sudah lusuh, tak pernah kucuci. Mungkin sudah 5 tahun kusimpan di lemari. Kemarin kupasang di depan lapak rongsokan, bendera itu layu. Warna merahnya pudar, sedikit kecoklatan". Ujarnya.

Lalu, Bang Boim menerocos lagi soal kesulitan ekonomi, soal hidupnya yang tipis.

"Anakku, lelaki nomor dua, rencananya mau ikut orang kerja ke Jepang. Sudah beberapa bulan, training di Perusahaan TKI di Bekasi. Sudah bayar ini bayar itu, termasuk bayar kos selama training".  

"Kemarin minta duit lagi, kurang 20juta. Katanya untuk urusan pasport dan lainnya, aku tidak tahu. Aku tambah pusing, gimana cara dapat duit 20juta, buat anakku? Ini hasil rongsokan hari ini saja masih kosong melompong. Isi dompet los-dol blong", ujarnya, sambil nyengir.

"Lho, anakmu ke Jepang mau kerja apa? Bukannya Jepang dulu pernah menjajah Indonesia? Mau dijajah lagi kerja rodi sama Jepang?", tanyaku ngawur, sekenanya. Bang Boim tidak tersinggung. 

"Katanya kerja bidang pertanian di Jepang. Sudah diajarin, yang penting rajin. Kerja fisik, gajinya lumayan, katanya. Siapa tahu, anakku kerja di Jepang, nantinya bisa mengubah nasib kami. Aku ingin, yang penting, jangan sampai dia jadi pemulung kayak aku, bapaknya", katanya menjelaskan. Aku menghela napas dalam, menyimak kata-katanya.

"Bang Boim, maaf ya. Menurutku kerja jadi TKI di luar negeri, seperti di Korea, Thailand, Jepang, Malaysia, sekarang musti hati-hati. Jangan kena biro tenaga kerja nakal. Sudah banyak beritanya kan di televisi, soal TKI Ilegal terlantar di banyak negara, termasuk di Jepang. Jangan sampai jadi korban TPPO", ujarku mencoba memberi gambaran.

Ingin Mengubah Nasib

Bang Boim mengangguk-angguk. Tetapi aku tahu bahwa ucapanku tidak sungguh sungguh dia dengarkan. Aku ingat pepatah: "jangan memberi nasihat pada orang yang lagi pusing karena butuh uang untuk menutup kebutuhannya. Nasihatmu akan sia-sia". Maka aku diam.

"Aku hanya ingin mengubah nasib. Aku jadi pemulung. Jangan sampai anakku juga jadi pemulung", ujarnya singkat. Lalu dia menyeruput kopinya untuk terakhir kali.

Sesudah itu buru-buru dia berkemas, pamit. Katanya mau cari rongsokan lagi. Mumpung belum sore. Aku melepas kepergian kawanku, pemulung itu. Bang Boim berangkat mengais rejeki lagi.

Aku lalu kembali ke laptop, menulis artikel tentang HUT 78 RI. Tetapi kali ini, aku tak lagi berpikir lagi tentang apa makna kemerdekaan bagiku, seperti tema yang disodorkan mimin kompasiana.

Tetapi aku masih gelisah, teringat ucapan Bang Boim, kawanku yang pemulung itu, "78 tahun Indonesia Merdeka. Aku atau mungkin juga banyak orang lainnya, masih berdebar debar mendengar bunyi Token Listrik berkedip kedip, soal kontrakan bulanan yang harus dilunasi, tanah tak punya. Dan segalon air yang masih harus dibeli. Dan ini semua masih terjadi di tanah airku, tanah tumpah darahku, bangsaku sendiri, negeri kaya raya yang amat kucinta".

Mungkin dalam hal ini, aku, Bang Boim, atau sebagian kita, termasuk di lapisan rakyat yang belum beruntung. Belum merdeka seutuhnya.

Menutup diary ini, aku mencatat: "Kita lahir di era kemerdekaan, bukan di era penjajahan. Tetapi di era merdeka ini, justru bagiku penjajahan baru telah datang. Bukan dalam rupa ekspansi kolonialisme perang. Melainkan sebuah sistem sosial ekonomi yang terus membelenggu". 

Tak bisa disentuh dan diraba, tetapi sistem itu benar benar masih menjajah, dan nyata bisa kita dirasakan bersama-sama "betapa dahsyat nyeseknya" di dalam dada.

Hanya satu kalimat masih bisa diucapkan di HUT 78 RI ini, dengan semangat menyala: "Selamat berjoeang, kawan!". Hanya itu.

SELESAI. 

*disclaimer: tulisan ini, sudah "Centang Biru" seijin Bang Boim, kawanku yang pemulung itu, untuk aku kirim sebagai artikel di Kompasiana. Tapi dia tak mau difoto. Ogah jadi artis, katanya sambil tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun