Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Pendek di Cinta yang Panjang

4 Agustus 2023   16:51 Diperbarui: 4 Agustus 2023   17:04 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ceita pendek di cinta yang panjang (sumber image: freepik.com) 

Cerita Pendek di Cinta yang Panjang

Cinta sederhana: terbagi dalam beberapa Chapter saja.

Chapter #I

Semasa remaja, seolah kita sejoli. Padahal faktanya bukan. Kita bertemu di pelataran kapel tua. Sambil membawa buku cerita "Dari Jendela SMP" karya Mira W, kamu menghampiriku, nun di kala itu. 

"Bacalah ini, ceritanya bagus. Siapa tahu kamu suka, idealis", katamu. Aku menerima bukumu. Aku memakai kostum semacam jubah berwarna merah, sehabis misa. 

"Syukurlah. Senang melihatmu tampak saleh, idealis", katamu lagi sekenanya. Wajahmu yang manis, merona merah muda.

"Kesalehan itu baik. Tapi bukan segalanya", kataku pendek.

"Mengapa begitu, idealis?" tanyamu renyah, sedikit terkejut.

"Sebab ada kalanya, kejahatan muncul dari kesalehan yang datang dari balik jubah mulia. Itu jauh lebih berbahaya", jawabku. Kamu diam. Mengapa begitu, idealis? Tanyamu lagi, seperti angin berbisik.

"Kesalehan tidak identik dengan kesucian", kataku. Kamu melongo.

"Kamu ngaco, kamu memang idealis. Pikiranmu sulit kutebak", katamu mencubit lenganku. Dan kita pun tertawa. Sudahlah. Sehabis meminum es degan di halaman depan kapel tua, kita berpisah. 

Chapter #II 

Sejeda waktu, lima tahun berlalu. Lama kita tak bersua. Tetapi di pelataran Gua Maria, kita bertemu. Bukan untuk membincang tentang kita, tetapi meronce rosario. Mencoba mengucap kata-kata, tetapi canggung. Sendiri sendiri mengadu kepada Bunda Maria. Hanya sesekali, saling memandang. Itu pun seperti seolah merasa telah bertemu.
"Aku telah memutuskan. Besok aku pergi, masuk seminari". 
Kamu melongo.

"Berapa lama Pendidikan seminari?", tanyamu.

"Empat tahun".  

"Jadi selama itu, kita tak mungkin lagi bertemu?" 

"Entahlah. Aku tidak yakin", kataku. Raut rona wajahmu mendadak mendung.

"Mengapa bersedih. Bukannya seharusnya kita bergembira" 

"Entahlah. Aku tak tahu tentang apa itu rahasia rasa". 

 Baiklah. Lalu kita berpisah. Tanpa kata ucapan, selamat jalan atau apa.

 Chapter #III 

Sejeda lama tak bersua, kita bertemu tak terduga di halaman biara tua. Dalam jubah putih kamu tersenyum. Wajahmu merona berbunga-bunga.

 "Berapa lama kita tak bertemu?", tanyamu.

"15 tahun tak bertemu", jawabku.

 "Berapa lama telah membiara?", tanyaku.

 " 20 tahun", jawabmu.

 "Kamu kudengar tak lagi di seminari", tanyamu

 "Sudah lama, aku memilih jalan lain", jawabku

 "Berarti kamu telah menjadi semacam malaekat putih?", tanyaku kemudian.

 " Hahaha. Ngawur. Kamu bicara apa, idealis", jawabmu renyah di balik tudung jubah. Ronamu berkelebat, masih seperti dahulu, batinku. Di bawah kerudung putih, wajahmu memawar ronamu merah muda.

 "Bukannya hidup mu dipenuhi doa, khalwat dan matiraga?", tanyaku.

 "Tidak persis begitu", sergahmu.

 "Hidup di biara, kami bertemu manusia juga. Bukan malaekat. Kadangkala di antara kami ada rasa bosan, iri hati, keculasan, asmara syahwat, congkak, tamak, jaim, korupsi, sok alim, menjilat atasan", lanjutmu. 

Kata katamu memberondong seperti desingan mesiu di telingaku. Aku melongo. Wajahku masam, belimbing wuluh. Lalu kamu tertawa renyah, sambil melenggang memasuki gerbang rumah biara.  Meninggalkan aku sendirian. Aku termangu. Kita berpisah.

Chapter #IV

Di ujung usia yang merambat senja, tak sengaja, kita bertemu di depan pintu biara.

 " Sudahlah. Jadi gak kita makan kupat tahu?', tanyamu tiba-tiba.

 "Jadilah suster, mosok enggak", jawabku. 

 Di dekat rumah biara itu, ada warung kupat tahu. Kami makan segala kisah dengan lahap. Mengunyah kenangan. Bercerita ringan, membincang apasaja. Lalu sesudah itu, kita berpisah. Kamu masuk ke dalam rumah biara, menyisakan lirikan mata bola.
Melambaikan tangan seperti gerakan tarian gadis Bali. Gemulai. Kamu kemayu, batinku dalam hati.

Dah sayang. begitu kira-kira katamu. Mungkin juga tidak. Sebab itu hanya ilusi imajinasiku seorang lelaki, mengelebat begitu saja dalam hati. Lalu aku pulang. Menggores kanvas, melukis suster cantik separuh baya, yang berdiri di depan pintu biara. Bukan melukis tarian gadis Bali. 

Chapter #VI

Beberapa tahun berlalu, sebuah berita pesan singkat, mengejutkanku:

 "Telah meninggal dengan tenteram, bersemayam bersama para suci di Surga. RIP Suster Clara".  Aku yang tengah berada di luar kota yang jauh, mendengar kabar itu, tercenung. 

 "Waktu telah sempurna memisahkan kita", begitu ucapku dalam hati, akhirnya kepada angin yang berhembus. 

"Tenteramlah dalam kelanggengan, Suster. Tanpa taburan bunga dan ucapan dukacita, sebab perjumpaan dan perpisahan, bukankah sama saja asyiknya? Hanya kini kukirim terakhir doaku, agar kamu tahu. Bahwa jauh di lubuk terdalam senyummu tetap bersemayam". 

"Selamat jalan, Suster. Berkah Dalem", Ujarku di depan nyala lilin yang bergoyang tertiup oleh angin, di samping sebuah kapel tua di kotaku. Tak ada derai airmata. Sedih dan gembira, bertemu dan berpisah, sama saja asyiknya, bukan? Malam telah larut, tetapi pagi masih jauh dari jangkauan.

Namaste: Semoga setiap mahkluk berbahagia!  

 SELESAI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun