Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Sekecil Itu Seminggu Nyeker, "Dipelihara" oleh Negara

28 Juli 2023   09:31 Diperbarui: 8 Agustus 2023   15:28 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Sekecil itu Seminggu Nyeker "Dipelihara"oleh Negara (foto"Wibhyanto/Kamis 27 Juli 2023) 

Anak Sekecil itu Seminggu Nyeker, "Dipelihara" oleh Negara

JAKARTA -Di tepi jalan Raya Kebon Jeruk, aku cegat angkot Jaklingko jurusan Meruya-Tanah abang, Kamis siang (27/7/2023), kemarin.

Seorang anak kecil, mungkin seusia SD kelas 1, nyeker (tanpa alas kaki) duduk di sampingku. Dia membantu me-ngetab kartu Jaklingko-ku ke mesin Tab yang posisinya di belakang kursi sopir. Kakinya bergoyang goyang.

Dia anak yang nyeker itu, rupanya bersama dua adiknya. Satu adiknya paling kecil, tidur dalam pelukan seorang perempuan yang duduk di sampingnya, paling pojok di bangku penumpang belakang sopir. Mungkin perempuan itu ibunya.

Adiknya yang satu lagi, juga nyeker, tidur di pangkuan seorang lelaki paruh baya, tepat di depanku. Mungkin dia ayah dari ketiga anak kecil itu, pikirku.

Aku sesekali mengamati keluarga kecil itu. Dan Jaklingko pun melaju di siang yang terik, menelusuri jalan raya Kebon Jeruk, lampu merah Batusari, ke arah Tanah Abang.

Aku terenyuh, melihat dua anak kecil nyeker tanpa alas kaki, duduk di sampingku dan satunya duduk tepat di depanku. Maaf dik, aku ijin memotretmu diam-diam, kataku dalam hati. Cekrekk.. (lihat foto).

"Harusnya dia sudah bisa didaftarkan dapat KJP", ujar lelaki kepada perempuan yang memeluk si kecil. (KJP singkatan Kartu Jakarta Pintar -red).

"Makanya, kamu kudu jangan banyak bolos sekolah. Biar dapat kartu KJP. Kalau jarang  masuk sekolah, mana bisa didaftarkan KJP begitu saja", kata si perempuan kepada anak kecil di sampingku.

Anak itu diam saja, duduk sambil menggoyang goyangkan kakinya yang kecil, kotor dan telanjang.

"Kemaren sebelum kena garuk, kan sudah aku bilangin ke dia, kalau bolos sekolah ya jangan ngetem di lampu merah", ujar si lelaki ke perempuan yang mungkin itu istrinya, atau entahlah.

"Makanya. Kamu jangan bolos lagi, biar tidak kena garukan petugas. Dan jangan main di lampu merah. Kemarin semua yang nongkrong, main atau berdiri di pinggir lampu merah, semuanya diangkut sama satpol, polisi dan ada tentara. Lagi rame sekarang, PMKS digaruk satpol di Tanah Abang".

"Jangan di situ lagi. Aku dengar operasi sampai Desember", ceteluk perempuan itu sambil membetulkan letak si kecil dalam pelukannya. (PMKS singkatan dari Penyandang Masalah Kesejahtaraan Sosial -red).

Si kecil di sampingku mendengar ucapan dan nasihat dua orang itu. Mungkin mereka itu ayah dan ibunya, tapi entahlah aku kurang yakin, sebab kuamati wajah mereka tidak mirip wajah ketiga anak kecil itu. Atau mungkin mereka itu Bulik dan Paklik, Om Tante, atau tetangganya?  Ah embuhlah, pikirku dalam hati.

Sambil menggoyang goyangkan kaki mungilnya yang nyeker. Dia si kecil menatap ke luar, memandang lalu lintas yang memadat di dekat Rawa Belong. Jaklingko berjalan merayap.

Aku menyimak obrolan mereka itu.  Bukan untuk nguping atau kepo, tapi kondisi ruang penumpang angkot yang sempit ini memungkinkan semua orang dalam angkot mendengar percakapan mereka itu dengan jelas.

"Emang kalian mau turun mana?", tiba-tiba perempuan penumpang lain, yang duduk di samping anak kecil yang tidur pulas di depanku, nyeletuk. Rupanya dia juga menyimak obrolan mereka tadi.

"ini ke Tanah Abang. Dari ngambil mereka di kantor dinsos (dinas sosial) di Kedoya. Harusnya tidak musti seminggu mereka di sana. Kemarin pas kena garukan, aku juga dibilangin tetangga kalau tiga anak ini kena garuk, dibawa mobil petugas. Halah ya kubiarin aja, sudah biasa itu. Paling mereka dikumpulkan di Blog B Tanah Abang", ujarnya.

"Lagian aku kan lagi kerja di Roxy. Makanya baru belakangan aku urusin. Ternyata mereka anak anak ini, ketiganya kena garuk, dibawa petugas, dibawa ke panti sosial di Kedoya. Harusnya tidak sampai seminggu. Tapi kemaren kena tanggal merah, libur Sabtu Minggu dan libur apalagi, 1 Muharam kayaknya. Kantor tutup. Jadi hari ini, ya sekarang ini mereka dibebaskan petugas", imbuhnya.

Aku menyimak baik baik. Lelaki itu terus nerocos. Sesekali perempuannya yang di pojok menimpalinya. Dan penumpang lain turut nimbrung. Saling timpal ucapan itu, tentang nasib ketiga anak kecil dalam ruang angkot Jaklingko.

Mulai tentang bagaimana kondisi mereka seminggu berpisah dari orangtua? Bagaimana makan minumnya, tempat tidurnya dimana, dikumpulin bersama orang dewasa tidak? Ganti pakaian tidak? Mandi tidak? Nangis tidak? Anak yang paling kecil nyariin ibunya tidak? Nangis tidak?

Digaruk petugas, digiring bersama sekumpulan PMKS lainnya dalam satu mobil garukan apa tidak kasihan anak anak ini? Mereka mengalami trauma tidak? Dan masih banyak Iagi.

Mereka para penumpang Jacklingko ini saling tanya jawab, ngobrol seperti seolah sudah saling kenal lama. (Ampunn kumpeni! jeritku dalam hati). Dan suasana dalam angkot Jaklingko pun bertambah gaduh.

"Widihh, seru ini", batinku. Ada rasa miris ketika melihat kondisi ketiga anak kecil ini. Tetapi sesekali geli juga mendengar celoteh para orang tua itu, termasuk celoteh para penumpang lainnya. 

Mungkin lelaki di depanku yang menerocoskan kata katanya seperti mitraliur itu heran, kenapa aku tidak ikut nanya nanyain, biar tambah ramai, tambah gayeng suasana? Suasana sudah mirip Drama Korea satu  babak dalam angkot yang terus melaju, di jalanan Jakarta yang Terik.

Tidak. Aku sengaja menahan diri, untuk tidak turut bertanya seperti penumpang lainnya dalam angkot ini. Sebab semua simpang siur informasi yang berkelebat, sudah cukup memberiku kesimpulan tentang konteks dan tema perbincangan ini.

Yaitu: "Tiga anak kecil kecil, nyeker dan lelah, baru saja dibebaskan dari panti sosial, setelah mengalami garukan oleh petugas, dan seminggu mereka menginap di panti sosial Kedoya. Mereka baru saja 'dipelihara' oleh negara". Titik.

Dan angkot yang kami tumpangi terus bergerak pelan, di jalur lalulintas yang memadat di sebelum pasar Palmerah. Sesekali senyap tak ada obrolan dalam angkot. Kami semua sibuk dalam bayangan pikiran masing-masing, tentang nasib ketiga anak kecil ini.

"Ya. Ketiga anak kecil ini, anak anak terlantar yang telah seminggu 'dipelihara 'oleh negara", begitu pikiran nakalku menyimpulkan.

"Apa bapak dimintai uang oleh petugas untuk membebaskan mereka?", eits..ujarku akhirnya kelepasan, tak bisa menahan diri untuk turut bertanya.

"Tidak bapak bapak dinsos itu tidak minta uang", jawabnya.

"Tapi ya itu, mereka memarahi kami. Kenapa jadi orang tua tidak bisa mengurus anak. Kan anak anak ini masih dalam tanggungjawab orangtua. Kemana saja kalian ini? Itu kata petugas sambil terus marah marahin kami", ujar perempuan di pojok menimpali lelaki di depanku. Ekspresinya penuh kecewa.

"Bapak adalah orang tua mereka, anak anak ini?", tanyaku.

"Bukan", jawab si lelaki. Dia mengucek matanya yang lelah. Aku takjub. Eh terkejut dink.

"Kami tetangga. Lha ibu mereka saja kemaren malah lari, waktu pas garukan di Tanah Abang. Tiga anak nya ini malah dia tinggalkan begitu saja. Ya kami kan tetangganya, lalu ngurusin. Itu biasa kita lakukan. Tetangga sendiri yang bisa nolongin anak anak dan orang yang biasanya kena garukan sama petugas satpol", imbuh perempuan yang mungkin dia pasangan si lelaki di depanku. Aku mengangguk angguk.

Deru kendaraan berlalu lalang, di sepanjang pasar Palmerah. Angkot Jaklingko yang kami tumpangi sudah mendekati pojok pasar Palmerah. Di tikungan itu aku minta sopir untuk minggir.

"Kiri bang", ujarku kepada sopir. Aku mau melanjutkan perjalanan naik kereta di Stasiun Palmerah, menuju ke tempat lain, di luar Jakarta. Angkot berhenti.

"Bapak ibu dan ibu semuanya, saya pamit turun di sini", ujarku singkat. Mereka  membalas pamitku.

Aku menjabat tangan bapak yang memangku si kecil yang masih pulas tidur dalam pangkuannya sedari tadi. 

Mungkin si kecil itu sedang bermimpi dalam pulas tidurnya di siang yang terik ini.

Mimpi tentang bermain bebas di sepanjang lampu merah di Jakarta. Terbang mengitari Monas memakai kakinya yang nyeker dan keluar sayap seperti sayap Malaekat.

Lalu mendarat persis di depan istana presiden Republik Indonesia, sambil berkata: "Terimakasih pak Presiden Jokowi, negara telah memelihara kami selama seminggu. Terimakasih negeriku yang kaya raya gemah ripah loh jinawi..merdeka!", begitu mungkin mimpinya si anak kecil itu.

Mungkin juga malah tak sempat bermimpi, apalagi mimpi tentang masa depan. Sebab tubuh mungilnya keburu lelah. Dia lelap dalam tidur panjang, di pangkuan lelaki yang mungkin bukan ayahnya. Dan entah ibunya dimana.

Aku tidak tahu, apakah harus menangis getir atau bagaimana. Apakah Jakarta Ibukota yang masih ramah bagi anak anak miskin kota? Namaste, semoga setiap mahkluk berbahagia!

***

Jakarta, Kamis 27 Juli 2023

#Diary #Wibhyanto #KotaLayakAnakMiskinKota

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun