Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Gojek Kere": Ekspresi Akrab Pertemanan, Bukan Ujaran Kebencian

9 Agustus 2023   18:38 Diperbarui: 10 Agustus 2023   17:34 16481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kawan kawan suka Gojek Kere (sumber: dokumen pribadi/ wibhyanto) 

"Gojek Kere": Ekspresi Akrab Pertemanan, Bukan Ujaran Kebencian 

Ada kalanya dalam konteks tertentu, ungkapan verbal yang berupa umpatan, cacian dan makian, bisa jadi itu merupakan bentuk ekspresi keakraban dan kedalaman sebuah nilai persahabatan. Apa iya bisa begitu? Bagaimana penjelasannya? Iya. Menurut penulis sih bisa begitu. Contohnya, ada dalam dialog sebagai berikut:

Setelah lama tak jumpa, mas Ogah, kawan lamaku menelepon:
"haloo ini Wibi ya?"
"iya, ini siapa ya?"
"oo cah edan, gemblung. Piye su apa kabarmu?"
"maaf su, ini siapa ya?"
"hahaha..mosok lupa Bi. Konco lawas, UGM. Ogah"
"Owalah suuu, Ogah van Jeger? Senengnya dengar suaramu, suu..hahaha"
"Raimu Bi, kok rung modyar kowe Bi? Tak telpon sulit banget. Jadi orang penting kamu, Bi? "
"Hahaha cen asu kowe mas Ogah. Njenengan sik wae sing mati. Aku belakangan"
"Aku belum mati, Bi. Piye kabarmu suu?"
"Syukurlah mas Ogah. Ikut seneng. Kabarku baik baik su..ada kabar apa iki? Ngajak makan makan?"
"Makan makan dengkulmu mlocot iku Bi..Ini mau ngabari, aku mau ngirim undangan, Iwan Toi mantu. kasih alamatmu".
"Oo pancen cah edan kamu, belum waras dari dulu. Yaudah..nanti kukirim Alamat via WA ya."
"Okey Bi. Makasih ya, dan dateng lho ya..ke acaranya Iwan Toi. Kawan kawan lama pada ngumpul, awas kalau kamu gak dateng..". Dan dialog singkat lewat telepon itu pun usai.

Ungkapan dialog di atas dipenuhi diksi "aneka ragam umpatan", seperti: edan, gemblung, asu, dengkulmu mlocot. Namun dalam konteks dialog itu, nuansa atau suasana percakapan yang terjadi justru menyenangkan, penuh kehangatan, bukan dalam konteks penuh kebencian, dendam atau kemarahan.

Teks dan dialog dengan diksi serupa itu sering penulis temukan, dipakai sebagai ekspresi keakraban di kalangan kaum muda (dan sebagian orang tua  hihihi), di kalangan masyarakat di daerah Magelang hingga Yogyakarta.

Kata kata "edan, asu, gemblung, dengkulmu mlocot" dan sejenisnya masih banyak lagi, memang umumnya dipahami sebagai sekumpulan kata-kata "pisuhan"- misuh (umpatan/mengumpat).

Namun dalam konteks dialog di atas, kata kata atau diksi itu diucapkan begitu saja, spontan menyenangkan. Dan kita semua mengerti bahwa penggunaan semua kata-kata "pisuhan" itu dipakai dalam konteks bukan untuk menyakiti hati lawan bicara, tetapi malahan sebaliknya: mengakrabkan.

Di Yogyakarta misalnya, dialog yang "nyenengke" atau menyenangkan itu, sering disebut dengan istilah "Gojek kere" (candaan kere atau guyonan orang kere miskin). Dalam "Gojek kere", semua kata kata "kebun Binatang" bisa saja dikeluarkan, seperti: celeng, kebo, monyet, munyuk, nyambik, codot, dan sebagainya.

Dan uniknya, semua yang terlibat dalam dialog "Gojek kere" itu, termasuk juga pendengar di sekitarnya, merasa senang, nyaman dan tertawa gembira, penuh keakraban. Saya sendiri ikut senyum senyum, manakala ada teman lama mempraktikkan "Gojek kere". Jindul dab! Ha ha ha.

Mungkin karena namanya "Gojek Kere", semua orang yang terlibat dalam dialog berkesempatan katarsis "los dol" atau tak perlu malu-malu mengutarakan 'kata-kata kasar', sebab tak ada pihak lain yang bakal tersakiti hatinya.

Dialog "Gojek kere" seringkali pula dipakai untuk menghibur penonton di atas panggung pertunjukan teater di kelompok seni teater di Yogyakarta-Magelang, dan sekitarnya.

Sementara di tempat kota lain, Surabaya dan sekitarnya misalnya, ungkapan "Gojek kere" dengan ciri logat 'Jawatimuran' juga ada kalanya bisa kita temukan di sebagian masyarakat setempat. Contoh "Gojek kere" berciri 'Jawatimuran' terdapat dalam dialog singkat berikut ini:

"Yaopo, Cak Percil, sudah lama nungguin aku?"

"Jiancuk..celeng tenan. Sampai mau modyar rasane..hehehe"

"hahaha..halah.sepurane, maaf yo Cak Percil. Ojok nesu ta, tambah elek raimu".

"Yo wes, mari kita kemon..wis ditungguin temen temen di lokasi sebelah sana".

Artinya, setiap masyarakat daerah (baik Magelang,Yogyakarta atau Surabaya) ternyata memiliki keunikan khas dalam berbahasa yang mengekspresikan kehangatan pertemanan, melalui pilihan "kata kata kasar" tetapi bermakna sejati untuk keakraban persahabatan, bukan dimaksudkan untuk menghina atau merendahkan lawan bicara.

Apakah di daerah atau kota pembaca Kompasiana ada model contoh "dialog Gojek kere' serupa lainnya? Tentu menyenangkan membayangkan variasi model dialog penuh keakraban ini dipraktikkan memakai logat Bahasa setempat, di banyak daerah atau kota di Indonesia.

Menurut pengamatan penulis, "tradisi misuh' dalam konteks "Gojek kere" semacam itu ada kalanya hingga kini masih digunakan oleh sebagian masyarakat setempat, termasuk di kalangan seniman teater di Yogyakarta. Dan begitulah ujaran keakraban yang unik ini, menjadi bagian dari keakraban sosial di kalangan sebagian masyarakat di Indonesia.

Menurut catatan penulis, secara harfiah "ujaran keakraban" bisa merujuk pada komunikasi atau pesan yang bertujuan untuk mempererat hubungan, membangun kedekatan, atau menciptakan suasana akrab antara individu atau kelompok. Ini bisa termasuk percakapan santai, tindakan ramah, humor, atau penggunaan bahasa yang lebih informal dan akrab. Mari lebih jauh menilik ujaran keakraban.

Ujaran Keakraban Membangun Relasi Sosial

Ujaran keakraban atau "phatic expression" adalah jenis komunikasi yang digunakan untuk mempertahankan hubungan sosial, mengonfirmasi kehadiran, atau menjaga suasana akrab dalam percakapan. Ujaran ini tidak selalu memiliki makna informasi yang mendalam, tetapi bertujuan untuk membangun koneksi sosial antara pembicara.

Menurut catatan penulis, berikut ini beberapa tujuan penggunaan ujaran keakraban, di antaranya:

Memulai Percakapan: Ujaran keakraban digunakan untuk memulai percakapan dengan cara yang ramah dan santai. Contohnya, "Apa kabar?" atau "Hai, apa yang sedang kamu lakukan?"

Mengonfirmasi Perhatian: Ujaran keakraban digunakan untuk menunjukkan bahwa Anda memperhatikan orang lain atau keadaan di sekitar Anda. Misalnya, "Wah, hari ini cuacanya bagus, ya?"

Mengonfirmasi Kehadiran: Ujaran keakraban membantu memastikan bahwa Anda hadir dalam percakapan dan merasa terlibat. Contohnya, "Saya di sini" atau "Saya mendengarkan."

Membangun Hubungan: Ujaran keakraban membantu membangun hubungan yang lebih akrab dan hangat dengan orang lain. Ini menciptakan suasana yang ramah dan menyenangkan.

Mengisi Keheningan: Ujaran keakraban sering digunakan untuk mengisi keheningan dalam percakapan atau saat tidak ada topik pembicaraan yang khusus.

Mengakhiri Percakapan: Dalam beberapa kasus, ujaran keakraban seperti "Sampai jumpa" atau "Sampai ketemu lagi" digunakan untuk mengakhiri percakapan secara sopan.

Menyampaikan Rasa Hormat: Ujaran keakraban juga bisa digunakan untuk menyampaikan rasa hormat dan sopan kepada lawan bicara, seperti "Terima kasih banyak atas waktunya."

Membangun Lingkungan Kerja atau Sosial yang Positif: Dalam konteks sosial atau pekerjaan, ujaran keakraban membantu menciptakan lingkungan yang positif dan ramah di antara individu-individu yang berinteraksi.

Ujaran keakraban adalah bagian penting dari komunikasi sehari-hari dan membantu memperkuat ikatan sosial serta memfasilitasi interaksi sosial yang lebih efektif.

Ujaran Kebencian Di Ruang Publik

Namun dalam konteks tertentu, pilihan diksi "kata kata pisuhan" bisa menjadi ekspresi ujaran kebencian dalam arti sesungguhnya (makna Denotatif). Dan ini perlu hati-hati jika digunakan di ruang publik, sebab bisa memicu rasa marah pihak lain atau rasa tidak suka mendengar ujaran kebencian, seperti misalnya pemakaian kata kata: bodoh, tolol, dungu, dan sebagainya. Selain disebut tidak etis, kata kata itu berpotensi menyakiti hati, merendahkan pihak lain atau pihak yang menjadi sasaran atas ujaran itu.

Sekadar pengetahuan, ujaran kebencian umumnya digunakan dalam Bahasa, untuk menyebarkan atau mengkomunikasikan pesan atau informasi yang berisi: konten berbahaya, merendahkan, atau menghina terhadap kelompok atau individu berdasarkan karakteristik tertentu seperti suku, agama, ras, gender, orientasi seksual, atau atribut lainnya.

Tujuan utama dari ujaran kebencian ini bisa bervariasi, antara lain seperti:

Membentuk Opini Negatif: Ujaran kebencian dapat digunakan untuk membentuk opini negatif atau memanipulasi pandangan masyarakat terhadap kelompok atau individu tertentu. Ini dapat mengarah pada polarisasi dan memicu konflik sosial.

Menghasut Kekerasan: Konten ujaran kebencian bisa merangsang atau memprovokasi tindakan kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok atau individu yang menjadi target.

Mengganggu Keharmonisan Sosial: Ujaran kebencian dapat merusak iklim sosial yang harmonis dan toleran dalam masyarakat, dengan memicu perpecahan dan ketegangan antara kelompok-kelompok yang berbeda.

Menciptakan Ketakutan dan Kecemasan: Ujaran kebencian bisa membuat anggota kelompok yang menjadi sasaran merasa tak aman, khawatir, dan terisolasi dalam masyarakat.

Menyebarkan Propaganda Ekstrem: Ujaran kebencian sering digunakan sebagai alat propaganda oleh kelompok ekstremis atau politik untuk memperkuat narasi mereka dan merekrut pengikut.

Mempengaruhi Pemilihan dan Kebijakan: Dalam konteks politik, ujaran kebencian dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan atau mendikte arah kebijakan yang diambil.

Mengganggu Dialog Terbuka: Ujaran kebencian bisa menghambat komunikasi dan dialog yang produktif antara kelompok-kelompok yang berbeda, menghalangi pertukaran ide dan pemahaman yang baik.

Karena dampak negatif yang signifikan dari ujaran kebencian terutama di ruang publik, maka banyak negara (termasuk Indonesia) memiliki hukum dan regulasi yang mengatur atau melarang penyebaran konten semacam itu.

Selain itu, secara khusus platform media online juga berusaha untuk mengidentifikasi dan menghapus konten ujaran kebencian untuk menjaga lingkungan sosial dunia digital tetap aman, nyaman dan inklusif bagi semua orang.

Menyudahi ulasan ini, penulis mengajak untuk berhati hati dalam memilih dan memilah setiap ujaran yang dipakai sesuai konteks sosialnya. Sesekali ungkapan "Gojek kere" mungkin sesuai untuk menambah ikatan keakraban dan pertemanan.

Tetapi harus tetap hati-hati, jangan sampai pilihan diksi yang mirip sama seperti dipakai dalam ujaran kebencian itu, malahan justru menimbulkan kekacauan, atau memicu potensi konflik sosial. Bisa gawat kan.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun