"Jadilah suster, mosok enggak", jawabku.Â
 Di dekat rumah biara itu, ada warung kupat tahu. Kami makan segala kisah dengan lahap. Mengunyah kenangan. Bercerita ringan, membincang apasaja. Lalu sesudah itu, kita berpisah. Kamu masuk ke dalam rumah biara, menyisakan lirikan mata bola.
Melambaikan tangan seperti gerakan tarian gadis Bali. Gemulai. Kamu kemayu, batinku dalam hati.
Dah sayang. begitu kira-kira katamu. Mungkin juga tidak. Sebab itu hanya ilusi imajinasiku seorang lelaki, mengelebat begitu saja dalam hati. Lalu aku pulang. Menggores kanvas, melukis suster cantik separuh baya, yang berdiri di depan pintu biara. Bukan melukis tarian gadis Bali.Â
Chapter #VI
Beberapa tahun berlalu, sebuah berita pesan singkat, mengejutkanku:
 "Telah meninggal dengan tenteram, bersemayam bersama para suci di Surga. RIP Suster Clara".  Aku yang tengah berada di luar kota yang jauh, mendengar kabar itu, tercenung.Â
 "Waktu telah sempurna memisahkan kita", begitu ucapku dalam hati, akhirnya kepada angin yang berhembus.Â
"Tenteramlah dalam kelanggengan, Suster. Tanpa taburan bunga dan ucapan dukacita, sebab perjumpaan dan perpisahan, bukankah sama saja asyiknya? Hanya kini kukirim terakhir doaku, agar kamu tahu. Bahwa jauh di lubuk terdalam senyummu tetap bersemayam".Â
"Selamat jalan, Suster. Berkah Dalem", Ujarku di depan nyala lilin yang bergoyang tertiup oleh angin, di samping sebuah kapel tua di kotaku. Tak ada derai airmata. Sedih dan gembira, bertemu dan berpisah, sama saja asyiknya, bukan? Malam telah larut, tetapi pagi masih jauh dari jangkauan.
Namaste: Semoga setiap mahkluk berbahagia! Â
 SELESAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H