Aku lalu kembali ke laptop, menulis artikel tentang HUT 78 RI. Tetapi kali ini, aku tak lagi berpikir lagi tentang apa makna kemerdekaan bagiku, seperti tema yang disodorkan mimin kompasiana.
Tetapi aku masih gelisah, teringat ucapan Bang Boim, kawanku yang pemulung itu, "78 tahun Indonesia Merdeka. Aku atau mungkin juga banyak orang lainnya, masih berdebar debar mendengar bunyi Token Listrik berkedip kedip, soal kontrakan bulanan yang harus dilunasi, tanah tak punya. Dan segalon air yang masih harus dibeli. Dan ini semua masih terjadi di tanah airku, tanah tumpah darahku, bangsaku sendiri, negeri kaya raya yang amat kucinta".
Mungkin dalam hal ini, aku, Bang Boim, atau sebagian kita, termasuk di lapisan rakyat yang belum beruntung. Belum merdeka seutuhnya.
Menutup diary ini, aku mencatat:Â "Kita lahir di era kemerdekaan, bukan di era penjajahan. Tetapi di era merdeka ini, justru bagiku penjajahan baru telah datang. Bukan dalam rupa ekspansi kolonialisme perang. Melainkan sebuah sistem sosial ekonomi yang terus membelenggu".Â
Tak bisa disentuh dan diraba, tetapi sistem itu benar benar masih menjajah, dan nyata bisa kita dirasakan bersama-sama "betapa dahsyat nyeseknya" di dalam dada.
Hanya satu kalimat masih bisa diucapkan di HUT 78 RI ini, dengan semangat menyala: "Selamat berjoeang, kawan!". Hanya itu.
SELESAI.Â
*disclaimer:Â tulisan ini, sudah "Centang Biru" seijin Bang Boim, kawanku yang pemulung itu, untuk aku kirim sebagai artikel di Kompasiana. Tapi dia tak mau difoto. Ogah jadi artis, katanya sambil tertawa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI