"Bukan", jawab si lelaki. Dia mengucek matanya yang lelah. Aku takjub. Eh terkejut dink.
"Kami tetangga. Lha ibu mereka saja kemaren malah lari, waktu pas garukan di Tanah Abang. Tiga anak nya ini malah dia tinggalkan begitu saja. Ya kami kan tetangganya, lalu ngurusin. Itu biasa kita lakukan. Tetangga sendiri yang bisa nolongin anak anak dan orang yang biasanya kena garukan sama petugas satpol", imbuh perempuan yang mungkin dia pasangan si lelaki di depanku. Aku mengangguk angguk.
Deru kendaraan berlalu lalang, di sepanjang pasar Palmerah. Angkot Jaklingko yang kami tumpangi sudah mendekati pojok pasar Palmerah. Di tikungan itu aku minta sopir untuk minggir.
"Kiri bang", ujarku kepada sopir. Aku mau melanjutkan perjalanan naik kereta di Stasiun Palmerah, menuju ke tempat lain, di luar Jakarta. Angkot berhenti.
"Bapak ibu dan ibu semuanya, saya pamit turun di sini", ujarku singkat. Mereka  membalas pamitku.
Aku menjabat tangan bapak yang memangku si kecil yang masih pulas tidur dalam pangkuannya sedari tadi.Â
Mungkin si kecil itu sedang bermimpi dalam pulas tidurnya di siang yang terik ini.
Mimpi tentang bermain bebas di sepanjang lampu merah di Jakarta. Terbang mengitari Monas memakai kakinya yang nyeker dan keluar sayap seperti sayap Malaekat.
Lalu mendarat persis di depan istana presiden Republik Indonesia, sambil berkata: "Terimakasih pak Presiden Jokowi, negara telah memelihara kami selama seminggu. Terimakasih negeriku yang kaya raya gemah ripah loh jinawi..merdeka!", begitu mungkin mimpinya si anak kecil itu.
Mungkin juga malah tak sempat bermimpi, apalagi mimpi tentang masa depan. Sebab tubuh mungilnya keburu lelah. Dia lelap dalam tidur panjang, di pangkuan lelaki yang mungkin bukan ayahnya. Dan entah ibunya dimana.
Aku tidak tahu, apakah harus menangis getir atau bagaimana. Apakah Jakarta Ibukota yang masih ramah bagi anak anak miskin kota? Namaste, semoga setiap mahkluk berbahagia!