Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

78 Tahun Merdeka: "Listrik Berbunyi, Tanah Tak Punya, Air Beli"

18 Agustus 2023   11:35 Diperbarui: 18 Agustus 2023   12:43 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, secangkir kopi untuk Bang Boim. (foto:wibhyanto/dokumen pribadi) 

"Tapi masih mengibarkan bendera Merah Putih, selama bulan Agustus, kan Bang Boim?".

"Masihlah. Tapi itu benderaku sudah lusuh, tak pernah kucuci. Mungkin sudah 5 tahun kusimpan di lemari. Kemarin kupasang di depan lapak rongsokan, bendera itu layu. Warna merahnya pudar, sedikit kecoklatan". Ujarnya.

Lalu, Bang Boim menerocos lagi soal kesulitan ekonomi, soal hidupnya yang tipis.

"Anakku, lelaki nomor dua, rencananya mau ikut orang kerja ke Jepang. Sudah beberapa bulan, training di Perusahaan TKI di Bekasi. Sudah bayar ini bayar itu, termasuk bayar kos selama training".  

"Kemarin minta duit lagi, kurang 20juta. Katanya untuk urusan pasport dan lainnya, aku tidak tahu. Aku tambah pusing, gimana cara dapat duit 20juta, buat anakku? Ini hasil rongsokan hari ini saja masih kosong melompong. Isi dompet los-dol blong", ujarnya, sambil nyengir.

"Lho, anakmu ke Jepang mau kerja apa? Bukannya Jepang dulu pernah menjajah Indonesia? Mau dijajah lagi kerja rodi sama Jepang?", tanyaku ngawur, sekenanya. Bang Boim tidak tersinggung. 

"Katanya kerja bidang pertanian di Jepang. Sudah diajarin, yang penting rajin. Kerja fisik, gajinya lumayan, katanya. Siapa tahu, anakku kerja di Jepang, nantinya bisa mengubah nasib kami. Aku ingin, yang penting, jangan sampai dia jadi pemulung kayak aku, bapaknya", katanya menjelaskan. Aku menghela napas dalam, menyimak kata-katanya.

"Bang Boim, maaf ya. Menurutku kerja jadi TKI di luar negeri, seperti di Korea, Thailand, Jepang, Malaysia, sekarang musti hati-hati. Jangan kena biro tenaga kerja nakal. Sudah banyak beritanya kan di televisi, soal TKI Ilegal terlantar di banyak negara, termasuk di Jepang. Jangan sampai jadi korban TPPO", ujarku mencoba memberi gambaran.

Ingin Mengubah Nasib

Bang Boim mengangguk-angguk. Tetapi aku tahu bahwa ucapanku tidak sungguh sungguh dia dengarkan. Aku ingat pepatah: "jangan memberi nasihat pada orang yang lagi pusing karena butuh uang untuk menutup kebutuhannya. Nasihatmu akan sia-sia". Maka aku diam.

"Aku hanya ingin mengubah nasib. Aku jadi pemulung. Jangan sampai anakku juga jadi pemulung", ujarnya singkat. Lalu dia menyeruput kopinya untuk terakhir kali.

Sesudah itu buru-buru dia berkemas, pamit. Katanya mau cari rongsokan lagi. Mumpung belum sore. Aku melepas kepergian kawanku, pemulung itu. Bang Boim berangkat mengais rejeki lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun