Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting-Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #26)

21 Juni 2023   22:40 Diperbarui: 22 Juni 2023   05:14 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover story oleh Wibhyanto / dokumen pribadi

Goresan Luka Yang Mendalam #26

Prapatan Palbapang

Situasi menjadi memanas ketika kedua pihak pasukan itu benar-benar saling berhadapan di suatu tempat bernama Prapatan Palbapang. Mereka terpisah dalam jarak kira-kira duapuluh tombak saja. 

Baruklinting menghentikan gerakan rombongannya di tempat itu. Dia lalu mengutus Ki Gringsing ke barisan depan pasukan Ki Ageng Wanabaya, untuk melakukan diplomasi agar tak terjadi perang. Maka Ki Gringsing sendirian, bergerak membawa kudanya berjalan perlahan ke depan, memisahkan diri dari barisan pasukan.

Di sisi lain, pasukan Ki Ageng Wanabaya pun telah berhenti. Tetapi gemuruh sorak sorai gelora peperangan terus mereka suarakan. Sehingga hingar bingar dan keadaan berisik gaduh di Prapatan Palbapang itu.

Ki Ageng Wanabaya di barisan belakang pasukannya melihat bahwa pasukan Baruklinting telah bersiap untuk bertempur. Dia tidak mengira bahwa kini dia harus bertempur dengan pasukan putranya sendiri. Dia juga tidak mengira bahwa Baruklinting telah mampu membentuk satuan laskar prajurit sebanyak itu di Mangir. 

Mereka tampak sebagai satuan laskar yang tangguh. Ki Ageng Wanabaya mengamati gerakan pasukan Baruklinting yang berhenti tak jauh dari garis depan pasukannya.

Lalu dia mengutus Demang Srandak untuk menemui seseorang utusan Baruklinting yang tampak berkuda sendirian memisahkan diri dari barisan pasukannya. Orang itu adalah Ki Gringsing. Demang Srandak mengenal orang itu sebagai sesama pejabat penting di Mangir.

Demang Srandak dan Ki Gringsing kini berhadap-hadapan di atas kuda masing-masing.

"Sampeyan menjadi bagian pemberontak rupanya, Ki. Maju hendak menyerahkan diri?"

"Jangan salah paham, Ki Demang Srandak. Kami datang untuk damai. Bukan perang".

"Omong kosong. Kamu orang tua, pengkhianat Mangir, apa yang bisa kami percaya dari mulutmu, Ki Gringsing. Kalian menggelar pasukan sebanyak itu, bocah kecil pun tahu kalau tujuanmu untuk perang, bukan jalan-jalan. Kalau bukan untuk berperang? Lalu untuk apalagi? "

"Kami mau menjemput Ki Ageng. Kami mau serahkan..."

Belum usai kata-kata itu diucapkan oleh Ki Gringsing, mendadak dua orang utusan yang sedang berdiplomasi itu terkejut oleh berkelebatnya beberapa anak panah di sekitar mereka. 

Hampir saja Ki Gringsing terkena sabetan anak panah yang berkelebat cepat ke arahnya. Beruntung dia mampu menghindari serangan itu.

Maka upaya diplomasi mereka itu buntu. Kedua orang itu kembali ke barisan pasukan masing-masing. Keadaan menjadi kian memanas. Semua orang berteriak, saling memprovokasi. 

Beberapa panah berapi warna biru melesat ke arah barisan pasukan Ki Ageng Wanabaya. Dan saat itu juga dari arah sebaliknya beberapa panah lain yang berwarna api biru membalas serangan itu, ke arah barisan pasukan Baruklinting.

Tak ada yang tahu siapa yang telah melepaskan anak panah itu, karena situasi barisan depan pasukan telah menjadi gaduh. Tetapi peristiwa itu tak lepas dari pengamatan Ki Pamungkas yang bersembunyi tak jauh dari Palbapang. 

Dia tahu bahwa kelebatan anak panah api biru itu berasal dari anak buahnya yang berhasil menyusup baik di kubu pasukan Ki Ageng Wanabaya maupun di barisan pasukan Baruklinting. Telik sandi Mataram itu benar-benar telah memprovokasi kedua belah pihak dan mengadudomba di antara mereka.

"Siapa yang memanah. Siapa memanah?"

"Tahan serangan. Jangan ada yang membalas serangan"

"Kita tak menyerang. Bukan kita. Tetapi mereka telah menyerang lebih dulu."

"Ada yang terluka. Panah api biru mengenai beberapa prajurit".

"Tahan dulu. Jangan ada yang membalas. Panah api biru bukan dari pasukan kita".

"Kita tak bisa diam saja. Balas serangan. Habisi mereka"

"Serang. Habisi pemberontak itu". Suara prajurit berteriak begitu gaduh di barisan depan. Suara dan teriakan saling bersahutan.

Maka tanpa perlu komando lagi, kedua pasukan di barisan depan saling menyerang. Pertempuran pecah seketika dan tak bisa dihindari.

Ki Ageng Wanabaya dan pasukannya akhirnya menyerang Baruklinting dan pengikutnya dengan kekuatan penuh. Pasukan panah di barisan belakang mengawali serangan. Segera saja hujan puluhan anak panah tampak melesat ke angkasa dan mengarah ke barisan terdepan pasukan Baruklinting. 

Disusul gelombang pasukan tombak dan pasukan parang di barisan depan merangsek maju.

Barisan pasukan Baruklinting bergerak maju sambil menepis puluhan anak panah yang mengarah ke tubuh mereka. Beberapa prajurit tumbang tersambar oleh anak panah yang menancap ke dada mereka. Namun barisan laskar di bagian depan bagai gelombang menerabas ke kerumunan pasukan tombak dan parang musuh tanpa rasa takut. 

Keterampilan tempur laskar hasil gemblengan Ki Mijil dan Ki Gringsing di Kulonprogo dan Menoreh itu benar-benar nggegirisi. Sebagian pasukan tombak dan parang Ki Ageng Wanabaya tumbang terkena kelewang, keris dan pedang dari laskar prajurit Baruklinting yang bergerak bagai banteng ketaton itu. 

Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Pertempuran belum usai.

Namun karena jumlah yang tak seimbang, pengikut Baruklinting berhasil dipukul mundur. Kekuatan pasukan Baruklinting melemah, sebagian telah menyerah kalah. Sebab gelombang serangan pasukan Ki Ageng Wanabaya mengalir tak pernah ada hentinya. Seolah seperti gugur satu selalu tumbuh seribu. Begitu seterusnya, membuat pasukan Baruklinting kewalahan.

Dan akhirnya Baruklinting dan beberapa pengawal pribadinya, antara lain Ki Suta dan Ki Nala terdesak mundur. Mereka dikejar terus oleh pasukan Ki Ageng Wanabaya hingga ke pinggir pantai Laut Selatan.

Adapun Ki Pamungkas berhasil lolos dari kepungan pasukan. Kedoknya sebagai intelijen Mataram tak pernah terungkap. Namun ketiga anak buahnya, Linduaji, Wisesa dan Widura tak sempat melarikan diri. 

Mereka terjebak di baris depan kedua kelompok yang berseteru itu, dan mereka tewas dalam pertempuran.

Ki Pamungkas tertatih-tatih pergi meninggalkan arena pertempuran di Prapatan Palbapang, diam diam. 

Dia pulang kembali ke Mataram dengan perasaan terluka dan duka yang mendalam, sebab dia kehilangan tiga pasukan telik sandi andalan Mataram. Linduaji, Wisesa dan Widura telah gugur saat menjalankan tugas negara dalam operasi senyap, bersandi "Kriwikan dadi grojogan" itu.

(BERSAMBUNG) Ke Episode #27

Baca Juga: Episode #25 Angin yang Berubah Arah

Baca Juga: Episode #24 Dalam Pengungsian

Baca Juga : Kumpulan Episode : # 1 sampai Episode #25

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun